Tuesday, May 05, 2009

Masuk Tivi?


Pasca Pemilu Legislatif beberapa waktu yang lalu, negara ini tiba-tiba seolah disibukkan dengan berbagai aktivitas elit politik partai yang tengah berusaha menjalin koalisi. Tentu, koalisi yang menguntungkan masing-masing pihak. Yang tadinya kawan jadi lawan, yang tadinya lawan jadi kawan, yang tadinya tidak kenal jadi kenalan, yang tadinya tidak peduli jadi dipaksa peduli karena tidak ada lagi yang tersaji di media massa selain kasak-kusuk kekisruhan koalisi tadi.


Demikian juga di sekitar kantor saya, yang kebetulan letaknya dekat dengan rumah dinas salah seorang ketua partai politik yang di Pemilu legislatif lalu partainya menduduki posisi dua. Kesibukan tiba-tiba melanda di sekitar kantor, yang mendadak dipenuhi wartawan dan juru kamera dari berbagai stasiun televisi maupun media cetak untuk berburu berita. Yang dicari tentu adalah aktivitas koalisi sang petinggi partai tadi. Siapa yang bertamu, ada acara apa di rumahnya, dan pernak-pernik lainnya yang diharapkan bisa dijual sebagai berita.


Maka sampailah juga kesibukan itu pada diri saya yang hina dina dan tidak peduli ini.


Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang menjalani rutinitas dan menunaikan kewajiban untuk mencari makan siang bersama teman-teman, tak disangka tak dinyana, seorang reporter ditemani seorang juru kamera (lengkap dengan kameranya tentunya) mendekati kami. Mungkin karena saya dan teman-teman sudah mulai terbiasa melihat kamera berseliweran, kami tidak terlalu memperhatikan mereka dan tetap berjalan lurus sambil bersenda gurau menuju tempat makan. Maklum... lapar...


Saya sendiri berjalan paling belakang karena sedang berbicara melalui telepon genggam saya. Maklum... banyak penggemar...


Sang reporter tiba-tiba mencegat salah seorang teman saya. Minta ijin untuk mewawancarai nampaknya. Teman saya kaget, tapi tetap berjalan, gelagapan menolak. Sang reporter beralih ke orang lain, tapi reaksi yang sama ditemui.


Sampailah pada saya, yang ketika itu baru saja selesai bertelpon-telpon ria. Mau mewawancarai saya ternyata. Sontak saya juga kaget. Gelagapan menolak. Tapi nampaknya karena tidak ada orang lain di belakang saya, si reporter bersikeras. Mungkin karena wajah saya yang lumayan “camera face” juga (agak-agak bermuka kotak seperti kamera, ditambah badan membulat karena obesitas, jadi mirip lensa).


Yah, singkat kata, berikut dialog singkat yang terjadi waktu itu (seingatnya saja, karena kebetulan ketika kejadian tidak membuat notulensi atau membawa rekaman):

Reporter: “Mas, wawancara sebentar yah. Mau kan?”

Saya: “Eh... apa? Kenapa? Duh... eh... maap mbak, saya mau makan. Tuh sama temen-temen saya di depan”

Reporter: “Aaaah... sebentar aja kok mas...”

Saya: “Lapar mbaaak” (duh, mengenaskan sekali jawaban saya... spontanitas yang menyedihkan)

Juru Kamera: (ikut-ikut merajuk) “iya mas, bentar aja kok. Yah. Yah... Saya nyalain nih kameranya”

Reporter: (sambil menyentuh lengan saya sedikit) “mau yah mas.. hehe...” (nyengir)

Saya: (garuk-garuk kepala. Ketombe berhamburan) “Eh, yaudah deh... tapi cepetan yak. Tentang apa ya mbak?”

Juru Kamera: (mulai menekan beberapa tombol di kameranya lalu mulai bergaya merekam dengan kamera dipanggul di bahu)

Reporter: “Tentang koalisi. Eh, mas karyawan Bappenas kan?”

Saya: “Eh? Saya? Bukan PNS mbak. Mending cari yang PNS aja” (jawaban apaaaaaaaaaa pula? Gak mutu.Gak Bonafid. Gak nyambung. Payah. Culun. Keliatan groginya)

Reporter: “Oh, ya gapapa mas. Yang penting kerja disini juga kan?”

Saya: (Bicara dalam hati: “Sial...”)

Reporter: (Bicara pada juru kamera) “Dah siap belom?”

Juru kamera: (Entah bicara pada siapa) “Eksyeeen...” (Maksudnya: Action!)


Maka dimulailah wawancara singkat itu, dengan dialog sebagai berikut:

Reporter: (Mulai mengajukan pertanyaan wawancara) “Mas, menjelang pemilu presiden nanti kan banyak petinggi partai dan pejabat negara yang sibuk berkoalisi ya. Mas merasa terganggu gak dengan itu?”

Saya: (Pasang tampang jaim, cool, sok keren, padahal muka kuyu karena stress mikirin kerjaan dan sudah beberapa malam begadang menangis karena ditinggal cinta --> lebay...kebanyakan nonton sinetron) “Hmm... maksudnya gimana mbak?” (malah terlihat oon)

Reporter: “Maksud saya, kan banyak pejabat negara yang jadi lebih sibuk mengurus koalisi daripada negara. Mas sebagai rakyat merasa terganggu tidak dengan itu?”

Saya: (Duuh, ini pertanyaan kok tendensius sekali... nampaknya lagi ingin membuat-buat berita berdasarkan opini nih...) “Nggak mbak”

Reporter: (Nampak sedikit terkejut dengan jawaban saya) “Maksudnya gimana tuh mas?”

Saya: “Maksud saya... Saya memang ga terlalu merasa ada bedanya. Toh sebelumnya saya rasa juga saya ga terlalu melihat mereka (orang-orang yang sibuk berkoalisi itu) bekerjanya bagaimana. Ya sekarang yang kerja tetap masuk kerja, yang jualan di pasar tetap jualan, yang bertani tetap bertani. Kehidupan tetap jalan. Ga ada bedanya juga. Maksud saya, kalau memang mau menunjukkan perhatian pada rakyat atau negara, ya tidak perlu tunggu 5 tahun sekali Pemilu kan? Jadi saya rasa saya ga terlalu terganggu, karena toh saya ga melihat beda pengaruhnya juga dengan aktivitas mereka sebelum ini.”

Reporter: “oh... gitu ya...” (Sambil senyum-senyum yang saya tidak tau maknanya apa. Mungkin menurutnya jawaban saya tadi itu jawaban bodoh... atau dia sedang curi-curi pandang dengan saya. Saya rasa yang terjadi adalah kemungkinan yang pertama)

Saya: “Kira-kira begitulah mbak”

Reporter: “Oke deh mas. Makasih ya”

Saya: (Udah nih? Cepet amat?) “Sama-sama”


Saya tidak mau menyebutkan stasiun televisi apa yang mewawancarai saya. Tidak terlalu penting juga sebenarnya.

Yang jelas, setelah wawancara itu, ketika sedang makan, saya baru menyadari sesuatu hal...


Jawaban yang saya berikan tadi cukup spontan. Masalahnya, kalau dipikir-pikir lagi... kok jawaban saya itu skeptik sekali ya? Kalau benar bahwa itu adalah jawaban spontan saya, maka berarti pada dasarnya mungkin saya memang skeptik. Bawaan dari lahir, dan menjadi karakter bawah sadar saya. Sehingga ketika ada yang bertanya, langsung jawaban skeptik semacam itulah yang keluar, walaupun belum tentu itu maksud saya yang sebenarnya.


Well... I guess maybe I am skeptical... but surely, I’m not proud of it.


Tapi mungkin saya tidak se-skeptik itu juga. Kalau saya memang skeptik (dan sarkastik), mungkin saya akan bilang bahwa trotoar di sekitar kantor saya itu kecil. Perkaranya, trotoar yang kecil itu kadang dipakai untuk menaruh kamera (beserta tripodnya), sehingga bisa menyorot langsung ke rumah sang petinggi partai. Sisa tempat di trotoar itu digunakan oleh para reporter dan juru kamera beristirahat atau sekedar mengobrol.


Imbasnya, pejalan kaki terpaksa berjalan dengan menginjak area rumput di pinggir trotoar. Area rumput itu pun bahkan juga penuh tripod dan kamera, sehingga pejalan kaki harus rela turun ke sedikit bagian aspal jalan raya. Bagaimana kalau ada yang tertabrak kendaraan yang lewat? Itu masih ditambah kadang harus menunduk agar tidak menghalangi kamera yang sedang meliput. Kan tidak lucu kalau di tengah-tengah berita tiba-tiba kepala saya melintas misalnya. Ya tentu kalau orangnya cukup percaya diri (atau tidak mau ambil pusing), dia akan lewati saja kamera itu, tak peduli sedang merekam atau tidak. Kalau yang lebih percaya diri lagi tentu akan sekalian saja melambaikan tangan dan tertawa lebar ke arah kamera sambil bilang “Ibuuu!!! Saya masuk tipiiii!!!”. Yah... paling dibilang kampungan...


Intinya, saya rasa ITU lebih mengganggu saya.

Toh lagipula perkara koalisi ini lumayan untuk alternatif dibanding nonton gosip infotainment.

Bagaimana menurut Anda? Anda terganggu?



Catatan tambahan: Sampai beberapa hari setelah insiden wawancara itu, sepertinya wawancara itu tidak pernah disiarkan. Entah karena jawaban saya yang terlalu skeptik dan tidak sesuai dengan harapan atau misi dari si reporter, atau karena rekaman itu sekedar untuk dijadikan koleksi pribadinya saja. Atau bisa juga, kemarin itu hanya gurauan saja dan kameranya sebenarnya tidak merekam. Entahlah.


Keterangan: Gambar diambil (tanpa permisi, maaf, hanya untuk hiasan saja) dari: http://www.mediamensch.com/2008/03/cameraman-in-salisbury-press-conference.html dan http://www.meridianusa.com/film_production.htm. Makasih ya...

No comments: