Friday, February 20, 2009

Pertanyaan-pertanyaan Dalam Hidup Sehari-hari

Ini adalah beberapa pertanyaan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari saya. Mungkin Anda juga pernah menanyakannya? Saya berikan sedikit ulasan juga untuk jawabannya. Bukan jawaban final, dan tentu Anda bisa melengkapi.


1. Kenapa harus pakai sistem “nota” waktu belanja?

Untuk saya, sistem belanja yang paling sederhana dan praktis adalah begini: Anda pilih barang yang mau dibeli, bawa barang itu ke kasir, bayar, bungkus, bayar, lalu pulang.


Saya kurang mengerti mengerti mengenai kenapa harus ada sistem nota dengan sistem begini: Anda pilih barang yang mau dibeli, cari pegawai terdekat, bilang ke dia bahwa Anda mau beli barang itu, dia catat di buku nota, ambil notanya dan bawa ke kasir, bayar, balik lagi ke tempat Anda menemukan barang itu dan temui petugas pemberi nota tadi, ambil barang yang sudah terbungkus, lalu pulang.

Buat saya agak kurang praktis.


Oke tapi sepertinya sistem ini akan sangat membantu kalau kita membeli barang berukuran besar seperti televisi, kulkas, mesin cuci, atau bahkan kendaraan bermotor, karena membopong barang-barang semacam itu ke kasir tentu akan SANGAT merepotkan. Tapi kalau untuk celana, kemeja, kertas kado, boneka, dsb., tidak perlulah...


2. Urinoir dengan sensor?

Oke, saya pasrah kalau dibilang kuno soal ini.

Untuk mungkin belum tau, urinoir adalah tempat buang air kecil (BAK). Kalau di toilet umum, biasanya urinoir di toilet pria itu berupa sebuah kotak yang ditempel di dinding. Istilah ini kurang umum didengar, karena biasanya orang-orang hanya menyebutnya secara sederhana sebagai... “tempat (maaf) pipis”.


Kalau Anda pria dan pernah ke toilet umum untuk pria... atau Anda wanita tapi entah bagaimana tau ada barang apa saja di toilet pria... mungkin Anda pernah memperhatikan bahwa di beberapa mall dan hotel-hotel mewah, terutama di Jakarta, ada barang “aneh” di sana. Ya! Urinoir dengan sensor!


Untuk sebagian orang yang sangat suka dengan kemajuan teknologi, mungkin penemuan ini dianggap sebagai salah satu pencapaian mutakhir yang fundamental dalam dunia pertoiletan. Sensor terletak sedikit di atas urinoir, konon katanya ia bisa memindai tubuh orang yang sedang BAK, lalu secara otomatis akan memerintahkan si urinoir untuk mengeluarkan air untuk membilas dirinya sendiri. Sangat canggih bukan?


Masalahnya... saya tidak tahu persis kapan sebenarnya si sensor akan memerintahkan urinoir itu mengeluarkan air pembilas, dan apa tepatnya yang dia deteksi. Apakah tubuh saya (kalau tubuh saya berada dalam “jarak pandang” si sensor, dia keluarkan airnya)? Ataukah kalau ada air yang membasahi si urinoir (kalau ada air seni yang membasahi urinoir, dia akan mengeluarkan air pembilas)? Atau kita harus melambaikan tangan dulu didepan sensor itu? Atau bagaimana?

Oke, lantas kapan keluarnya air pembilas itu? Beberapa detik/menit setelah dia mendeteksi ada yang BAK? Atau tepat ketika kita sudah selesai BAK? Beberapa detik setelah kita meninggalkan urinoir itu? Atau kapan?


Jawaban yang paling sering saya dengar adalah... beberapa detik SETELAH kita tinggalkan urinoir.


Nah... Ada beberapa kasus yang pernah saya temui terkait urinoir bersensor ini.

Pertama, saya mau BAK, urinoir penuh. Ketika ada yg sudah selesai, sy segera ke urinoir yg kosong. Tapi ternyata... air pembilas tidak keluar-keluar untuk membilas hajat orang sebelum saya. Jadi agak-agak... gimanaaa gitu.


Kedua, saya pernah memergoki seorang petugas kebersihan toilet secara manual menyiram urinoir bersensor dengan menggunakan gayung, ketika di toilet itu tidak ada pengunjungnya. Ternyata rusak. Dan tidak ada yang tahu, karena setelah BAK, orang langsung pergi, tidak peduli air keluar atau tidak. Toh kalau kemudian dia sadar bahwa airnya tidak keluar-keluar (rusak), sudah terlanjur BAK. Tentu yang di kasus pertama pun urinoirnya rusak, dan orang yang memakainya sebelum saya itu tidak tahu.


Ketiga, saya mau BAK, dan bingung bagaimana cara membuat air pembilasnya keluar (maklum, waktu itu baru pertama kali pakai yang bersensor). Saya menyerah, lalu mencari urinoir “normal”, atau sekalian toilet berjamban saja. Ketika saya meninggalkan urinoir bersensor tersebut, tiba-tiba air keluar. Tidak memancur. Alirannya terlihat jelas pun tidak. Alirannya seperti rembesan-rembesan saja di dinding bagian dalam urinoar. Cukup untuk membilas hajat. Dan sudah. Itu saja. Sangat hemat air.


Masalahnya... kalau air itu baru keluar setelah saya tinggalkan, dan air itu hanya mengalir di dinding-dindingnya, bagaimana saya akan... mmm... membasuh diri saya sendiri?

Ya itu penting. Tanpa itu, masih ada najis yang tersisa di tubuh saya, dan saya ga bisa sholat.

Kenapa makin modern malah makin jorok gini sih? Apa yang menciptakan model mutakhir ini tidak memikirkan mengenai kebersihan badan si penggunanya?

Lagipula, sepraktis apapun model ini, saya rasa model yang lama juga sudah praktis kok. Model lama yang saya maksud adalah model urinoir dengan tombol atau tuas diatasnya. Tinggal tekan tombolnya, air keluar, dan ada yang mengalir (memancur). Masih kurang praktis juga? Saya rasa model lama ini setidaknya melatih kita untuk bertanggung jawab. Habis BAK ya disiram (sendiri).


3. Perilaku di Lift (1)

Anda pernah melihat orang menahan pintu lift terbuka supaya orang lain bisa masuk? Ini adalah tindakan yang sangat mulia dan baik sekali.


Yang saya bingung... kenapa banyak orang yang menahan pintu lift itu secara manual dengan tangan ya? Maksud saya, tangannya benar-benar menahan pintu itu supaya tidak menutup. Bukankah itu dalam jangka panjang malah bisa merusak pintu liftnya? Dan bukankah di setiap lift ada tombol dengan gambar kira-kira seperti dua arah panah yang berlawanan? Itu fungsinya untuk menjaga supaya pintu lift tetap terbuka. Jadi Anda tidak perlu menahan secara manual. Cukup tekan saja tombol itu sampai waktu yang Anda inginkan.


Mudah bukan?


Ya... tapi memang lebih terlihat heroik kalau ditahan manual sih. Apalagi kalau Anda pria, dan yang mau masuk itu seorang wanita.


4. Perilaku di Lift (2)

Saya tidak habis pikir... kenapa banyak orang menunggu lift TEPAT di depan pintu liftnya. Bagaimana orang yang di dalam lift bisa keluar?


5. Membicarakan Orang Lain

Yang saya maksud disini adalah membicarakan “keburukan” atau minimal “sesuatu yang secara umum dianggap buruk”. Kenapa orang suka sekali melakukan ini?


Awalnya saya pikir itu karena banyak orang kurang kerjaan. Tapi ternyata, setelah saya di “dunia kerja”, saya pelajari bahwa sesibuk apapun kantor itu, dan sesibuk apapun terlihatnya semua orang, ternyata selalu masih ada waktu untuk menggosipkan kejelekan orang lain, dan menyebarluaskannya. Entah memang diniatkan, atau sekedar curi-curi waktu untuk itu.


Di satu buku psikologi populer yang saya lupa namanya (karena waktu masih kuliah cuma saya baca sekilas saja di Toko Buku Gramedia... lalu tidak membelinya karena tidak ada dana), ada satu perilaku/sifat yang umum dimiliki banyak orang. Sifat itu adalah... tidak mau terlihat “jelek”, atau kalaupun dia jelek, maka setidaknya harus ada yang terlihat lebih jelek dari dia... setidaknya di mata orang lain. Kalau tidak begitu... hancurlah dunia.


Ini bisa menjelaskan fenomena begitu maraknya gosip, dan kenapa jarang yang digosipkan itu adalah sesuatu yang baik. Kalau “tidak begitu buruk” pun, biasanya akan tersampaikan seolah “benar-benar buruk”. Wajar saja, karena sangat jarang seseorang bisa menceritakan tentang kisah “A” dengan tepat “A”. Biasanya sudah berubah menjadi “AB” atau “ABZ”. Bertambah terus bumbunya. Berkurang malah jarang.


Biasanya, para penggosip ini mencari rasa “aman” untuk dirinya sendiri. Dengan menggosipkan kejelekan orang lain, mereka akan merasa bahwa diri mereka “tidak buruk-buruk amat”, karena “ada orang lain yang lebih buruk”. Atau minimal, mereka merasa aman karena orang-orang (ternyata) tidak (sedang) menggosipkan keburukan mereka sendiri, melainkan orang lain. Jadi mereka bisa terus merasa “lebih baik dari orang lain”.


Pathetic!


Kenapa saya menceritakan ini? Karena pagi ini tiba-tiba seseorang (sebut saja X) mendatangi saya dan mengatakan bahwa seseorang (sebut saja Y) meminta saya untuk melakukan sesuatu (sebut saja Z). Saya tidak keberatan dengan permintaannya, tapi saya heran kenapa harus seperti itu cara mintanya. Ketika saya tanya ke X, “siapakah Y itu?”, X hanya jawab “adalaah, Awan gausah tau”. Tidak puas, saya tanyakan lagi : “Kenapa dia minta saya melakukan itu?”, dan X hanya jawab “ya gitulah... mungkin Awan juga sudah tau”. Lalu X pergi.


WHAT THE **** ?!?!?!

Jadi, seorang “adalaah” meminta saya untuk melakukan sesuatu dengan alasan “gitulaaah”.


Well... Saya tidak respek dengan orang-orang semacam si Y ini karena 2 alasan. Pertama, dia cukup bermental pengecut untuk mengatakannya langsung ke saya, dan membahasnya terlebih dahulu (karena saya tidak merasa ada yang salah). Kedua, berarti Y telah membicarakan saya di belakang (minimal dengan X), dan dia tidak peduli apakah yang diomongkan itu benar atau tidak. Yang jelas menurut dia, saya salah (sabodo teuing).


Kenapa saya tulis disini? Sederhana... karena saya tidak tahu Y itu siapa, sehingga saya tidak bisa damprat langsung ke orangnya.


Jadi... Ya sudalaaaah... =))



NB: Gambar diambil dari situs-situs berikut (maap tanpa ijin ya mbak/mas). Maaf juga gambarnya saya permak sedikit untuk menunjukkan apa yang saya sedang bicarakan.

- Gambar orang bergosip dari sebuah email yang saya terima tentang golongan darah. entah dari mana asalnya, tapi sangat lucu.

- Gambar urinoir dari http://www.javastone.com/world/gallery/

- Gambar tombol lift dari http://azizraharjo.com/index.php/tips-bagaimana-menghack-lift/


No comments: