Oke, buat yang udah ga sabar nunggu sambungannya (saha boa...), inilah dia Belalang Tempur episode 2.
Singkat kata (supaya ga tambah panjang)... setelah malam pertama saya lalui bersama si biru, saya mengetahui kalau sebelum saya tunggangi, si biru ternyata teronggok di gudang dekat himpunan setelah sebelumnya dipinjam oleh Maryandi, yang mana saya juga tidak tau alasannya, mengapa kemudian Maryandi menjatuhkan talak 4 ke si biru. Jadi, Mar, kalo anda membaca postingan ini, mohon jelaskan pada kami alasannya...
Dan setelah penunggangan pertama yang dilalui dengan kejayaan pada pagi harinya (menang balapan lawan Honda Supra X 110cc produksi tahun 1998), ternyata perjalanan pulang tidak terlalu membawa kebahagiaan. Saya sadar, bahwa karena saya melalui jalan yang menurun pada waktu berangkat ke kampus, tentu saya harus menanjak ketika pulang. Yang belum saya sadari adalah, ternyata tanjakannya tidak seringan dugaan saya...
Betul sekali sodara-sodara, setelah keluar dari gerbang belakang dan melalui jalan Dayang Sumbi menuju Jl.Ir.H. Juanda menuju Pasar Simpang dan Jalan Bangbayang, saya ngos-ngosan dibuatnya. Terasa keringat menetes dan betis mulai farises. Ketika saya sedang menunggu lampu merah di Simpang Dago, sekonyong-konyong dari belakang muncul seorang bule bersepeda. Si bule berperawakan tinggi besar (dibanding badan imut-imut saya yang khas ras melanesia), berambut pirang, berbaju sporty, memakai parfum yang sudah bercampur keringatnya tapi masih tercium, memakai helm dan sepatu khas pesepeda, dan sepedanya adalah generasi terbaru sepeda gunung (mountain bike) berbahan carbon tebal yang ringan, tetapi plangnya jelas lebih besar dari si biru. Ada pegas di antara plang dengan sadelnya, berfungsi sebagai semacam sokbreker (shock-breaker). Sepedanya berwarna merah mulus, spakbor hitam dan tampak tinggi kokoh, lengkap dengan botol minum bertuliskan Gatorade di bawah plang sejajarnya. Cakep banget dah! (sepedanya).
Saya melihat si biru seolah menyingkir karena minder dengan penampilannya yang kusam dan hina, dan berusaha menyuruh saya menyingkir karena mungkin malu juga melihat penampilan saya (penunggangnya) yang berkemeja lusuh dengan keringat mengucur sehingga deodoran tak lagi berguna, sepasang sendal jepit dengan rambut agak gondrong tak karuan karena jarang sisiran, dan tas ransel biru yang tingkat kekumalannya sudah sebanding dengan sendal jepit saya. Waduh... sabar ya biru...
Karena menolak mentalitas inlander yang merasa minder dihadapan bule yang dulu menjajah bangsa saya, saya menegaskan pada si biru : ”tadi pagi kita bisa menang! Sekarang pun bisa !!”.
Lampu merah sudah akan berganti... dan yak! LAMPU HIJAU!!” Dengan sisa-sisa kekuatan pada betis, saya langsung tancap gas (mengayuh dengan cepat) dan unggul pada saat start. Tapi, saat mendekati pertigaan Tubagus Ismail, tiba-tiba sekonyong-konyong si bule itu melewati saya dengan tenangnya, sambil meminum air dari botol minumnya, lalu mengayuh sepedanya sambil berdiri di tanjakan, meninggalkan saya di belakang. Seperti sudah bisa diduga, hasil balapan itu cukup menyedihkan. Saya hampir-hampir terhenti karena pegal di tanjakan, walau dengan sisa-sisa tenaga, berhasil masuk ke jalan Bangbayang, dan tiba di rumah dengan perasaan kalah terhina. Wah... saya jadi agak malas untuk kembali bersepeda pada esok harinya...
Tapi dari kekalahan itu, ada satu ilmu yang saya pelajari dari si bule. Saya perhatikan, dia menyetel sadelnya itu tinggi sekali, sehingga harus berjinjit kalau kakinya mau menapak tanah. Saya rasa, itu memperingan dia dalam mengayuh sepedanya, terutama pada tanjakan. Dan lagi, teknik berdiri saat tanjakan sepertinya cukup efektif untuk meningkatkan tenaga.
Mulai saat itu, sadel si biru saya set tinggi, kira-kira sejajar dengan pinggang saya, sehingga saya harus berjinjit kalau mau menapak tanah. Dan benar sodara-sodara, ternyata posisi itu membuat saya tidak perlu mengangkat paha dan dengkul terlalu tinggi untuk setiap kayuhan, sehingga tenaga per putaran lebih efisien. Terlebih, handling atau kendali menjadi jauh lebih responsif, terutama pada kecepatan tinggi. Saya kembali bersemangat untuk nyepeda, dan dalam 3 pertemuan berikutnya dengan si bule, saya sudah mampu menyaingi kecepatannya, bahkan dalam beberapa kesempatan menyalipnya di tanjakan... huahahahahaha (padahal sepertinya si bule itu ga mikirin balapan dengan saya ya...).
Anyway, sejak saat itu, hari-hari saya dengan si biru dimulai. Saya kemana-mana dengan si biru, sehingga julukan Oemar Bakri di himpunan (HMP tercinta) mulai akrab dengan saya. Para penghuni kampus pun sudah mulai akrab dengan suara rem depan si biru yang memang saya fungsikan sebagai semacam klakson. Dimulai dengan tukang parkir dan satpam pintu belakang yang mulai akrab dengan saya karena tiap pagi saling sapa, lalu dengan anak-anak kimia, LSS, dan penghuni Gedung Bengkok yang tiap pagi saya lewati, kemudian anak2 himpunan lain yang sering saya kunjungi dengan si biru, semua mulai mengenali bahwa orang yang suka bersepeda di kampus itu bernama... Awan. Pada saat itu, memang jarang sekali orang bersepeda di kampus, bahkan, saya rasa hanya saya yang rutin. Tanjakan Dago yang saya lalui tiap hari menjadi tak lagi berarti, walau memang sedikit pegal dan memaksa keringat untuk keluar. Tapi toh, setidaknya saya jadi punya kebiasaan yang bagus, mandi 2 kali sehari (sebelumnya hanya 1 kali, yaitu pagi hari).
Perpindahan sekre KM-ITB dari Student Centre di tengah kampus ke bagian pojok barat laut kampus membuat si biru semakin berguna. Disaat para punggawa KM-ITB harus berjalan agak jauh ke sekre, saya tinggal meluncur ditemani angin dan lambaian tangan kawan-kawan yang dilalui sepanjang jalan.
Tentu, saya juga sudah mempelajari teknik lepas 1 tangan maupun lepas 2 tangan ketika sepeda sedang melaju. Teknik ini sangat penting mengingat banyaknya lambaian tangan dan teriakan sapaan dari teman-teman yang saya lalui saat menunggang si biru, terutama dari kaum wanita (yang mana kawan saya dari gender ini cukup banyak, heheh :p ). Kalau tidak dibalas, tentu saya dibilang sombong bukan? Lagipula si biru juga radarnya cukup sensitif. Kalau ada teman wanita yang sedang berjalan, pasti aja bunyi, entah remnya, entah rodanya, atau entah kenapa meluncur mendekati si wanita itu, memaksanya menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan sambil menyapa : ”halo wan!! Nyepeda mulu nih!!” atau ”assalamu’alaikum”, atau ”wan, bonceng dong!!” atau ”woy, ntar rapat jam 5 !!” atau ”kuliah woy! Jangan maen mulu!” dsb-dsb, yang tentu saya balas sekenanya dengan berlagak sok tergesa-gesa sambil melambaikan satu tangan... ”iya dong!” atau ”wa’alaikum salam” atau ”alo bos” atau ”bonceng? Boleh...=P”. Tapi jangan salah sangka, kalau yang menyapa pria juga tetap saya balas kok...huhuhihihihoho :p.
Tapi, bicara masalah bonceng membonceng, memang agak ribet. Masalahnya, si biru tidak punya sadel boncengan, sehingga kalau memang dipaksakan mau membonceng, si penumpang harus puas duduk di plang depan si biru (yang posisinya tepat diantara saya dan stang). Plang ini memang kecil (sehingga membuat sakit kalau diduduki), tapi cukup kuat karena terbuat dari besi solid. Inilah kelebihan sepeda gunung generasi-generasi pertama dibanding sepeda gunung sekarang. Sepeda gunung sekarang kebanyakan dibuat dari bahan carbon yang memang cukup ringan dan kuat, tapi sebenarnya ”kopong” di bagian dalamnya. Bahkan ada juga sepeda-sepeda murah yang terbuat dari besi kopong. Berbeda dengan si biru dan kawan segenerasinya yang terbuat dari besi solid sehingga kekuatannya dapat diandalkan, meski agak berat kalau harus diangkat-angkat (yang mana sering juga saya lakukan kalau menemui tangga atau rintangan yang tidak terlalu tinggi). Jadi, kalau pilih sepeda, pilih yang bahannya carbon tebal, ringan, kuat, tapi jangan diduduki plangnya (karena belum tentu sekuat itu). Seandainya lebih senang dengan yang terbuat dari besi, jangan tertipu! Pilih yang plangnya kecil tapi terbuat dari besi solid, karena kalau yang plangnya besar biasanya dalamnya kopong.
Anyway, kembali ke soal bonceng-boncengan, karena posisinya yang agak-agak ”rawan”, maka saya tidak pernah membonceng wanita (ya iyalah! Kaya pelukan gitu loh!). Tapi karena yakin plang si biru hanya akan patah kalau diduduki gajah, maka saya cukup PD juga kalau memang terpaksa harus membonceng beberapa kawan saya. Tercatat, hanya kawan saya M.Arifin, Catuy, dan Ahmad Muhadjir (yang beratnya hanya seperempat gajah) yang pernah saya bonceng. Ipin dan Ahmadlah yang paling sering, dan biasanya mereka baru turun ketika melihat tatapan-tatapan aneh diwarnai curiga (atau jijik) yang melihat kami berboncengan... Bukan mas, kami bukan homo...
Alkisah, seorang anggota Kabinet KM-ITB suatu ketika pernah bertanya pada saya di depan anak-anak lain... ”baru dateng wan? Pake Belalang Tempur??”, ”Ha? Belalang Tempur??” tanya saya kembali sambil melongo... dan meledaklah tawa anak2 lain, karena telah menemukan sebutan yang pas untuk si biru.
Ketika itu, saya pun sedang aktif-aktifnya mengawasi jalannya Open House Unit ITB 2003, dan sering main ke sekre panitianya. Pada suatu hari, beberapa orang anggota panitia OHU ini iseng memasang dua benda serupa antena yang diikatkan di depan stang sepeda saya. Saya tertawa saja dan berkeliling dengan sepeda itu sambil diiringi tawa kawan-kawan yang saya lewati. Kamana belalang tempur???
Sepeda ini juga tercatat pernah 2 kali mengikuti aksi demonstrasi, yaitu ketika saya sedang malas berjalan kaki. Lumayanlah, tidak ikut dalam barisan, tapi bantu-bantu bagian keamanan, terutama dalam menyetop lalu lintas ketika pasukan akan menyebrang jalan. Rangkanya memang kecil dan mungkin tidak terlihat dari jauh, tapi kalau saya duduk di atasnya sambil melambaikan tangan ke mobil-mobil yang mau lewat, tentu mereka terpaksa berhenti kan? Berkat keikutsertaannya dalam demo itulah, dan beberapa kali ”meninjau” demo-demo lain, predikat ”Belalang Tempur” jadi semakin kuat disandang si biru. Tentu, mengingat saya pun mungkin mirip dengan Kotaro Minami yang tampan itu.
Bosan dengan di dalam kampus, Belalang Tempur mulai mengantar saya keliling Bandung. Pada masa itu, saya pernah mendapat kerjaan ringan yang lumayan untuk hidup sebulan. Kerjanya tercatat hanya 2 hari, jadi notulis waktu forum pertemuan NGO-NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, tapi honornya lumayan, 300 ribu, yang waktu itu, cukup untuk hidup enak selama 1 bulan di Bandung. Terima kasih pada Pak Suhirman dari FPPM yang mengerti kesulitan finansial saya waktu itu, dan mengajak saya untuk jadi notulis.
Pergi ke tempat pertemuan di Cikutra bukanlah masalah, karena melalui Sedang Serang yang cenderung turunan (tercatat hanya ada 2 tanjakan yang signifikan). Tetapi pulangnya itu yang bermasalah. Karena saya pikir jalan Sedang Serang cukup menyulitkan karena berarti menanjak, maka saya memutuskan untuk lewat jalan Suci. Ternyata, jalan Suci pun tak kalah melelahkannya. Jalan yang seolah datar ini ternyata sebenarnya adalah sebuah tanjakan yang konstan. Meski sudut kemiringannya kecil (mungkin hanya 5-10 derajat), tapi konstan!
Demikianlah, Belalang Tempur juga telah membantu saya untuk menafkahi diri. Dan selain Cikutra, tercatat Cihampelas, Setiabudi, Terminal Dago, Wastu Kencana dan Pajajaran sebagai jalan-jalan yang pernah ditapaki oleh saya bersama Belalang Tempur, masih dengan perlengkapan seadanya dan rem yang agak blong. Satu-satunya tempat yang waktu itu sering saya kunjungi, tapi tanpa Belalang Tempur, adalah Ujung Berung dan Jatinangor (tempat penelitian waktu TA), karena saya menolak untuk basah oleh keringat ketika sampai di kedua tempat itu.
Memang, pada malam-malam tertentu, kalau saya sedang malas atau misalnya dari Ujung Berung langsung ke rumah, Belalang Tempur sering saya inapkan di kampus. Ada 2 tempat penyimpanan yang biasanya ditempati olehnya. Pertama adalah dititipkan di HMP, dan kedua adalah di GKU Baru, sebelah ATM BNI, dimana ada sebuah gudang kecil disitu, dibawah tangga, berukuran 1,5 kali 3 meter, yang pas sekali untuk tubuh si Belalang Tempur, sehingga cocok untuk disebut Garasi Belpur. Garasi ini saya temukan ketika masa-masa aktif kepanitiaan Open House Unit. Gudang ini tidak pernah terkunci, tapi anehnya, sepertinya tidak pernah ada orang yang berminat untuk membuka pintunya dan melihat apa isinya. Dan inilah sebabnya, Belalang Tempur aman berada didalamnya, walaupun tidak pernah dirantai (berhubung saya ga punya rantai sepeda atau gembok).
Tapi pada suatu malam di semester 8, pada masa-masa dimana saya sudah ikhlas karena tidak bisa menyelesaikan studi tepat waktu, momen itu terjadi... sebuah momen yang selalu mengiringi setiap pertemuan... yaitu momen perpisahan.
Ketika itu, saya menginapkan Belalang Tempur di dalam sekre himpunan karena saya mau ke Ujung Berung. Sekre dikunci dan digembok, pintu depan gedung Plano pun dikunci. Aman. Tetapi ketika pagi harinya saya ke himpunan untuk menyapa belalang tempur, ternyata ia sudah raib, lengkap dengan raibnya satu gitar himpunan, printer, dan beberapa pernak-pernik di himpunan. Sekawanan garong brengsek tentu telah memasuki ruang himpunan di malam hari, dan membawa semuanya...
Untunglah, si empunya Belalang Tempur mengikhlaskan kehilangan ini... Tapi tetap, kesedihan di hati saya tidak terperi. Seketika saya keluar himpunan dan berdiri di depan fotokopian Mas Kamto sambil melihat ke angkasa sambil berteriak .... ”TIDAAAAAAAAAAAKKKKK!!!!!!! MENGAPAAAAAA !!????!??!??!” lalu jatuh terduduk sambil menangis dalam hati... Belalang tempur telah tiada... Entah karena semata-mata diambil oleh si garong brengsek itu (yang kalo ketemu akan saya colok matanya!) atau karena dia cemburu mendengar perbincangan saya dengan beberapa kawan mengenai keinginan saya membeli motor. Padahal, saat itu saya sudah berencana untuk membelikan Belalang Tempur rantai sepeda dan karet rem baru... Tapi tentu, penyesalan selalu datang belakangan.
Akhirnya saya lulus dan diwisuda. Alhamdulillah.
Ketika saya keluar dari pintu sabuga memakai toga, terbesit keinginan ganjil untuk kembali menunggangi Belalang Tempur dengan memakai toga, berseri bersama menyusuri jalan, merasakan sapaan angin di wajah dan menerbangkan rambut saya, dan membiarkan keringat di tubuh saya menguap dibawah cahaya mentari.
Tapi itu hanya impian... Belalang Tempur sudah entah dimana, dan saya harus menapaki jalan didepan saya seorang diri. Seketika di kepala saya terdengar kembali theme song closing dari film Ksatria Baja Hitam yang bernuansa sendu, berbeda dengan nuansa pada lagu openingnya... neneneee nenene nene... nanana nananaa nananaaa dst dst yang saya tidak mengerti karena dalam bahasa jepang...
Selamat jalan... Belalang Tempur!!!
No comments:
Post a Comment