Beberapa tahun yang lalu, pada suatu waktu yang saya tidak ingat lagi kapan, seorang rekan senator yang cukup bijak pernah berbicara secara pribadi dengan saya... (Buat Ndaru, senator IF, maaf saya baru ingat lagi nasehat Ndaru...)
Teman (T) : "Wan, kamu nih dikasi karunia sama Allah, dalam lidah dan kemampuan berbicara"
Saya (S) : bingung karena tiba2 dia ngomong gitu... "saya rasa yang mau situ omongkan bukan itu. maksud Ndaru apa?"
T : "maksud saya ya itu, kamu dikaruniai kemampuan untuk mengatakan TEPAT apa yang kamu rasa/pikirkan."
S : masih bingung... "tapi??"
T : "tapi... contohnya, apa yang kamu katakan saat sidang tadi. saya rasa akan ada beberapa yang tersinggung oleh ucapan kamu..."
S : "ucapan yang mana?"
T : "ketika kamu memojokkan beberapa himpunan dengan ucapan-ucapan kamu. Toh kita tau kalau mereka pun mendapat aspirasi itu tidak mudah. memang mungkin ada yang tidak sepenuhnya baik. tapi... mungkin cara kamu bicara yang bisa menyinggung."
S : baru mengerti apa yang dimaksud... "ya, saya tau itu resikonya. dan saya ga bisa menahannya ru. mungkin itu bawaan lahir saya. lagipula, tidak ada yang membantah omongan saya tadi itu, karena saya rasa memang itu kebenarannya."
T : "betul, mungkin memang itu kebenarannya"
S : "dan ndaru pernah bilang ke saya, bahwa kebenaran itu harus dikemukakan. yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah"
T : "betul, tapi kamu perlu ingat juga bahwa tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menyakiti hati saudaranya sesama muslim, maupun membuatnya merasa tidak nyaman. inilah prinsip ukhuwah."
S : "..."
T : "maksud saya adalah, memang benar apa yang kamu omongkan, tapi mungkin tidak benar bagaimana kamu menyampaikannya. kalau memang kebenarannya itu pahit, maka kepahitan itu jangan ditambah lagi dengan menyakiti hati"
S : "maksudnya, saya harus memperhalus cara saya berbicara?"
T : "mungkin... saya rasa kamu cukup bijak untuk bisa menentukannya sendiri. kita tahu, kadang-kadang, justru penyampaian yang salah itu malah bisa membuat maksud kita tidak tercapai. iya?"
S : "mungkin... ya, saya memang merasa bersalah juga karena tadi memang sepertinya omongan saya terlalu keras."
T : "karakter dibentuk bukan dengan selamanya menjadi diri kita sendiri. karakter dibentuk dengan sejauh apa kita berusaha memperbaiki diri, kalau memang kita merasa ada yang perlu diperbaiki dalam diri kita."
S : "apakah berarti diam itu emas?"
T : "saya tidak menyuruh kamu untuk diam. saya hanya mengingatkan bahwa seorang yang hanif selayaknya memikirkan akibat, efek yang ditimbulkan dari ucapannya. Ingat, lidah itu bisa lebih tajam dari pedang. Dan lidah kamu wan, ketika kamu sedang dalam keseriusan yang tinggi, adalah setajam belati. Bisa melukai lebih dari yang kamu maksudkan, atau bahkan yang kamu inginkan."
S : "..."
Mungkin teman saya itu memang benar... Seketika ingatan saya melayang pada beberapa tahun sebelumnya lagi, ketika kelas 2 SMA. Tidakkah cukup lidah ini membawa korban?
Masih segar dalam ingatan, ketika lidah ini begitu kelu untuk menyampaikan salam manis atau ucapan bijak untuk memotivasi seorang kawan baik. Alih-alih, ia justru begitu dingin menyampaikan sebuah aura ketidakpedulian, ketika sang kawan saat itu ternyata sedang sangat membutuhkannya. Keesokan paginya, saya harus hidup dengan kenyataan bahwa kawan saya itu mengakhiri hidupnya sendiri dengan seutas tali di garasi rumahnya, dan kenyataan yang lebih pahit bahwa saya (beserta lidah saya) adalah orang terakhir yang berbicara dengan dia, sebelum keputusan pengecut itu diambilnya...
Mungkin Ndaru benar, saya harus menjaga lidah saya.
Tapi maafkan saya teman. Sampai saat ini, saya gagal. Saya masih belum mengerti bahwa kadang, saat terbaik untuk memilih diam adalah saat kita begitu inginnya berbicara.
Keseriusan yang begitu saya benci. Betapa saya begitu membenci keseriusan itu dalam diri saya. Karena ketika ia datang, maka apa yang lidah ini ucapkan adalah sesuatu yang sepertinya begitu terlepas dari emosi, dari perasaan. Ia menjadi sesuatu yang dingin, dan terkadang seperti kata Ndaru, setajam belati. Saya tidak ingin menjadi serius...
Untuk bapak2 dan ibu2 yang kemarin bersama saya mengikuti rapat di 203, saya mohon maaf. walaupun kemungkinan bapak ibu membaca tulisan saya ini mungkin satu banding satu milyar, tapi toh saya tetap ingin minta maaf.
Tidak, saya sama sekali tidak beranggapan bahwa pekerjaan bapak ibu adalah sampah. Saya tau bahwa butuh perjuangan yang mungkin melebihi kapasitas saya sendiri untuk dapat menghasilkan apa yang bapak ibu presentasikan kemarin. Saya juga pernah merasakan saat-saat itu, ketika perjuangan saya seperti tidak dihargai. Dan adalah sebuah kesalahan besar ketika saya kemudian membuat bapak ibu merasakan hal yang sama.
Sepenuhnya, saya menghargai pekerjaan bapak ibu... maaf... ada hal-hal lain yang saya maksudkan dengan ucapan saya itu. Semoga bapak ibu mengerti.
Untuk Ndaru, terima kasih, dan maaf kalau saya belum bisa menjalankan nasihat Ndaru.
Kadang saya lebih merasa, bahwa lidah ini lebih merupakan sebuah kutukan dibanding karunia.
Yang putih adalah putih, dan yang hitam adalah hitam. Bukankah begitu?
No comments:
Post a Comment