Thursday, July 16, 2009

Jam Kerja? Jam Kantor? Apa itu?



Tadi malam, ketika jam menunjukkan pukul 19.30, saya bersiap meninggalkan kantor. Saya pikir: "hey, sudah jam 19.30. Orang-orang sudah pada pulang semua. Saya biasa datang jam 8 pagi dan jam segini saya masih di kantor. Saya memang rajin."

Akan tetapi kejadian 12 jam berikutnya membuat saya sadar bahwa kesombongan itu akan selalu mendapatkan hukuman.

Tepat ketika saya beranjak hendak pamit ke bos, pak bos malah bertanya: "Wan, nanti tidur di sekretariat kan? Dekat lah ya, gak ke Bogor. Saya minta tolong dong. Ini ada kerjaan sedikit... blablablablablablabla..."

"Sial..." (pikir saya dalam hati)

Dan akhirnya duduklah saya kembali didepan komputer kantor, mengetik-ngetik, dan memesan mie goreng sebagai makan malam karena cacing-cacing di perut saya yang gendut ini mulai berteriak karena mereka takut kurus. Tentunya, mie goreng itu saya bayar sendiri.

Akhirnya, selesailah pekerjaan itu pukul 21.30. Saya segera pamit dan langsung keluar karena badan sudah gerah ingin mandi, dan mata sudah ngantuk ingin bobo. Saya tidak ingat berapa lama saya tidur. Tapi yang jelas saya bangun sekitar pukul 05.15.

Ketika saya bangun, seorang teman sudah datang menghampiri.
Kata-katanya cukup mengejutkan. Bos akan datang ke tempat saya tidur itu sekitar 10 menit lagi. Saya disuruh dibangunkan dan siap-siap, tapi tidak perlu mandi dulu katanya.

Pada akhirnya memang pukul 05.45 Pak Bos sudah datang, masih dengan celana pendek dan kaus oblong yang dipakainya tidur. Saya pun menghadap dengan memakai sweater yang saya pakai setiap malam untuk tidur (sehingga belum dicuci selama seminggu) dilengkapi sarung yang juga belum dicuci selama seminggu. Itulah setelan tidur saya setiap hari memang.

Ternyata ada koreksi-koreksi untuk pekerjaan saya yang semalam. Dan sebelum jam 7 saya diminta untuk menyelesaikan koreksian itu, sambil menunggu dia menumpang mandi. Maka jadilah saya menyalakan komputer pukul 06.00 untuk kemudian bekerja sampai pukul 07.00, kemudian mandi, dan bergegas ke kantor pukul 08.00.

......



Heran.
Seingat saya, pada zaman revolusi industri di Inggris setelah James Watt menciptakan mesin uap dulu, diciptakan sebuah konsep yang namanya "jam kerja". Untuk yang kerja kantoran ya namanya "jam kantor".
Pun pada tahun 1960-an ketika banyak serikat pekerja bermunculan di seluruh dunia, setau saya diciptakan sebuah mekanisme yang dinamakan "upah lembur".

Itu apa artinya ya?

Tuesday, July 14, 2009

Mengapa Kami Memusuhi Real Madrid (Sebuah catatan Sejarah Sepak Bola dan Pelajaran Kehidupan, Episode 1)


Catatan awal: Karena amat sangat teramat panjang, tulisan ini akan dibagi kedalam 3 episode. Episode pertama akan banyak berbicara mengenai rivalitas Barcelona-Real Madrid. Tulisan kedua akan berbicara mengenai filosofi klub, filosofi permainan, dan total football. Tulisan ketiga akan membahas mengenai apa-apa pelajaran hidup yang dapat diambil dari semua ini.

Mari kita mulai.

Setelah keberhasilan FC Barcelona merengkuh 3 (TIGA!) gelar utama musim ini (La Liga Spanyol, Champions League, dan Piala Raja Spanyol/Copa del Rey), beragam tulisan mengenai keindahan permainan FC Barcelona bermunculan. Pun, para penggemar “baru” pun juga mulai membuka matanya. Khusus untuk diri saya sendiri, yang memajang logo Barcelona sebagai latar belakang utama dalam tampilan desktop komputer, banyak juga teman-teman maupun orang yang baru kenal dengan saya mengira bahwa saya adalah salah satu dari penggemar baru tersebut.

BUKAN saudara-saudara sekalian! Saya BUKAN penggemar baru. Saya merupakan penggemar Barcelona sejak saya mulai menonton sepak bola dan orang-orang tua masih menggilai AC Milan. Saya juga adalah orang yang selalu ditertawakan oleh kawan-kawan saya sejak SMP karena setiap pergelaran Piala Dunia dan Piala Eropa selalu menjagokan Spanyol untuk menjadi juara (yang tentunya gantian saya yang tertawa puas setelah Spanyol juara Eropa tahun 2008 lalu), dan selalu memainkan Spanyol atau Barcelona sebagai tim utama kalau sedang bermain PS (PlayStation), sejak pertama saya mengenal PS.

Saya menyukai FC Barcelona sejak para pemain seperti Luis Enrique dan Josep Guardiola masih menapaki kejayaannya, dan Ronaldo (si pengkhianat itu) masih bermain di PSV Eindhoven. Saya sudah menyukai Spanyol ketika Andoni Zubizarreta masih mengawal gawangnya, serta Alfonso Perez dan Kiko Narvaez masih menjadi punggawa di lini depan, sebelum kedatangan Raul Gonzalez Blanco.

Pada titik ini, tentu Anda akan berkata... “Maak, sudah tua kali si Awan ini... Nama-nama pemain bolanya pun sudah tak lagi dikenal”. Yaaah, tentu sah-sah saja memandang begitu. Tapi sebenarnya salah juga, karena seingat saya waktu itu saya memang masih anak keciiiiiiiiil sekali (ini sebagai pembenaran supaya Anda pembaca mendapat gambaran jelas bahwa saya masih muda).

Ada baiknya kita lupakan perihal tua-muda ini, karena usia itu tentu sifatnya relatif apabila dibandingkan dengan kedewasaan. Dalam hal ini, permasalahannya, tidaklah bisa kedewasaan itu diukur sendiri oleh saya, karena jawabannya nanti bisa mengesankan kalau saya itu sombong (hehehe).

Lalu, tentunya anda mengenal (atau untuk yang tidak suka sepak bola, tentunya tidak mengenal) dengan istilah el-classico di Liga Sepak Bola Spanyol (La Liga). Istilah ini merujuk pada pertandingan antara dua musuh bebuyutan, FC Barcelona dengan Real Madrid. Musuh bebuyutan? Ya, kedua tim ini adalah rival sejak dulu. Sebuah permusuhan yang usianya sudah hampir 1 abad. Dan sebagai penggemar Barcelona, tentunya saya juga memusuhi Real Madrid.

Ini, bagi seorang penggemar seperti saya, bukan semata permusuhan untuk melihat musuh kalah. Ini lebih dalam dari itu. Ini tipe permusuhan yang apabila misalnya Real Madrid bertanding melawan Persela Lamongan dan seseorang mengajak saya bertaruh, maka saya akan bertaruh untuk kemenangan Persela Lamongan! Tapi tentu saya tidak akan melakukannya. Bukan karena saya takut kalah, tapi semata karena mabuk dan judi itu dilarang.

Tentu Anda bertanya-tanya, mengapa penggemar Barcelona harus memusuhi Real Madrid. Mengapa tidak sekedar mendukung yang satu tanpa memusuhi yang lain?


Permusuhan dengan Real Madrid

Ada baiknya kita cerita sejarah dulu kalau begitu ya...

Klub Barcelona didirikan tahun 1899 oleh seorang kelahiran Swiss bernama Hans Gamper (yang sama seperti Anda, saya pun tidak kenal). Dia membentuk klub sepak bola yang berisi pemain-pemain dari Swiss, Inggris, dan Catalan (satu suku bangsa di Spanyol). Gamper mencetak 103 gol antara tahun 1901 sampai 1903 dan menjadi Presiden klub sampai kematiannya tahun 1930. Stadion Barcelona pertama dibangun tahun 1909 dengan kapasitas penonton 6000 orang. Pertama kali Barcelona menjadi juara liga spanyol adalah tahun 1929, hanya 1 tahun sebelum kematian Gamper. Pada waktu itu, Barcelona sudah menjadi tim yang disegani dan sudah bisa merekrut pemain-pemain asing seperti Hector Scarone (Uruguay). Akan tetapi pemain yang mungkin “paling” terkenal pada zaman ini adalah sang kiper, Ricardo Zamora. Zamora terkenal karena 2 alasan. Pertama, nama dia diabadikan sampai sekarang sebagai nama piala penghargaan untuk kiper terbaik di liga spanyol setiap tahunnya. Kedua, dia adalah pemain pertama yang menapaki jalan transfer yang paling berbahaya di spanyol: Pindah dari Barcelona ke Real Madrid!

Permusuhan antara Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa Franco. Siapa Franco ini? Dia adalah seorang Jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol pada tahun 1930-an. Barcelona, sampai sekarang, adalah “ibukota” dari Provinsi Catalonia, yang sebagian besar penduduknya adalah dari suku bangsa Catalan dan Basque. Sejak dulu, orang-orang catalonia ini menganggap diri mereka bukan bagian dari Spanyol, dan merupakan bangsa yang berada di bawah “penjajahan” Spanyol.

Franco melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Warna biru dan merah marun Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami dari warna merah dan kuning (bendera) Catalonia.

Franco kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suñol, Presiden Barcelona waktu itu, dibunuh oleh pihak militer pada tahun 1936, dan sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938. Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona “diinstruksikan” (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu membuat Franco kesal. Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan “pengaturan pertandingan” dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya.

Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub “anti-franco” dan menjadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi dari segi prestasi tidak sementereng Barcelona. Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid.

Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!. Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan.

Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2 dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali piala raja, dan satu kali piala Inter City Fair (yang kemudian menjadi UEFA Cup).


Rivalitas Sampai Saat ini

Pada tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco. Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!).

Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat Manchester United.

Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih “sehat”. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.

Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah “perang”, bukan sekedar pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan serdadu perang, bukan sebuah kesebelasan sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi JANGAN sampai kalah dari Real Madrid!

Meski begitu di dalam lapangan, “peperangan” ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.

Transfer pemain adalah salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatan.

Luis Figo mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti mengenai hal ini. Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu “bukan siapa-siapa” tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an. Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola. Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.

Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur hidup. Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah istimewa: sebuah kepala babi, lengkap dengan sedikit darah masih menetes dari lehernya. Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah Figo. Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, karena ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan pengkhianatan.


Penutup
Dalam hal prestasi, Real Madrid memang masih di atas Barcelona. Jarak prestasi itu terjadi terutama pada tahun 1950-1970an, ketika Real Madrid menjadi anak emas Franco dan memiliki kekuatan finansial jauh diatas Barcelona untuk membeli bintang-bintang sepakbola dari seluruh dunia. Toh mulai era 1980-an, prestasi itu mulai berimbang.

Para pendukung Barcelona, dan bangsa Catalan, tetap merasa memiliki satu nilai lebih dibanding Real Madrid. Keunggulan itu adalah dalam hal sistem permainan, dan filosofi klub itu sendiri. Hal ini akan kita bahas dalam episode berikutnya.

Untuk permulaan, cukuplah sekiranya sekedar cerita sejarah ini.




Keterangan: Sumber gambar dari banyak tempat... mohon maaf ga ijin dulu.