Tuesday, March 25, 2008

Dimensi



Pandangan mulai berkabut. Kegelapan seolah menyelimuti.

Tidak perlu takut sebenarnya, diri sendiri yang memanggil kegelapan itu.

Perlahan tubuh ini mulai menggigil meski dalam balutan baju tebal dan tidak ada angin.


Tanpa ada yang meminta, kedua kelopak mata memberat dengan sendirinya, mulai menutup lensa-lensa yang kelelahan.

Ingatan mengenai warsa-warsa yang telah lalu melintas tak menentu. Satu persatu bayangan-bayangan buram datang dan pergi, seolah hanya ingin mengganggu. Tapi perhatian harus tetap terpaku pada satu titik di wajah, pada pertengahan antara dua alis mata. Dari titik itu kemudian seolah dipancarkan seberkas cahaya, merambat lurus ke atas entah kemana, mungkin menuju Sang Pencipta.


Perlahan kesadaran badani memudar, dan tubuh mulai merasakan kantuk yang teramat sangat. Akan tetapi kesadaran yang sejati seolah menyeruak ingin keluar, ingin mengendalikan setiap simpul syaraf yang tadinya dikendalikan oleh otak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Pertarungan dimulai. Tubuh kasar tidak mungkin memenangkan pertarungan ini. Tapi dia bisa membawa sang sadar bersama-sama kedalam tidur lelap tanpa mimpi. Kelelahan menjadi senjatanya, sementara kemauan dan tekad yang semu menjadi senjata lawannya.


Sang sadar berkata, malam ini harus menjadi saatnya. Dia harus keluar dari penjara kotor ini, melesat terbang dalam dimensi suci para arwah, dan bersua sesama pengelana. Misi suci cinta harus dituntaskan, atau selamanya penasaran.


Nafas sang tubuh terus melambat, denyut jantung mulai terdengar, dan rambatan aliran darah mulai terasa hangat. Tak lama kemudian, tidak ada suara selain desah nafas dan detak jantung yang memompa darah sendiri. Kegelapan total terlihat oleh mata, terkadang dilintasi oleh bias-bias sinar berwarna ungu dan hijau muda, datang dan pergi.


“Tidurlah, tubuh... dan biarkan aku berkelana” kata sang sadar.

“Akankah engkau kembali?” tanya sang tubuh.

Sang sadar tidak menjawab, dan mengulangi perkataannya pada sang tubuh. Bukan karena ia tidak mau menjawab, tapi lebih karena ia memang tidak tahu jawabannya.

“Kalau harus, aku akan kembali” Jawab sang sadar akhirnya.


Tapi ketakutan merasuki keduanya. Sang tubuh takut ditinggalkan, dan sang sadar takut akan dimensi yang hendak ditujunya. Sang sadar meyakinkan dirinya untuk tidak merasa takut, karena Sang Pencipta menjanjikan dia akan baik-baik saja, kecuali dia menyakiti dirinya sendiri.


Sang tubuh mulai bergetar. Sudah saatnya sang sadar meninggalkannya.

Tidak ada lagi tangan. Tidak ada lagi kaki. Tidak ada lagi perut, kulit, dan kepala. Yang ada hanyalah sang sadar, dalam penjara yang sepenuhnya tidak bisa bergerak tanpa kehendaknya. Sebuah ironi yang membingungkan. Bagaimana mungkin sebuah penjara hanya bisa digerakkan oleh sesuatu yang menjadi tahanannya?


Sensasi levitasi, melayang terbang, dicoba untuk terus dipertahankan. Membayangkan seberkas energi memancar keluar dari titik fokus diantara dua alis mata. Keluar sampai semua tali yang mengikat antara keduanya terputus. Semua kecuali satu tali berwarna perak yang tetap menghubungkan dua sahabat yang seringkali bertengkar itu, agar sang sadar selalu bisa menemukan jalan pulang.


Sang sadar melihat sang tubuh yang tergolek tidur di bawahnya, meninggalkannya sendiri, lalu bebas berkelana sesuai kehendak membawanya. Melihat mereka yang dicintanya, melewati alam-alam mimpi yang membuai mereka yang terpenjara, melihat realitas semu yang disebut semua orang sebagai “nyata”. Terbang terus mencari cahaya yang dahulu menjadi asalnya. Sampai kelelahan melanda, dan dia tidak menemukan apa yang sebenarnya dicarinya. Dan dia bertanya pada Yang Maha Kuasa, “Jika alam ini bagiMu tak terikat ruang dan masa, maka kumohon izinkan aku melawannya. Beri kekuatan yang cukup untukku menembusi dimensi waktu. Walau mungkin tak kuasa aku mengubah takdirMu, tapi setidaknya izinkan aku melihat apa-apa yang telah berlalu.”


Dan sang sadar tetap belum kuat untuk itu.

Terhempas dia kembali kedalam penjaranya, karena kecewa dan tak punya lagi tenaga.


Hasilnya bisa ditebak. Hampir setiap malam sang tubuh kasar berhasil, meski tidak menang, melunturkan kehendak sang sadar. Dan sang sadar tetap terpenjara dalam sang tubuh. Sebuah kenyataan yang menyesakkan pada setiap menjelang pagi, karena kegagalan sekali lagi ditemui.

Sang tubuh menghiburnya... “Tenanglah, suatu saat nanti waktu akan berpihak padamu...”

Dan sang sadar hanya bergumam lemah, membisikkan satu yang tetap terpatri, “tunggulah cinta, suatu saat aku akan kembali.”



Keterangan:

Gambar dari www.protoniccreations.com/wst_page3.html

No comments: