Monday, March 20, 2006

Setiap Pilihan ada Konsekuensinya...

Tentu, seseorang harus konsekuen dengan pilihan yang diambilnya. Menghindari konsekuensi dari sebuah pilihan, mulai dari pilihan menu makanan sampai pilihan jalan hidup, adalah sesuatu yang absurd, kalau tidak mau dibilang pengecut.

Dan sebagai konsekuensi dari pilihan untuk mengakselerasi pencapaian impian, sepertinya dalam 2 minggu kedepan (atau lebih atau kurang), blog ini tidak akan bisa menampilkan tulisan-tulisan terbaru... Hiatus? yaaa... bisa dibilang begitu, meski mungkin hanya beberapa minggu...

Belum pantas untuk berkata lelah... Ini belum juga awal.

Sampai jumpa lebih kurang 2 minggu kedepan, insya Allah...

NB : kalo ada yang mau ngasih komen di tulisan-tulisan yang dulu-dulu, atau ninggalin pesen di shoutbox... silakan... ( diharapkan malah :p )

Monday, March 13, 2006

Belalang Tempur !!! (Episode 2, habis, tapi panjang bangat... maap :p )

Oke, buat yang udah ga sabar nunggu sambungannya (saha boa...), inilah dia Belalang Tempur episode 2.
Singkat kata (supaya ga tambah panjang)... setelah malam pertama saya lalui bersama si biru, saya mengetahui kalau sebelum saya tunggangi, si biru ternyata teronggok di gudang dekat himpunan setelah sebelumnya dipinjam oleh Maryandi, yang mana saya juga tidak tau alasannya, mengapa kemudian Maryandi menjatuhkan talak 4 ke si biru. Jadi, Mar, kalo anda membaca postingan ini, mohon jelaskan pada kami alasannya...

Dan setelah penunggangan pertama yang dilalui dengan kejayaan pada pagi harinya (menang balapan lawan Honda Supra X 110cc produksi tahun 1998), ternyata perjalanan pulang tidak terlalu membawa kebahagiaan. Saya sadar, bahwa karena saya melalui jalan yang menurun pada waktu berangkat ke kampus, tentu saya harus menanjak ketika pulang. Yang belum saya sadari adalah, ternyata tanjakannya tidak seringan dugaan saya...

Betul sekali sodara-sodara, setelah keluar dari gerbang belakang dan melalui jalan Dayang Sumbi menuju Jl.Ir.H. Juanda menuju Pasar Simpang dan Jalan Bangbayang, saya ngos-ngosan dibuatnya. Terasa keringat menetes dan betis mulai farises. Ketika saya sedang menunggu lampu merah di Simpang Dago, sekonyong-konyong dari belakang muncul seorang bule bersepeda. Si bule berperawakan tinggi besar (dibanding badan imut-imut saya yang khas ras melanesia), berambut pirang, berbaju sporty, memakai parfum yang sudah bercampur keringatnya tapi masih tercium, memakai helm dan sepatu khas pesepeda, dan sepedanya adalah generasi terbaru sepeda gunung (mountain bike) berbahan carbon tebal yang ringan, tetapi plangnya jelas lebih besar dari si biru. Ada pegas di antara plang dengan sadelnya, berfungsi sebagai semacam sokbreker (shock-breaker). Sepedanya berwarna merah mulus, spakbor hitam dan tampak tinggi kokoh, lengkap dengan botol minum bertuliskan Gatorade di bawah plang sejajarnya. Cakep banget dah! (sepedanya).

Saya melihat si biru seolah menyingkir karena minder dengan penampilannya yang kusam dan hina, dan berusaha menyuruh saya menyingkir karena mungkin malu juga melihat penampilan saya (penunggangnya) yang berkemeja lusuh dengan keringat mengucur sehingga deodoran tak lagi berguna, sepasang sendal jepit dengan rambut agak gondrong tak karuan karena jarang sisiran, dan tas ransel biru yang tingkat kekumalannya sudah sebanding dengan sendal jepit saya. Waduh... sabar ya biru...

Karena menolak mentalitas inlander yang merasa minder dihadapan bule yang dulu menjajah bangsa saya, saya menegaskan pada si biru : ”tadi pagi kita bisa menang! Sekarang pun bisa !!”.

Lampu merah sudah akan berganti... dan yak! LAMPU HIJAU!!” Dengan sisa-sisa kekuatan pada betis, saya langsung tancap gas (mengayuh dengan cepat) dan unggul pada saat start. Tapi, saat mendekati pertigaan Tubagus Ismail, tiba-tiba sekonyong-konyong si bule itu melewati saya dengan tenangnya, sambil meminum air dari botol minumnya, lalu mengayuh sepedanya sambil berdiri di tanjakan, meninggalkan saya di belakang. Seperti sudah bisa diduga, hasil balapan itu cukup menyedihkan. Saya hampir-hampir terhenti karena pegal di tanjakan, walau dengan sisa-sisa tenaga, berhasil masuk ke jalan Bangbayang, dan tiba di rumah dengan perasaan kalah terhina. Wah... saya jadi agak malas untuk kembali bersepeda pada esok harinya...

Tapi dari kekalahan itu, ada satu ilmu yang saya pelajari dari si bule. Saya perhatikan, dia menyetel sadelnya itu tinggi sekali, sehingga harus berjinjit kalau kakinya mau menapak tanah. Saya rasa, itu memperingan dia dalam mengayuh sepedanya, terutama pada tanjakan. Dan lagi, teknik berdiri saat tanjakan sepertinya cukup efektif untuk meningkatkan tenaga.

Mulai saat itu, sadel si biru saya set tinggi, kira-kira sejajar dengan pinggang saya, sehingga saya harus berjinjit kalau mau menapak tanah. Dan benar sodara-sodara, ternyata posisi itu membuat saya tidak perlu mengangkat paha dan dengkul terlalu tinggi untuk setiap kayuhan, sehingga tenaga per putaran lebih efisien. Terlebih, handling atau kendali menjadi jauh lebih responsif, terutama pada kecepatan tinggi. Saya kembali bersemangat untuk nyepeda, dan dalam 3 pertemuan berikutnya dengan si bule, saya sudah mampu menyaingi kecepatannya, bahkan dalam beberapa kesempatan menyalipnya di tanjakan... huahahahahaha (padahal sepertinya si bule itu ga mikirin balapan dengan saya ya...).

Anyway, sejak saat itu, hari-hari saya dengan si biru dimulai. Saya kemana-mana dengan si biru, sehingga julukan Oemar Bakri di himpunan (HMP tercinta) mulai akrab dengan saya. Para penghuni kampus pun sudah mulai akrab dengan suara rem depan si biru yang memang saya fungsikan sebagai semacam klakson. Dimulai dengan tukang parkir dan satpam pintu belakang yang mulai akrab dengan saya karena tiap pagi saling sapa, lalu dengan anak-anak kimia, LSS, dan penghuni Gedung Bengkok yang tiap pagi saya lewati, kemudian anak2 himpunan lain yang sering saya kunjungi dengan si biru, semua mulai mengenali bahwa orang yang suka bersepeda di kampus itu bernama... Awan. Pada saat itu, memang jarang sekali orang bersepeda di kampus, bahkan, saya rasa hanya saya yang rutin. Tanjakan Dago yang saya lalui tiap hari menjadi tak lagi berarti, walau memang sedikit pegal dan memaksa keringat untuk keluar. Tapi toh, setidaknya saya jadi punya kebiasaan yang bagus, mandi 2 kali sehari (sebelumnya hanya 1 kali, yaitu pagi hari).

Perpindahan sekre KM-ITB dari Student Centre di tengah kampus ke bagian pojok barat laut kampus membuat si biru semakin berguna. Disaat para punggawa KM-ITB harus berjalan agak jauh ke sekre, saya tinggal meluncur ditemani angin dan lambaian tangan kawan-kawan yang dilalui sepanjang jalan.

Tentu, saya juga sudah mempelajari teknik lepas 1 tangan maupun lepas 2 tangan ketika sepeda sedang melaju. Teknik ini sangat penting mengingat banyaknya lambaian tangan dan teriakan sapaan dari teman-teman yang saya lalui saat menunggang si biru, terutama dari kaum wanita (yang mana kawan saya dari gender ini cukup banyak, heheh :p ). Kalau tidak dibalas, tentu saya dibilang sombong bukan? Lagipula si biru juga radarnya cukup sensitif. Kalau ada teman wanita yang sedang berjalan, pasti aja bunyi, entah remnya, entah rodanya, atau entah kenapa meluncur mendekati si wanita itu, memaksanya menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan sambil menyapa : ”halo wan!! Nyepeda mulu nih!!” atau ”assalamu’alaikum”, atau ”wan, bonceng dong!!” atau ”woy, ntar rapat jam 5 !!” atau ”kuliah woy! Jangan maen mulu!” dsb-dsb, yang tentu saya balas sekenanya dengan berlagak sok tergesa-gesa sambil melambaikan satu tangan... ”iya dong!” atau ”wa’alaikum salam” atau ”alo bos” atau ”bonceng? Boleh...=P”. Tapi jangan salah sangka, kalau yang menyapa pria juga tetap saya balas kok...huhuhihihihoho :p.

Tapi, bicara masalah bonceng membonceng, memang agak ribet. Masalahnya, si biru tidak punya sadel boncengan, sehingga kalau memang dipaksakan mau membonceng, si penumpang harus puas duduk di plang depan si biru (yang posisinya tepat diantara saya dan stang). Plang ini memang kecil (sehingga membuat sakit kalau diduduki), tapi cukup kuat karena terbuat dari besi solid. Inilah kelebihan sepeda gunung generasi-generasi pertama dibanding sepeda gunung sekarang. Sepeda gunung sekarang kebanyakan dibuat dari bahan carbon yang memang cukup ringan dan kuat, tapi sebenarnya ”kopong” di bagian dalamnya. Bahkan ada juga sepeda-sepeda murah yang terbuat dari besi kopong. Berbeda dengan si biru dan kawan segenerasinya yang terbuat dari besi solid sehingga kekuatannya dapat diandalkan, meski agak berat kalau harus diangkat-angkat (yang mana sering juga saya lakukan kalau menemui tangga atau rintangan yang tidak terlalu tinggi). Jadi, kalau pilih sepeda, pilih yang bahannya carbon tebal, ringan, kuat, tapi jangan diduduki plangnya (karena belum tentu sekuat itu). Seandainya lebih senang dengan yang terbuat dari besi, jangan tertipu! Pilih yang plangnya kecil tapi terbuat dari besi solid, karena kalau yang plangnya besar biasanya dalamnya kopong.

Anyway, kembali ke soal bonceng-boncengan, karena posisinya yang agak-agak ”rawan”, maka saya tidak pernah membonceng wanita (ya iyalah! Kaya pelukan gitu loh!). Tapi karena yakin plang si biru hanya akan patah kalau diduduki gajah, maka saya cukup PD juga kalau memang terpaksa harus membonceng beberapa kawan saya. Tercatat, hanya kawan saya M.Arifin, Catuy, dan Ahmad Muhadjir (yang beratnya hanya seperempat gajah) yang pernah saya bonceng. Ipin dan Ahmadlah yang paling sering, dan biasanya mereka baru turun ketika melihat tatapan-tatapan aneh diwarnai curiga (atau jijik) yang melihat kami berboncengan... Bukan mas, kami bukan homo...

Alkisah, seorang anggota Kabinet KM-ITB suatu ketika pernah bertanya pada saya di depan anak-anak lain... ”baru dateng wan? Pake Belalang Tempur??”, ”Ha? Belalang Tempur??” tanya saya kembali sambil melongo... dan meledaklah tawa anak2 lain, karena telah menemukan sebutan yang pas untuk si biru.
Ketika itu, saya pun sedang aktif-aktifnya mengawasi jalannya Open House Unit ITB 2003, dan sering main ke sekre panitianya. Pada suatu hari, beberapa orang anggota panitia OHU ini iseng memasang dua benda serupa antena yang diikatkan di depan stang sepeda saya. Saya tertawa saja dan berkeliling dengan sepeda itu sambil diiringi tawa kawan-kawan yang saya lewati. Kamana belalang tempur???

Sepeda ini juga tercatat pernah 2 kali mengikuti aksi demonstrasi, yaitu ketika saya sedang malas berjalan kaki. Lumayanlah, tidak ikut dalam barisan, tapi bantu-bantu bagian keamanan, terutama dalam menyetop lalu lintas ketika pasukan akan menyebrang jalan. Rangkanya memang kecil dan mungkin tidak terlihat dari jauh, tapi kalau saya duduk di atasnya sambil melambaikan tangan ke mobil-mobil yang mau lewat, tentu mereka terpaksa berhenti kan? Berkat keikutsertaannya dalam demo itulah, dan beberapa kali ”meninjau” demo-demo lain, predikat ”Belalang Tempur” jadi semakin kuat disandang si biru. Tentu, mengingat saya pun mungkin mirip dengan Kotaro Minami yang tampan itu.

Bosan dengan di dalam kampus, Belalang Tempur mulai mengantar saya keliling Bandung. Pada masa itu, saya pernah mendapat kerjaan ringan yang lumayan untuk hidup sebulan. Kerjanya tercatat hanya 2 hari, jadi notulis waktu forum pertemuan NGO-NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, tapi honornya lumayan, 300 ribu, yang waktu itu, cukup untuk hidup enak selama 1 bulan di Bandung. Terima kasih pada Pak Suhirman dari FPPM yang mengerti kesulitan finansial saya waktu itu, dan mengajak saya untuk jadi notulis.

Pergi ke tempat pertemuan di Cikutra bukanlah masalah, karena melalui Sedang Serang yang cenderung turunan (tercatat hanya ada 2 tanjakan yang signifikan). Tetapi pulangnya itu yang bermasalah. Karena saya pikir jalan Sedang Serang cukup menyulitkan karena berarti menanjak, maka saya memutuskan untuk lewat jalan Suci. Ternyata, jalan Suci pun tak kalah melelahkannya. Jalan yang seolah datar ini ternyata sebenarnya adalah sebuah tanjakan yang konstan. Meski sudut kemiringannya kecil (mungkin hanya 5-10 derajat), tapi konstan!

Demikianlah, Belalang Tempur juga telah membantu saya untuk menafkahi diri. Dan selain Cikutra, tercatat Cihampelas, Setiabudi, Terminal Dago, Wastu Kencana dan Pajajaran sebagai jalan-jalan yang pernah ditapaki oleh saya bersama Belalang Tempur, masih dengan perlengkapan seadanya dan rem yang agak blong. Satu-satunya tempat yang waktu itu sering saya kunjungi, tapi tanpa Belalang Tempur, adalah Ujung Berung dan Jatinangor (tempat penelitian waktu TA), karena saya menolak untuk basah oleh keringat ketika sampai di kedua tempat itu.

Memang, pada malam-malam tertentu, kalau saya sedang malas atau misalnya dari Ujung Berung langsung ke rumah, Belalang Tempur sering saya inapkan di kampus. Ada 2 tempat penyimpanan yang biasanya ditempati olehnya. Pertama adalah dititipkan di HMP, dan kedua adalah di GKU Baru, sebelah ATM BNI, dimana ada sebuah gudang kecil disitu, dibawah tangga, berukuran 1,5 kali 3 meter, yang pas sekali untuk tubuh si Belalang Tempur, sehingga cocok untuk disebut Garasi Belpur. Garasi ini saya temukan ketika masa-masa aktif kepanitiaan Open House Unit. Gudang ini tidak pernah terkunci, tapi anehnya, sepertinya tidak pernah ada orang yang berminat untuk membuka pintunya dan melihat apa isinya. Dan inilah sebabnya, Belalang Tempur aman berada didalamnya, walaupun tidak pernah dirantai (berhubung saya ga punya rantai sepeda atau gembok).

Tapi pada suatu malam di semester 8, pada masa-masa dimana saya sudah ikhlas karena tidak bisa menyelesaikan studi tepat waktu, momen itu terjadi... sebuah momen yang selalu mengiringi setiap pertemuan... yaitu momen perpisahan.

Ketika itu, saya menginapkan Belalang Tempur di dalam sekre himpunan karena saya mau ke Ujung Berung. Sekre dikunci dan digembok, pintu depan gedung Plano pun dikunci. Aman. Tetapi ketika pagi harinya saya ke himpunan untuk menyapa belalang tempur, ternyata ia sudah raib, lengkap dengan raibnya satu gitar himpunan, printer, dan beberapa pernak-pernik di himpunan. Sekawanan garong brengsek tentu telah memasuki ruang himpunan di malam hari, dan membawa semuanya...

Untunglah, si empunya Belalang Tempur mengikhlaskan kehilangan ini... Tapi tetap, kesedihan di hati saya tidak terperi. Seketika saya keluar himpunan dan berdiri di depan fotokopian Mas Kamto sambil melihat ke angkasa sambil berteriak .... ”TIDAAAAAAAAAAAKKKKK!!!!!!! MENGAPAAAAAA !!????!??!??!” lalu jatuh terduduk sambil menangis dalam hati... Belalang tempur telah tiada... Entah karena semata-mata diambil oleh si garong brengsek itu (yang kalo ketemu akan saya colok matanya!) atau karena dia cemburu mendengar perbincangan saya dengan beberapa kawan mengenai keinginan saya membeli motor. Padahal, saat itu saya sudah berencana untuk membelikan Belalang Tempur rantai sepeda dan karet rem baru... Tapi tentu, penyesalan selalu datang belakangan.

Akhirnya saya lulus dan diwisuda. Alhamdulillah.
Ketika saya keluar dari pintu sabuga memakai toga, terbesit keinginan ganjil untuk kembali menunggangi Belalang Tempur dengan memakai toga, berseri bersama menyusuri jalan, merasakan sapaan angin di wajah dan menerbangkan rambut saya, dan membiarkan keringat di tubuh saya menguap dibawah cahaya mentari.
Tapi itu hanya impian... Belalang Tempur sudah entah dimana, dan saya harus menapaki jalan didepan saya seorang diri. Seketika di kepala saya terdengar kembali theme song closing dari film Ksatria Baja Hitam yang bernuansa sendu, berbeda dengan nuansa pada lagu openingnya... neneneee nenene nene... nanana nananaa nananaaa dst dst yang saya tidak mengerti karena dalam bahasa jepang...

Selamat jalan... Belalang Tempur!!!

Wednesday, March 08, 2006

Sang Belalang Tempur... (episode 1)

Melihat postingan terbaru dari mbak yati tentang seorang pesepeda yang keliling Indonesia... Jadi teringat sepeda saya...

Ya okelah, sebenernya bukan punya saya, tapi saya pinjam, sehingga seolah-olah punya saya.

Semua dimulai ketika pada tingkat 3 dulu saya mengacak-acak gudang di dekat ruang himpunan (Himpunan Mahasiswa Planologi-Pangripta Loka ITB tercinta). Waktu itu, teronggok kaku lemas sebuah sepeda biru usang berdebu dan dipenuhi jaring laba-laba. Sepeda gunung merek Federal Stray Cat, model maskulin. Model maskulin itu maksudnya plang yang menghubungkan sadel dengan stang sepedanya berbentuk segitiga siku-siku, jadi plang atasnya sejajar dengan tanah. Kalau model yang feminin itu plang atasnya miring ke bawah, membentuk segitiga tumpul (ayolah, susah ngejelasinnya dengan kata-kata, bagusnya pakai gambar. Tapi, semua tau kan maksud sy bagaimana?).

Sepeda itu milik seorang anggota HMP angkatan 99, sepeda pemberian ayahnya. Dulu dipakai untuk perjalanan dari kosan si empunya ke kampus, tapi berhubung si empunya itu sudah malas nyepeda ke kampus, maka sepeda itu jadi teronggok di sana.

Awalnya, saya tidak tertarik pada sepeda kempes itu. Tapi... pada kira-kira awal semester 6, ada beberapa alasan sehingga saya mulai melirik si dia. Pertama, ongkos angkot di Bandung sudah mulai tidak bersahabat, termasuk dari kosan saya ke kampus yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi supirnya sudah mulai menuntut pembayaran 700 rupiah, yang mana pada saat itu cukup berat untuk saya, mengingat setiap hari saya ke kampus dan terkadang bulak-balik sampai beberapa kali antara kampus-rumah. Selain itu, waktu saya di kampus tidak tentu. Terkadang sampai malam, terkadang sampai tengah malam, terkadang sampai dini hari/subuh, terkadang tidak pulang tapi di pagi hari perlu pulang sebentar untuk ganti baju dan kembali lagi ke kampus (walaupun sebenarnya, kalau menginap di kampus, saya lebih sering memilih tidak pulang sama sekali, mandi di kampus, dan memakai pakaian yang sama selama 2 atau 3 hari, dan YA, kalau mungkin anda bertanya-tanya, itu juga termasuk pakaian dalam).

Kondisi itu membuat saya perlu memiliki sebuah moda transportasi yang dapat diandalkan setiap waktu, murah, dan cukup cepat/mobilitasnya tinggi. Angkot seringkali harus ditunggu lama kalau tengah malam, dan jarak dari himpunan ke jalan raya, plus jarak dari jalan raya sampai ke kosan saya yang nun jauh didalam jalan (gang) Bangbayang, Dago, membuat saya terkadang malas pulang (karena malas berjalan). Ketiga, saya sadar, saya butuh olah raga yang rutin. Nafas penuh asap rokok ditambah kondisi di tingkat tiga akhir dimana OS sudah selesai dan saya tidak lagi menjadi panitia OS membuat saya jarang berlari. Kalau dulu, waktu tingkat 2, saya setiap 2 hari sekali masih suka lari pagi di Sabuga. Tapi di tingkat 3, olah raga saya praktis hanya ping-pong...
Sebenarnya saya bisa saja berjalan kaki untuk pulang-balik kampus-kosan, tapi saya rasa itu kurang bisa diandalkan, baik dari segi kecepatan, mobilitas, dan tentu saja, rasa malas.

Dan jadilah, tanya sana tanya sini, hubungi si anu dan kontak si itu, akhirnya saya merasa cukup berhak untuk mengklaim pemakaian sepeda biru itu (baca : meminjam sampai diminta lagi sama yang punya). Maka saya keluarkanlah sepeda itu dari gudang, diiringi tatapan mata penasaran dari anak2 himpunan... ”olah raga wan?? Kempes tu sepeda!!”
”iya gw tau. Mau gw pake nih, daripada busuk disini,” jawab saya ringan.

Kondisinya memang kurang bagus. Rem belakang karetnya sudah aus, hanya tersisa setengah, itu pun lebih mendekati setengah menuju habis. Kawat rem belakang juga sudah agak kendor, sehingga rem belakangnya agak blong. Karet rem depan masih lumayan bagus, tapi berbunyi menderit cukup keras. Sadel agak kurang stabil, cukup mudah naik turun karena engselnya sudah agak rusak. Spakboard depan dan belakang semuanya sudah terkelupas, menjadi warna hitam kusam dan berkerak. Warna cat seluruh sepeda sudah kusam terkelupas dan sepertinya tidak mungkin bisa bagus dengan sekedar dicuci, harus dicat ulang. Seluruh engsel agak kaku, termasuk rantai sepedanya, sehingga agak terhambat untuk berputar. Pedalnya sebelah kiri mudah copot, dan ban depan belakang kempes, karena kedua ban dalamnya bocor. Stang agak miring, tidak lurus dengan bannya, dsb dsb yang membuat saya agak cenat-cenut juga melihatnya.

Tapi keputusan sudah dibuat! Harus jadi!

Akhirnya, dengan sisa-sisa uang yang saya miliki, saya korbankan 15 ribu rupiah untuk membeli ban dalam bekas di tukang tambal ban. Alhamdulillah ada yang kondisinya masih cukup baik. Satu masalah urgen (roda) selesai. Meminta sedikit grease untuk melumasi rantai dan engsel-engsel, meminjam alat-alat perbengkelan untuk sekedar kutak-kutik, dan tentu saja, saya mandikan betul-betul.

Usaha memandikan sepeda membawa hasil seperti yang saya perkirakan : TIDAK ADA GUNANYA! Catnya memang sudah terkelupas, sehingga warnanya tetap kusam. Tapi tidak apalah, toh kondisi fisiknya sebenarnya masih cukup bagus. Karet rem depan saya tukar dengan rem belakang, dan kawat rem belakang saya perpendek untuk meningkatkan responsivitasnya. Berhasil ! rem belakang jadi bagus, tapi rem depan praktis hampir tidak ada. Sedikit sentakan keras pada stang untuk meluruskan dengan ban, dan sepeda siap digunakan.

Jadi, praktis sebenarnya saya hanya keluar 15 ribu untuk seluruh perbaikan itu. Investasi yang bagus, saya pikir. Kalau dihitung-hitung misalnya saya satu hari paling minimal saya harus keluar 1400 rupiah untuk pulang balik kampus-kosan, maka dalam 11 hari, saya sudah balik modal, dan pada hari ke-12, saya punya uang lebih 1000 rupiah per hari untuk di tabung. 400 lumayan untuk beli permen atau air minum kemasan gelas plastik untuk bensin sepeda (minum saya maksudnya).

Setelah semua selesai, kami saling berpandangan, dan saya mengusapnya sambil berkata : ”hai sepeda biru, mulai saat ini kita berteman, dan inilah hidup barumu...” yang seolah-olah dibalas olehnya dengan ucapan : ”terima kasih telah memberi saya hidup baru... tapi, apa mas yakin ga ada uang sedikit lagi sekedar buat cat dan karet rem? Saya agak malu nih kalau ketemu sepeda baru, apalagi sepeda motor... Spakbor saya juga kayaknya udah bolong deh... yakin nih gapapa??” Bincang-bincang perkenalan selesai, dan kami sepakat untuk bersahabat.

Keesokan paginya, hari masih sedikit berkabut tipis dengan tetes-tetes embun masih menempel di daun. Segelas besar kopi susu dan sebatang rokok telah habis. Badan segar. Kuliah mulai jam 7. Seperti biasa, saya baru siap berangkat pukul 7 kurang 10. Pada hari-hari biasa, saya hampir selalu terlambat sekitar 15-30 menit. Akibatnya, saya selalu berdoa supaya dosennya juga terlambat... ya minimal 10 menit lah, supaya ga terlalu ketinggalan. Yah, namanya juga udah mendarah daging, hari itu pun saya masih terlambat. Tapi gapapa, justru menjadi waktu yang sangat tepat untuk menguci kehandalan sepeda baru saya.

Seorang kawan satu kosan menawarkan untuk pergi ke kampus bareng, naik motor miliknya. Tawaran menarik... tapi malah jadi lebih menarik ketika saya mengajaknya balapan, siapa duluan yang sampai ke kelas!

Motor selesai dipanaskan, teman saya siap berangkat. Dengan cepat saya menaiki sadel sepeda biru, lalu langsung meluncur keluar kosan. Karena jalan gang yang sempit, teman saya tidak bisa menyalip saya. Balapan menjadi seru ketika memasuki jalan Bangbayang yang cukup besar untuk 4 lajur motor. Saya turunkan gigi sepeda untuk meningkatkan akselerasi, demikian juga teman saya menaikkan persnelingnya untuk meningkatkan kecepatan. Bisa ditebak, saya kalah di jalan itu. Dia lebih dulu keluar dari jalan Bangbayang!

Dari Bangbayang ke Pasar Simpang Dago, seperti yang saya harapkan, macet sodara-sodara! Motor kawan saya sedikit terhambat oleh mobil-mobil yang terhenti. Tapi sepeda saya tetap melaju meskipun lambat. Berhubung sistem rem saya kurang baik, saya jaga kecepatan supaya tetap memungkinkan untuk berhenti mendadak, karena jalannya menurun. Motor tersalip, dan kami sampai di lampu merah Simpang Dago hampir bersamaan. Orang-orang memandang dengan tatapan aneh pada saya. Saya satu-satunya pengemudi sepeda, tanpa helm, memakai tas ransel dan kemeja lusuh yang dikeluarkan, serta sendal jepit karet seharga 5000an yang menjadi ciri khas saya di kampus. Pak pulisi nampaknya cukup kebingungan, apakah akan menilang saya atau tidak, berhubung sepeda bukan kendaraan bermotor, dan tidak ada Perda yang mewajibkan pengemudi sepeda untuk memakai helm. Kalau motor ada. Memang, helm dipakai BUKAN supaya tidak ditilang, tetapi untuk melindungi kepala. Tapi berhubung saya tidak punya uang untuk beli helm, maka saya lebih memilih untuk berhati-hati.

Mata saya dan mata teman saya di atas motor beradu. Tatapan kami sama-sama memancarkan aura persaingan. Tersungging senyum licik meremehkan di bibir kawan saya... ”hehe, ini jalan raya bung! Dimana-mana pasti menang motor! Huahahahahaha”... saya bisa membaca pikirannya. Tapi tidak! Saya bisa menang! (entah bagaimana caranya). Seolah si sepeda biru berkata pada saya... ”jelek-jelek gini saya masih bisa menang bos! Ayo, jangan menyerah!”. Saya mengelus stang si biru sambil menandakan kalau saya takkan menyerah... Seketika seolah-olah saya mendengar theme-song (OST) film Ksatria Baja Hitam menggema di pikiran saya, memacu semangat... dum dum dam dam... tereret!! Dum dum dam dam.... nana nanananaaa nanananaaa dududududuuuu... damdamdamdam nanana... nananananana tararaaat ... dst. (saya ga ngerti, bahasa jepang soalnya)

Lampu Hijau !!!

Teman saya memacu motor, langsung lurus ke Jl. Ir. H. Juanda, dia mau ke gerbang Ganesha, gerbang depan, gedung Plano memang lebih dekat dari sana. Saya langsung mengayuh si biru, banting stang ke kanan, ke arah jalan Sumur Bandung! Saya lewat pintu belakang di Taman Sari. Gigi 2 dipasang, berat memang, tapi di jalan datar yang cenderung turun, ini sangat baik untuk akselerasi dan kecepatan.

Teman saya sampai di tempat parkir depan kampus. Motor tidak bisa masuk, karena kawan saya itu tidak punya stiker parkir didalam. Demikian juga, saya bingung di tempat parkir belakang. ”sepeda boleh masuk ga ya??”. Dengan bodohnya saya bertanya ke penjaga parkiran... ”pak, sepeda parkirna dimana pak?”. Pak parkir bingung juga...”lebetkeun we sep!” (masukin ajalah kasep! – NB: kasep(bhs. Sunda) = ganteng (bhs. Indonesia) ). Berhubung dari parkiran ke jalan dalam kampus cuma dipisahkan sebuah tembok kecil dan rantai, maka saya tenteng si biru ke dalam, saya angkat melewati tembok, dan saya kembali meluncur !!

Pukul 7 lewat 10 ! seluruh proses hanya terjadi dalam 13 menit! Luar biasa !!! dan saya sudah di gedung plano.

Saya titipkan sepeda di Himpunan (HMP tercinta), kembali dengan tatapan terbengong-bengong dari anak-anak himpunan... ”Kamana Oemar Bakri??” kata seorang kawan sambil tertawa... ”kuliah lah...” kata saya sambil tertawa juga.

Adapun kawan saya, sekalipun pakai motor dan berlari dari parkiran ke gedung plano, ternyata tidak bisa menandingi luncuran si biru di jalan kampus. SAYA MENANG !!!!! huahahahahahahahahahahhh.... Ternyata saya dan kawan saya itu baru menyadari keunggulan si biru, dia bebas dibawa masuk sampai ke gedung!! Dan itulah mengapa kawan saya lari dari parkiran, karena dia baru menyadarinya di situ.

Pukul 7 lewat 10... Di depan kelas kawan-kawan saya yang seangkatan berkumpul dan berkerumun dengan wajah-wajah yang tidak jelas ceria atau menyesal... ternyata dosennya tidak masuk sodara-sodara... jam pelajaran kosong...

Meski begitu, saya sudah tau bahwa si biru ini ternyata dapat diandalkan! Bayangkan! Mengalahkan motor Honda Supra-X 110cc produksi th.1999 !!

Saya kembali menaiki sadel si biru, beranjak ke sekre Kabinet KM dan sekitarnya, mencari sesuatu untuk dimakan (sarapan maksudnya)....
”This is a beginning.. of a beautiful friendship...” Kata saya ke si biru sambil mengelus plang sejajarnya. Dan si biru balas melemparkan senyumnya pada saya...

Begitulah, hari pertama saya bersama si biru, atau yang kemudian akan mendapat julukan BELALANG TEMPUR... Bagaimana cerita selanjutnya?? Nantikan episode selanjutnya sodara-sodara...

(bersambung...)