Dalam dunia kontemporer ini, ada beberapa hal yang rupanya begitu sulit ditemukan dalam diri sesosok manusia...
pertama, kejujuran... betapa kejujuran terhadap diri sendiri merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemukan. Mencari orang yang jujur terhadap dirinya sendiri seperti menjari sebuah jerami di tumpukan jarum, sulit dan terkadang menyakitkan. Meskipun begitu, kejujuran terhadap diri sendiri inilah yang nampaknya bisa berdampak pada banyak hal dalam diri seseorang itu. Kejujuranlah yang dapat membuat seseorang tampil apa adanya, menjadi dirinya sendiri. Entah mengapa, frase "menjadi diri sendiri" (Be yourself) sepertinya "didangkalkan" menjadi tampil urakan, rambut dicat warna-warni dengan dandanan spike, kalo bisa malah tampil preman tapi yang jelas duit harus selalu ada di kantong. Entah sekedar 500 ribu atau sekedar 5000 sebagai aksesori dan persiapan kalo ada yang ngajak jalan.
Jadi bertanya-tanya, apakah "yourself" itu, secara kebetulan, selalu seperti itu? Dalam pengertian, walau bagaimanapun, gaya dandanan yang disebut-sebut sebagai sebuah indikasi pemberontakan terhadap kekolotan zaman itu ternyata "sama", serupa walau tak sama, atau dengan kata lain, mengglobal. Sebuah paradoks yang lucu, karena keinginan seorang jiwa muda untuk menjadi dirinya sendiri ternyata secara mengglobal justru menyamai remaja-remaja lain di seluruh belahan dunia.
Dari kasus ini, dapat kita lihat bahwa seluruh realitas di dunia ini nampaknya memang semu. Ada sebuah perbedaan besar antara apa yang terlihat atau seolah-olah terjadi, dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kemunculan "generasi-X" yang sering dipandang sebagai sebuah wujud anak zaman, mungkin sebenarnya tidak lebih dari wujud pencarian (penciptaan) pasar dari kapitalis-kapitalis yang bergerak di bidang fashion dan kecantikan fisik... atau bagaimana?
...
Sebuah pembukaan yang aneh dan secara jujur harus diakui, jelek, untuk mengawali sebuah tulisan yang mungkin tidak ada hubungannya dengan 3 paragraf di atas. Lho??
Teguh Prasetya (FT-98), dalam suatu kesempatan pernah berkata pada saya dan Catur (PL-00), "kalo bisa, bepergianlah, perjalanan itu bisa menyucikan jiwa..."
Sebuah perjalanan... dan penyucian jiwa...
Allah telah menunjukkan cintaNya yang teramat besar pada kita dalam bentuk ujian-ujian pribadi dalam hidup. Dan Allah juga yang telah menganugerahkan masing-masing kita sebuah cara, sebuah metode pribadi yang dapat membantu masing-masing kita dalam menjalani ujian-ujian itu.
Mungkin, perjalanan adalah sebuah metode yang ditunjukkan Allah pada saya untuk sejenak menjalani penyucian jiwa. Atau mungkin, itu cuma sekedar cara saya untuk sejenak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan dan kasus-kasus pelik yang, anehnya, selalu tiba-tiba muncul dan bergolak dalam jiwa saya sebelum saya merencanakan suatu perjalanan...
Entah mengapa, sebuah masalah sepertinya secara kebetulan selalu menyeruak tiba-tiba entah dari kegelapan mana disaat saya hendak merencanakan sebuah perjalanan. Atau kalaupun tidak, seringkali ia muncul beberapa hari atau beberapa menit sebelum perjalanan itu dilakukan. Maha besar Allah, sepertinya Ia tidak mau saya pergi tanpa sesuatu untuk dipikirkan, atau dengan kata lain, tidak mau saya pergi tanpa sesuatu dalam internal pikiran saya yang berpotensi untuk menjadi sebuah... hikmah.
Terakhir kali paru-paru ini terisi udara pegunungan... kapan ya... mungkin waktu di Batu, Malang. Tapi itupun naik mobil, dan kami berhenti di warung. Sepertinya kurang afdol. Yang agak-agak bisa dihitung sebagai "camping" mungkin terakhir ya waktu acara akhir 2002 dan 2003. Sudah lama sekali...
Gunung memang lebih mengasyikkan dibanding pantai dan laut. Ini relatif dan tergantung pribadi masing-masing. Tapi yang jelas, mengisap rokok kretek jauh lebih nikmat dilakukan dalam basahnya tubuh oleh keringat dan berselimut hawa dingin yang membuat tubuh sesekali menggigil tanpa sadar. Secangkir kopi dan obrolan santai bersama teman-teman adalah pelengkap yang dapat membuat kita melupakan dunia. Meskipun di saat yang sama, kekaguman atas keagungan ciptaan Allah membentang di depan kita, dan mengingatkan kita bahwa kita memang sedang berada di dunia, atas kehendakNya.
Teman-teman...
Teman... Sahabat...
Sebuah terminologi yang absurd. Di satu sisi nampaknya semua orang berlomba-lomba untuk memiliki teman atau sahabat sebanyak-banyaknya. Ia menjadi sebuah simbol dari keberhasilan semu kehidupan kita di dunia. Di sisi yang lain, diakui atau tidak, adalah teman-teman jualah yang memungkinkan kita untuk merasakan kecewa, sedih, penyesalan, dan lebih jauh lagi, kecintaan yang berlebihan terhadap dunia.
Teman...
Saat ini, sepertinya kekecewaan terhadap orang-orang yang selama ini saya anggap "teman" itu sedang memuncak. Setidaknya kasus ini membuktikan sebuah hipotesa bahwa kasus bertepuk sebelah tangan merupakan suatu keniscayaan dalam hubungan antar manusia. Maksudnya, apa yang kita rasakan terhadap seseorang, insya Allah pasti, beda dengan perasaan orang itu ke kita. Mudahnya, saat kita menganggap seseorang itu teman kita, sebutlah sahabat kita, nah, belum tentu dia juga menganggap kita sahabatnya. Sangat banyak kemungkinannya. bisa jadi dia sekedar menanggapi obrolan kita, sekedar ingin punya teman makan, sekedar butuh informasi aktual, butuh rekan kerja, butuh bantuan, atau sekedar mencari jaringan untuk MLM. Apapun alasannya, semua itu menjadikan persahabatan, pada masa kini, adalah sesuatu yang naif... Senaif jiwa dan pikiran saya yang sampai minggu kemarin telah salah kaprah menganggap beberapa orang sebagai sahabat. Sebuah kesalahan yang menyakitkan... Mungkin sy memang tak lebih dari seorang rekan kerja...
Mas Tauhid pernah mengeluarkan sebuah analisis mengenai MLM, yang secara absolut langsung saya setujui. Ia mengatakan bahwa, salah satu alasan mengapa ia tidak pernah tertarik pada MLM adalah, karena ia tidak sanggup untuk mengkonversi nilai sosial sebuah persabahatan, sebuah pertemanan, kedalam nilai-nilai ekonomi. Secara bawah sadar, mungkin ini juga yang selalu menggantung dalam pikiran saya setiap kali seseorang mempresentasikan sistem MLMnya didepan saya. Bagaimana mungkin, saya menganggap teman saya sebagai sebuah aset ekonomi? Lebih jauh, bagaimana kemudian saya membedakan antara membangun jaringan persahabatan dengan membangun jaringan bisnis pemasaran? BUkankah MLM telah menodai nilai-nilai sosial pertemanan dengan kemunafikan bermotif ekonomi? Saat ini, kita mungkin tidak bisa lagi membedakan siapa yang bisa kita anggap sebagai sahabat sejati, dan siapa yang hanya ingin memanfaatkan kita untuk motif-motif ekonomi.
Persahabatan yang sejati.... Cinta yang sejati...
Sepertinya,
saya telah jatuh cinta pada kegelapan dan dingin malam....
Tidak ada kemunafikan pada pucatnya bulan...
Tidak ada kepalsuan yang ditawarkan oleh dinginnya angin yang menyetubuhi tubuh...
Sebuah kondisi dimana para pemikir mulai mengaktifkan jaring-jaring ilhamnya.
Sebuah kondisi yang menunjukkan betapa kecilnya kita dihadapan Sang Pencipta.
Sebuah fase waktu dimana dulu Rasulullah SAW biasa mencucurkan air matanya ketika merenungkan keagungan Allah, dan memikirkan nasib ummatnya saat ini...
Dan obrolan dengan orang-orang malam...
Para wanita pelacur... para banci... para tukang sapu jalan...
Uraian klise mengalir dari mulut mereka
tapi tak ada kemunafikan dalam mata mereka
dan saat semuanya telah mengalir, hanya kejujuran yang menyatukan kami...
Saat daun-daun berjatuhan dan angin membawanya menciumi wajah kita, adalah saat-saat dimana sang malam mengingatkan kita akan kematian, yang akan menggugurkan tubuh kita kedalam tanah...
Sepertinya,
saya telah jatuh cinta dengan perjalanan
Setiap perjalanan ke tempat-tempat baru telah menghadirkan beragam hikmah dan berbagai rupa serpihan cermin-cermin kebenaran.
Sebuah pencarian akan kebenaran... sebuah fitrah bagi setiap insan.
Dalam detik-detik menjelang dimulainya perjalanan, saya seperti dapat merasakan gelora dalam dada seorang Muhammad Assad ketika ia sewaktu muda meninggalkan Austria menuju jazirah Arab yang panas. Sebuah pencarian akan realitas yang sejati.
Kecintaan saya pada daerah-daerah baru mungkin sebanding dengan kecintaan Muhammad Assad terhadap keindahan gurun pasir...
Assad memang benar, tidak ada basa basi di gurun pasir.
Begitupun tidak perlu ada kemunafikan dalam setiap perjalanan. Kejujuran adalah satu-satunya yang anda miliki, karena dalam sebuah perjalanan, tidak ada gunanya untuk membohongi diri sendiri dihadapan orang-orang yang tidak anda kenal sebelumnya, dan yang kemungkinan besar hanya akan anda temui saat itu saja.
Dan dalam setiap hikmah yang muncul dari setiap perjalanan, mungkinkah saya merasakan gejolak jiwa yang sama seperti ketika Assad menemukan Islam?
Agak lelah...
mungkin karena kantuk...
ada baiknya disambung lain kali... sudah terlalu panjang pula
No comments:
Post a Comment