Wednesday, December 13, 2006

Poligami dan ATM Kondom...

Helow epribadiiii !!!

Sepertinya sudah agak basi untuk membicarakan poligami. Eh, iya nggak ya?

Maksudnya begini, dalam sekian banyak perdebatan, perbincangan, pergunjingan, maupun pelesetan mengenai poligami, dari dari yang berlangsung di kereta ekonomi sampai kantor saya di Menteng, kedua belah pihak (pro dan kontra) sepertinya punya argumen yang (setidaknya menurut masing-masing dari mereka) cukup untuk mempertahankan pendapat mereka itu.

Anda termasuk yang mana?

Terserah anda sebenarnya.

Atau setidaknya, TADINYA terserah anda. Karena saat ini, mulai dari pengemis di kereta sampai Sang RI-1 (Presiden Republik Indonesia) sepertinya akan menggugat jawaban anda.

Mengapa?

Karena Aa Gym poligami?

Yaa... mungkin itu.

Memang luar biasa ternyata pengaruh poligami Aa yang satu ini terhadap perkembangan paradigma mengenai poligami di Indonesia. Judul headline di majalah Tempo terbaru juga cukup lucu : ”Poligami Masuk Istana”.

Menarik untuk disimak, bagaimana dan mengapa poligami yang dilakukan seorang Aa Gym bisa menimbulkan gejolak sebesar ini...

Apakah karena Aa Gym begitu diidolakan? Sehingga ketika sekarang beliau mengambil satu opsi yang cukup tidak populis, tiba-tiba semua yang tadinya mengidolakan berbalik menghujat? Lantas mungkin kita bisa bertanya, mengapa pada awalnya banyak yang mengidolakan Aa Gym?

Bisa juga kita langsung berkaca pada diri sendiri... Siapa suruh mengidolakan manusia secara berlebihan?

Bukankah hanya Allah yang tidak mungkin membuat kita kecewa?

Kalaupun ingin mengidolakan manusia, Rasulullah SAW bisa jadi merupakan pilihan yang paling pas. Tapi toh Rasulullah sendiri yang meminta untuk tidak dikultuskan. Yang penting adalah ajaran yang dibawa beliau bukan?

Tapi tetap menarik kalau melihat bagaimana saat ini hampir di setiap sudut (kalau ada yang sedang bergunjing mengenai issue ini tentunya), begitu banyak hujatan dan cemoohan yang dialamatkan pada seorang Aa Gym. Dan sepertinya orang akan bahagiaaaa sekali kalau bisa menemukan alasan atau bahan baru untuk menghujat.

Yah, itu soal pilihan gaya hidup.

Yang akan sangat disayangkan adalah kalau karena kekecewaan kita akan satu hal kemudian membuat kita menafikkan kebaikan-kebaikan yang lain.

Kalau itu yang terjadi, maka mungkin memang benar, banyak orang yang mengidolakan Aa Gym, dan bukan pesan-pesan yang disampaikannya.

Terbukti bahwa masyarakat kita memang sangat simbolik. Kalau simbolnya dianggap cacat, maka semua yang berkaitan dengan simbol itu kita anggap cacat juga, meskipun tadinya kita anggap baik.

Benarkah demikian?

Kalau memang benar, sangat disayangkan...

Mungkin kita perlu melihat lagi konsep untuk memperhatikan apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Yaaa... itu juga kalau kita mau. Sekali lagi, ini perkara gaya hidup dan cara pandang.

Mengenai poligami sendiri, bagaimana?

Satu hal yang jelas adalah bahwa itu diperbolehkan. Perhatikan bahwa kata yang digunakan disini adalah ”diperbolehkan”, bukan ”diharuskan”. Berarti, itu sebuah pilihan bukan?

Syarat-syaratnya sudah jelas diatur. Demikian juga motivasi yang sebaiknya dimiliki ketika mengambil pilihan itu.

Dalam pandangan saya pribadi, dua hal ini (syarat dan motivasi) sangat penting.

Memang betul bahwa dalam perkara syarat, sebenarnya tidak ada syarat bahwa poligami harus disetujui oleh istri pertama. Kalaupun ada yang mensyaratkan, bisa jadi itu karena alasan moral dan etika saja. Toh itu sebuah persyaratan yang baik.

Meski demikian, ada juga yang menganggap itu bid’ah. Karena menambah-nambahkan persyaratan dalam agama. Benar atau tidak itu bid’ah, sepertinya ada yang lebih kompeten untuk menjawabnya (bukan saya tentunya). Tapi kita bisa bercermin juga dari ”kasus” sayyidina Ali RA ketika akan berpoligami, dimana saat itu Rasulullah sendiri yang naik mimbar dan menentangnya, kecuali kalau Fathimah diceraikan terlebih dahulu. Bukankah itu merupakan (secara tersirat) pernyataan ”diizinkan atau tidak diizinkan oleh pihak istri pertama”??

Syarat lain yang lebih utama tentu adalah keadilan. Pilihan manapun yang kita ambil, satu hal yang perlu diingat adalah Islam mengajarkan untuk menegakkan keadilan. Jadi, pilihan apapun yang kita ambil hendaknya tidak menyimpangkan kita dari prinsip keadilan ini. Tentu saja, konsekuensi dari pilihan apapun yang kita ambil ini nantinya akan kita pertanggungjawabkan secara pribadi.

Lalu perkara motivasi...

Bolehkah ”nafsu” atau ”syahwat” menjadi motivasi dalam berpoligami?

Bagaimana anda mengaplikasikan motivasi ”karena Allah semata”?

Inilah sebabnya, sebenarnya saya agak terganggu apabila mendengar alasan ”takut zinah” atau ”daripada zinah” sebagai alasan poligami. Karena, bukankah itu berarti seseorang yang berpoligami itu telah memiliki dorongan seksual terhadap wanita yang menjadi istri ke-2,3 atau 4 tersebut ? Benar bahwa zinah itu haram. Akan tetapi, apakah dorongan seksual itu memang harus disalurkan sehingga memaksanya berpoligami? Apakah ”daripada zinah” itu tidak bisa ditahan dengan sarana lain? Puasa misalnya?

”Menghindari zinah”-nya bisa jadi adalah karena Allah. Tapi kemudian ”mengawini”-nya bisa jadi persoalan lain. Ini karena Allah atau karena anda tidak bisa menahan dorongan seksual terhadap wanita yang bersangkutan?

Maka, saya sekedar saran saja...

Apabila anda mungkin ingin berpoligami..

Coba tanyakan dulu pada diri anda, apa motivasi atau alasannya.

Kalau anda menjawab ”takut zinah” atau ”daripada zinah”, saran saya, lebih baik jangan berpoligami.

Apakah poligami itu sunnah?

Ya, itu sunnah. Tapi ada berbagai macam jenis sunnah. Poligami termasuk yang mana?

Lagipula kalau dari segi rentang waktu, bukankah Rasulullah SAW lebih lama bermonogami dibanding berpoligami? Maka yang mana yang lebih disunnahkan? Dan kalau memang disunnahkan, mengapa Rasulullah SAW sendiri yang melarang Ali RA berpoligami? Dalam hal inilah kemudian konteks situasi yang melatarbelakangi itu mungkin menjadi penting untuk diperhatikan.

Di sisi lain, perkara RI-1 kemudian seperti kebakaran jenggot (eh, SBY punya jenggot ga sih?) dan sampai berniat memberlakukan pelarangan terhadap poligami sepertinya cukup berlebihan (kalau tidak mau dibilang responsif emosional). Apa hak negara untuk melarang sesuatu yang dihalalkan?

Sepertinya akan lebih bijak untuk tetap membiarkannya sebagai sebuah pilihan terbuka. Toh sudah jelas konsekuensi apa yang harus ditanggung oleh setiap manusia dalam menentukan pilihan hidupnya.

Terkait Aa Gym bagaimana?

Sekedar saran lagi....

CUKUPLAH!

Jangan digunjingkan lagi.

Itu pilihan hidup beliau. Hanya beliau, keluarganya, dan Allah yang tahu motivasi, alasan, atau apapun yang berada dibalik pilihan itu.

Tidak berhak kita menghakimi pilihan itu (seolah-olah kita tahu segalanya), sama seperti kita tidak ingin pilihan hidup kita dihakimi orang lain.

Apalagi kemudian sampai menjelekkan mereka yang terkait langsung dengan pilihan itu.

Betul bahwa beliau adalah seorang public figure. Tapi bukan berarti bahwa pilihan-pilihan dalam hidupnya juga harus mengikuti kehendak publik kan?

Selain isu poligami ini (tapi sedikit banyak masih terkait), ada hal lain yang cukup menarik untuk diperhatikan. Yaitu mengenai seks bebas dan perzinahan.

Bersamaan dengan munculnya isu mengenai poligami, isu lain berupa seorang anggota DPR yang sedang berzinah dengan seorang penyanyi dangdut juga terkuak. Menarik untuk melihat bagaimana penyikapan dan pandangan masyarakat mengenai hal ini.

Beberapa hari yang lalu, secara tak sengaja, saya menonton acara “empat mata” di TV7 yang menghadirkan Maria Eva, sang artis dalam film yang tadinya tidak direncanakan untuk beredar itu. Menarik melihat bagaimana seorang Maria Eva, Tukul sang pembawa acara, maupun penonton di studio masih bisa tertawa dan seolah melihat apa yang dilakukan oleh Maria Eva bersama Yahya Zaini adalah sesuatu yang “wajar”. Kalaupun ada yang dianggap “salah”, maka mungkin itu adalah “kesialan” karena video yang menghebohkan itu sampai bisa beredar. Kalau tidak beredar, mungkin akan dianggap “lebih wajar lagi”.

Apakah seks bebas memang merupakan sesuatu yang wajar dalam masyarakat kita? Melihat perkembangan terakhir di negara kita ini, mungkin kita bisa jawab : YA. Atau setidaknya, “disetting” supaya dianggap wajar.

Contohnya?

Dalam sinetron-sinetron yang menghiasi layar kaca di rumah kita, ini bisa jelas terlihat. Sinetron “Wulan” misalnya, mengisahkan tentang seorang wanita yang hamil di luar nikah. Wanita ini menjadi pemeran utamanya, dan digambarkan sebagai seorang wanita yang baik-baik, dan akhirnya (dalam film itu) memperoleh simpati yang luas. Mungkin dari penontonnya juga? Dia tetap digambarkan “beragama”, dan seperti tidak ada yang salah dengan pilihannya untuk melakukan seks bebas (sehingga menghasilkan anak diluar nikah itu).

Dalam hukum negara kita pun, apakah ada hukum tentang perzinahan?

Kalau hukum tentang tindak perkosaan, ada. Tapi kalau suka sama suka? Sepertinya tidak ada ya? Paling banter mungkin ”hukuman sosial” dari masyarakat. Itu pun kalau ketahuan. Dan ”paradigma sosial” mengenai perzinahan itu pun sedang terdekonstruksi (dengan sinetron-sinetron semacam ”Wulan” tadi dan perilaku Yahya Zaini yang tidak banyak diprotes).

Kalaupun saat ini Maria Eva dan Yahya Zaini digarap oleh pihak kepolisian, itu karena adanya dugaan tindak kriminal pemerasan. Bukan karena perzinahannya.

Lantas bagaimana pemerintah menyikapi perilaku seks bebas yang banyak terjadi di masyarakat ini? Pemerintah menyediakan ATM Kondom.

Jadi, kalaupun anda mau ber-seks bebas-ria, minimal, pakailah kondom. Supaya tidak kena penyakit menular seksual, atau supaya tidak hamil.

Absurd?

Untuk saya... ya. Absurd.

Untuk sesuatu yang halal (dalam batasan tertentu) seperti poligami, ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelarangannya untuk PNS. Yang kemarin diperbincangkan untuk kemungkinan diperluas. Akan tetapi untuk sesuatu yang jelas haram, disediakan ATM Kondom (Condoms Vending Machine).

Apa maksudnya ini?

Hmmm.... jadi kepikiran...

Dengan poligami, seorang pria harus memikirkan azas keadilan, menafkahi istri-istrinya, membiayai anak-anaknya, dsb. Yaaah, kewajiban seorang suami lah. Ia perlu memperhatikan perasaan wanita (istri pertamanya), dan diancam dengan hukuman terbelah dua di neraka kalau ternyata berlaku tidak adil. Tapi dengan ”one night stand” (saya lebih suka menyebutnya ”tabrak lari”), anda (pria) bebas! Tanpa komitmen. Kalau ternyata si wanita hamil, ya si pria bisa kabur. Putuskan hubungan. Cari lagi yang baru. Gampang toh? Si pria tidak perlu mencari PSK. Kadang-kadang mahal. Cari saja wanita yang ”suka sama suka”. Dituntut secara hukum? Apa pasalnya? Yang anda lakukan bukan perkosaan toh? Indah sekali bukan hidup ini? (bagi pria)

Lebih absurd lagi kalau memperhatikan bahwa kalau poligami dipandang sebagai sebuah ”kecacatan moral” atau ”penyakit sosial”, mengapa perilaku seks bebas ini seolah tak tersentuh? Oleh aktivis-aktivis feminis sekalipun?

Dan ATM-ATM kondom tetap tegar berdiri...

Lalu apa hubungannya seks bebas dengan poligami?

Saya hanya memandang bahwa saat ini kondisinya terbalik. Poligami menjadi sesuatu yang seolah terlarang, sementara seks bebas menjadi sebuah pilihan gaya hidup. Bukankah semestinya poligami itu yang dibiarkan menjadi sebuah pilihan, dan seks bebas itu sesuatu yang terlarang (diharamkan)?

Nah, karena sifatnya yang lebih berupa pilihan inilah, saya pribadi juga tidak sepakat kalau poligami dijadikan sebagai parameter ketakwaan seseorang. Saya lebih sepakat melihat unsur keadilannya saja, karena bisa jadi seorang yang memilih bermonogami lebih adil dibanding yang berpoligami, dan bisa saja yang memilih berpoligami itu lebih sakinah keluarganya (karena adil) dibanding yang bermonogami. Dan itu yang menilai hanya Allah saja. Saya, anda, dan siapapun juga, tidak mungkin bisa menilainya.



Keterangan : Gambar diambil dari www.pikiran-rakyat.com

Wednesday, December 06, 2006

Paradoks Mental

Sebuah siang yang cerah...

Saya dan wanita yang satu ini sedang melintas Taman Maluku (saya lupa nama jalannya, tapi itu di sekitar Taman Maluku, Bandung). Cukup sering saya melewati jalan ini di Bandung, dan pemandangan maupun pengalaman di jalan ini belum berubah.

Anda tahu coet?

Ini nama resmi dari apa yang mungkin kita kenal sebagai... “ulekan”. Wadah (dan alat) untuk mengulek dan menghaluskan bumbu-bumbu seperti bawang, cabai, dan sebagainya secara manual. Biasanya terbuat dari batu. Akan tetapi, di dapur-dapur “modern” , fungsi alat ini mungkin sudah banyak digantikan oleh blender listrik. Untuk saya (kalau sedang memasak), rasa masakan akan jauh berbeda kalau bumbu dihaluskan dengan coet, dibandingkan kalau dihaluskan dengan blender.

Tapi sudahlah, saya tidak sedang ingin berbagi resep maupun tips masak-memasak di postingan ini...

Jadi mau cerita apa?

Setiap melewati jalan ini, ada kemungkinan besar anda akan didekati oleh anak-anak yang menjual coet.

Anak-anak?

Ya. Anak-anak. Jangan berkomentar tentang hak perlindungan anak atau usia kerja. Toh saya rasa itu tidak akan terlalu berpengaruh juga untuk mereka.

Anak-anak ini, saya rasa banyak yang masih berusia dibawah 10 tahun, menggunakan pikulan untuk membawa coet-coet dari batu itu di bahunya. Kalau anda pikir satu buah coet itu ringan, maka anda tentu akan berpikir lain kalau mengangkat sebuah pikulan yang di setiap sisinya berisi banyak coet yang bertumpuk-tumpuk.

Pikiran pertama yang melintas dalam otak saya ketika melihat mereka hanya satu... ”badan mereka tambah kecil nggak ya kalo bawa gituan tiap hari?” (pertanyaan bodoh yang saya rasa tidak akan membantu siapa-siapa).

Anak-anak ini biasanya menjual coet buatan orang tua mereka, walaupun sepertinya banyak juga yang menjual bikinan orang lain. Terlepas dari bikinan siapa coet-coet itu, pemandangan semacam tadi (anak-anak penjual coet) cukup membuat dada bergemuruh.

Kenapa mereka harus bekerja seperti itu?

Ya, saya rasa pertanyaan seperti ini agak basi ya? Jadi tidak perlu kita bahas lagi sepertinya.

Yang mau saya bahas adalah sesuatu yang bahkan membuat dada ini semakin ingin meledak, dan tangan saya berteriak ingin bergerak untuk melempar sendal. Mengapa?

Karena beberapa saat setelah didekati anak-anak tadi (yang menawarkan dagangannya dengan teriakan melengking, ”coeeeeeeeeeeet !!!”), kami (saya dan wanita yang satu ini) didekati oleh seorang pria. Masih muda (yaaah, pertengahan 30an lah, atau mungkin malah kurang), sepertinya sehat tidak kurang satu apapun, badan lumayan tegap. Dan pria muda itu... mengemis!

Luar biasa! Dengan bermodal baju lusuh, kotor, topi buluk, wajah yang sepertinya jarang dicuci, serta tatapan sendu, dia mengemis.

Sementara anak-anak kecil tadi mengangkat dagangannya yang berat, berkeliling dari satu mobil ke mobil lain tanpa hasil, para pengemis muda ini cukup mengangkat tangan ke jendela mobil untuk mendapat uang sekitar 500 sampai 1000 rupiah.

EDAN!

Dunia macam apa ini?

Seandainya tidak ada anjuran untuk bersabar dan menahan amarah, sendal saya mungkin sudah melayang.

Yah, mungkin semua memang hanya masalah mental. Mentalitas yang memuakkan!