Bagi teman-teman yang kebetulan pernah kontak dengan saya via sebuah fasilitas untuk bercakap-cakap melalui internet (kita sebut saja inisialnya, YM!), mungkin beberapa kali pernah menemukan saya online dengan status line “hari tanpa kemeja”. Apakah maksud dari status ini?
Yaaah, saya tidak sedang bermaksud untuk mengembangkan segi narsistik dengan beranggapan bahwa teman-teman semua selalu ingin tahu kondisi saya. Tidak juga saya merasa iri dengan Dirly dan Ikhsan, dua jebolan Indonesian Idol tahun 2006 yang sekarang membuka line SMS bagi para penggemarnya untuk sekedar tahu mereka sedang apa di saat-saat tertentu (yang konon katanya dikirim langsung dari ponsel mereka). Selain karena saya memang bukan jebolan Indo Idol, ponsel saya kalau dipergunakan seperti itu juga nampaknya tidak bakal mampu. Maklum, satu-satunya yang bisa dibanggakan dari ponsel saya itu adalah ringtone-nya yang sudah pholiphonic. Lain dari itu, biasa saja. Tapi yang penting, alhamdulillah dibeli pakai uang sendiri =P.
Aaaah… pembukaan yang bertele-tele… ciri khas Awan sekaleeeeeee…
Sampai mana tadi?
O iya, soal “hari tanpa kemeja” itu ya...
Nah, buat yang MUNGKIN sekedar bertanya-tanya, “apakah saya benar-benar tidak pakai kemeja?” padahal kalau online biasanya saya sedang di kantor, maka akan saya katakan YA!, saya memang tidak pakai kemeja kalau sedang pasang status line itu. Mengapa? Mungkin Anda akan bertanya-tanya lagi. Dimana kemeja saya?
Kemeja saya, tak lain dan tak bukan, sedang dijemur. Dijemur di teras luar ruangan kantor saya (saya sangat beruntung mendapat tempat yang dibelakangnya terdapat semacam “teras”).
Lha, ada apa pakai jemur-jemuran segala?
Tentu karena kemeja saya basah, sehingga harus saya jemur. Basahnya ini juga bisa karena beragam hal. Bisa karena air hujan, dan bisa juga karena keringat setelah turun dari kereta ekonomi. Kalau karena keringat, keringat ini juga bisa bermacam-macam. Bisa keringat saya sendiri, bisa juga campuran berbagai keringat dari badan orang-orang yang menempel di tubuh saya waktu berdesakan di kereta. Yang jelas, apapun alasannya, membuat badan gerah!
Maka biasanya yang saya lakukan adalah membuka kemeja, tetap memakai kaus dalam (karena kalau itu dibuka juga, ada pergulatan batin dalam diri mengenai norma-norma kesopanan didepan rekan kerja yang banyak wanitanya), memakai jaket (yang tidak ikut basah karena biasanya dalam perjalanan saya simpan di tas), supaya dingin lalu menyalakan AC agak besar, lalu menjemur kemeja saya di luar. Setelah kemeja kering, barulah semuanya kembali normal.
Pada hari-hari semacam itu juga, memang ada beberapa teman yang suka bertanya... “Gimana caranya lu bisa keringetan kaya begitu??”
Kadang kala saya menjawab : “Iya nih, udara panas banget! Dari Bogor matahari udah terik, Jakarta apalagi! Keringetan deh satu kereta.”
Tapi kadang-kadang saya juga menjawab : “Iya nih, parah banget, dari Bogor ujan gede! Sampe jakarta udah agak reda sih, tapi udah pada keringetan deh satu kereta.”
Saya tidak sadar bahwa jawaban saya yang bervariasi itu justru menimbulkan kebingungan baru. Setelah agak sering saya ber-“hari tanpa kemeja”-ria, dengan jawaban yang variatif pula, salah seorang teman saya lantas menggugat: “Lu pegimane sih? Panas ngeluh! Ujan juga ngeluh! Mau lu apa sih?”
Kontan saya tersentak dan meluruskan pandangan itu, karena teringat slogan “Diklat Mahasiswa Muslim” tahun 2002 yang pernah saya ikuti ketika kuliah dulu (dan hampir dikeluarkan secara tidak hormat karena melanggar peraturan diklat – memalukan!) bahwa “Muslim Tangguh Pantang Mengeluh”. Saya jelaskan bahwa saya tidak mengeluh mengenai cuaca. Jawaban-jawaban itu adalah sekedar keterangan atas pertanyaan dia sendiri.
Iya kan?
Saya tidak terdengar seperti mengeluh kan?
IYA KAN??!?!?!!
AWAS kalau ada yang bilang saya mengeluh!
Yah, walau bagaimanapun, gugatan teman saya itu memang cukup membuka pertanyaan baru bagi saya, yaitu : “Jadi sebenarnya, kalau naik kereta ekonomi, lebih enak cuaca seperti apa? Panas? Atau Hujan?”
Mungkin Anda bisa membantu menjawab. Ya! Anda!
Bagaimana caranya? Silakan perhatikan perbandingan berikut, dan pikirkan baik-baik, kalau Anda naik kereta, Anda akan lebih memilih yang mana....
Pertama, cuaca panas.
Jelas, didalam kereta kalau sudah penuh sesak dan tak ada udara, kegerahan itu akan timbul dengan sendirinya. Berdiri jauh dari jendela adalah sebuah bencana. Oksigen adalah sesuatu yang langka. Apalagi semilir angin untuk mengusir keringat yang keluar dari pori-pori kulit anda... Tidak Ada! (Mengapa paragraf ini begitu berima?)
Otak kita tentu lantas akan memberi perintah untuk mendekati jendela. Nah, kalau begini Anda harus berhati-hati. Jangan dekati jendela yang salah! Salah bagaimana maksudnya?
Begini, kalau anda naik kereta pagi dari Bogor ke Jakarta, itu artinya Anda menuju ke Utara, dan ketika itu matahari sedang terbit dari Timur. Nah, kalau Anda mendekati jendela yang menghadap ke Timur (sebelah kiri kalau dilihat dari arah asal kereta), maka selain mendapat angin, Anda juga akan mendapat siraman cahaya mentari. Dan itu artinya, tambah panas! Saran saya, dekatilah jendela di sebelah barat. Tapi tentu, yang berpikiran seperti itu bukan hanya Anda saja. Jadi, sudah pasti area jendela barat akan lebih padat dari jendela Timur. Hal yang analog tapi berkebalikan juga berlaku kalau Anda naik kereta dari Jakarta ke Bogor sebelum jam 5 sore. Jangan dekati jendela yang menghadap ke arah Barat!
Jadi Anda punya 3 pilihan. Pertama, berdiri di tengah gerbong, tergencet dari kanan dan kiri (depan dan belakang juga), sehingga keringat keluar tanpa ada angin yang membantu. Kedua, mendekat ke jendela yang ada sinar mataharinya. Agak lebih lowong, dapat angin, tapi panas karena cahaya matahari. Ketiga, mendekat ke jendela yang tidak ada sinar mataharinya. Tidak ada panas matahari, tapi lebih padat, dan angin juga dibagi ke banyak orang. Apakah seperti tidak ada pilihan yang enak? Yah, itulah kalau cuaca sedang panas! Matahari seolah menjadi musuh karena MENAMBAH gerah dan pengap yang tanpa matahari pun sudah terasa karena padatnya manusia. Kesimpulannya hanya satu, jangan harap baju Anda akan tetap kering.
Sekarang, kalau cuaca hujan.
Yang jelas, anginnya akan lebih dingin, dan matahari yang biasanya memusuhi juga bersembunyi malu-malu dibalik awan kelabu (halah... sok puitis lagi...). Masalah mulai muncul ketika orang-orang yang biasanya Anda lihat naik di ATAS ATAP gerbong kereta, mulai terlihat masuk ke DALAM gerbong kereta. Bisa ditebak alasannya. Kalau tetap di atas, mereka kehujanan. Segila-gilanya mereka yang naik di atas, mereka menghindari kehujanan juga. Pada saat itu, kita yang biasanya geleng-geleng kepala kalau melihat ada orang naik di atas gerbong, akan kembali geleng-geleng karena melihat mereka masuk kedalam gerbong. Mengapa? Karena berarti gerbongnya tambah penuh dong!.
Demikian juga orang-orang (dan copet-copet) yang biasanya senaaaaaang sekali bergelantungan di pintu atau berdiri berdesakan di pintu (karena cari angin dari pintu). Kalau hujan, secara otomatis mereka akan mendesak ke tengah gerbong, menjauhi pintu, karena bukan angin yang mereka dapat, melainkan air hujan. Tutup pintunya? Sejak kapan kereta ekonomi pintunya ditutup? =)) Kalaupun bisa, tidak akan bisa ditutup semua. Minimal, jendela pintunya tetap terbuka karena tidak ada kacanya.
Lalu, kalau biasanya jendela menjadi sahabat karena menjadi tempat masuknya angin, sekarang malah menjadi musuh karena menjadi tempat masuknya air. Kontan saja, orang-orang yang tadinya berebut duduk jadi lebih memilih berdiri karena duduk berarti menjadi bulan-bulanan air. Menutup jendela (kalau memang masih ada kacanya) menjadi alternatif yang biasanya memang dipilih oleh para penumpang kereta. Dan Anda sadar kan? Menutup jendela berarti juga menutup jalan angin (walaupun angin itu disertai air hujan).
Kesimpulannya... gerbong kereta menjadi seperti akuarium yang penuh sesak ditengahnya, dan pengap karena tidak ada udara mengalir. Keringat kembali mengucur deras... Banyak orang memilih memakai jaket karena mendapat angin pada saat tubuh anda basah itu sama artinya dengan mengundang penyakit. Masuk angin dalam jangka pendek, dan paru-paru basah dalam jangka panjang.
Masalah lain yang harus dihadapi penumpang kereta ketika hujan adalah... BOCOR! Bocornya atap kereta yang mengakibatkan TETESAN-TETESAN air adalah sebuah gangguan (apalagi kalau tetesannya jatuh tepat di kepala Anda). Akan tetapi, kalau bocornya atap kereta itu mengakibatkan CUCURAN air, maka itu adalah sesuatu yang harus anda sikapi dengan... ikhlas... (pada bagian tubuh manapun cucuran itu menimpa Anda).
Nah, seperti itulah kira-kira perbandingannya. Yang mana jadi pilihan? Itu tergantung selera.
Kalau saya pribadi, saya lebih merindukan “mendung tak berarti hujan”. Pilihan lain tentu cerah yang disertai angin sepoi-sepoi dan matahari yang tak terlalu terik. Cuaca yang agak ideal mungkin... “berawan”.
No comments:
Post a Comment