Agak tercekat sendiri ketika melihat blog ini dan baru menyadari sudah 3 tahun sejak terakhir posting.
Pada edisi kali ini saya ingin bercerita tentang Donna, seorang figur yang cukup menarik untuk mereka yang pernah kuliah di ITB kampus Ganesha. Menarik karena... sepertinya hampir tidak ada yang tahu persis dari mana ia berasal, mengapa ia ada di kampus, dan sepertinya tidak ada yang tahu juga apakah nama aslinya memang Donna atau bukan. Seluruh keberadaannya di kampus sepertinya terselubung misteri, gosip, isu, dan analisa yang entah mengada-ada atau berdasar fakta.
Satu hal yang jelas, sebagaimana pada awalnya tentu juga dilihat oleh semua mahasiswa yang tahu tentang Donna, ia terlihat sebagai orang yang kesadarannya bermasalah dan secara random berkeliaran di kampus saja. Tapi benarkah? untuk apa?
Pada masa-masa awal kuliah saya di ITB, beberapa kali saya melihat Donna, dan menjadi lebih sering ketika saya mulai menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan di kampus. Pada suatu ketika kemudian seorang kawan, yang nampaknya gemar mengorek gosip-gosip kampus, menceritakan sebuah cerita tentang Donna. Kabarnya Donna ini dulu adalah seorang mahasiswi, punya pacar yang entah sesama mahasiswa juga atau seorang dosen. Singkat cerita, Donna lantas hamil tapi kemudian ditinggalkan oleh sang kekasih. Depresi kemudian membuatnya menjadi gila. "Oooo..." jawab saya ketika itu, karena sejujurnya saya tidak tertarik dengan informasi demikian.
Ketertarikan terhadap Donna kemudian muncul karena ia hampir selalu hadir apabila ada acara atau keramaian di kampus. Mengapa? apakah ia sekedar tertarik ke keramaian seperti laron tertarik pada cahaya? Atau ada hal lain?
Seorang penggiat kampus yang dilabeli status "aktivis" kemudian menghadirkan cerita lain pada saya. Konon katanya Donna ini tidak gila, tetapi ia adalah seorang intel dari polisi, tentara, atau apalah. Kabarnya ia diterjunkan ke kampus ITB karena kampus ITB salah satu yang aktif pada medio tahun 90an. Itu menjelaskan mengapa Donna selalu hadir apabila ada keramaian di kampus, karena ia harus tahu pergerakan mahasiswa yang sedang terjadi. Lagi-lagi, jawaban saya hanya "Oooo....". Bedanya kali ini, saya lebih tertarik dibanding sebelumnya.
Tetapi ternyata bukan hanya saya yang tertarik dengan keberadaan Donna. Selidik punya selidik, ternyata hampir semua kawan di kampus ini setidaknya pernah mendengar 1 atau 2 versi tentang Donna. Versi terkuat adalah yang mengatakan bahwa ia seorang intel.
Saya sendiri sebenarnya sempat beberapa kali berinteraksi dengan Donna. Karena dulu sering tinggal sampai larut malam di kampus, dan sering kali juga tidak ada teman untuk diajak berbicara, Donna menjadi satu-satunya pilihan teman bicara yang lebih wajar dibanding saya mengambil bola voli dan digambari wajah lalu diberi nama Wilson. Tentu saja, namanya bicara dengan orang "gila", reaksi yang saya dapatkan dari Donna seringkali acak. Seperti waktu itu saya menyapa "Lagi ngapain, Don? gak pulang?", dan reaksi dia adalah menoleh lalu tertawa-tawa sambil bercerita soal Persib. Pernah juga ketika saya ajak berbicara kemudian dia bernyanyi "killing me softly". Dan pernah juga sebenarnya ia menjawab pertanyaan saya dengan lugas layaknya tidak ada yang bermasalah dalam otaknya. Lebih sering, ia tidak menanggapi sama sekali. Tetapi dari interaksi-interaksi itu, entah mengapa saya memang lebih menangkap kesan bahwa ia sebenarnya tidak gila.
Lantas apakah memang ia seorang intel? tentu, cerita soal ini bertebaran dimana-mana. Ada isu bahwa seorang mahasiswa sempat memergoki Donna sedang di suatu tempat, merokok dan nampak sedang bicara serius dengan beberapa orang polisi yang sepertinya berpangkat. Tapi benarkah itu? tidak ada yang tahu pasti. Jangan-jangan waktu itu memang ia sedang terkena razia saja. "Tapi waktu itu katanya dia pakai seragam wan!". Intel bodoh mana yang pakai seragam polisi di tempat umum...
Untuk saya sendiri, kecurigaan saya memang sempat timbul pada suatu masa ketika Donna untuk beberapa hari tidak ada di kampus. Anehnya, ketika itu ada orang "gila" lain yang kemudian beredar di kampus. Kali ini seorang bapak-bapak. Polanya sama, bapak ini juga muncul ketika ada keramaian, dan sering beredar dekat tempat aktivitas mahasiswa, sekretariat unit, dsb. Lalu ketika Donna muncul kembali, bapak-bapak itu hilang.
Beberapa bulan yang lalu dalam sebuah perjalanan dari Bandung ke
Jakarta, saya berbincang dengan seorang kawan dan entah bagaimana
ceritanya lantas menyerempet pembicaraan tentang Donna. Seperti
biasanya, kawan saya ini juga tidak tahu persis siapa Donna. Informasi
yang banyak beredar tentang Donna ini sejak dulu memang selalu "kata
teman saya", atau "teman saya punya teman yang pernah melihat Donna
begini begitu", atau "konon katanya (entah kata siapa), Donna ini begini
begitu". Selalu begitu sampai sekarang.
Sekedar untuk memuaskan rasa penasaran kami, kawan seperjalanan saya ini kemudian menelpon seorang kenalannya yang lulusan ITB juga tapi dari angkatan awal 90an. Ternyata, ia tidak tahu perihal Donna. Demikian juga seorang kenalan saya yang ITB angkatan 92, ia tidak tahu Donna itu siapa. Tapi di tahun 1996 konon Donna sudah sering muncul. Dari sini kami perkirakan Donna pertama muncul di ITB sekitar tahun 1995.
Seperti halnya banyak orang lain, saya tetap tidak tahu Donna itu siapa, asalnya dari mana, tujuannya apa (dan nomor telponnya berapa). Tapi yang jelas, ia secara konsisten memang ada di kampus. Tidak pernah kekurangan baju, kadang kurus kadang gemuk tapi yang jelas ia bisa makan dengan baik, dan saya tidak tahu dengan pasti apakah ia setiap malam tidur di kampus atau ia punya tempat pulang yang lain.
Yang jelas, kalau memang ia seorang intel, maka pengabdiannya pantas diacungi jempol karena sudah 20 tahun lebih ia bertugas di ITB. Pengabdian yang hanya bisa disamai oleh legenda-legenda semacam Sir Alex Ferguson atau Xavi Hernandes. Kalaupun memang ia seorang intel, saya bayangkan tentu pangkat dan jabatan (dan mungkin gajinya) juga tentu sudah jauh meningkat dibanding ketika pertama kali ia bertugas. Lalu, apakah ia punya keluarga? siapa yang selama ini mengurusnya?
Hal lain... mungkin adalah wajar ketika polisi merasa perlu menerjunkan intel di ITB pada medio 90an, ketika pergerakan mahasiswa ekskalasinya sedang meningkat dan ITB pun punya peran yang tidak kecil. Tetapi sekarang? Apa pula perlunya ia masih bertugas di kampus ITB? Kenapa ia belum dibebastugaskan saja?
Lagipula, hampir seluruh mahasiswa yang tahu tentang Donna sudah bisa dengan yakin mengatakan kalau ia seorang intel. Apa gunanya tetap menerjunkan seorang intel ke tempat dimana semua orang sudah tahu ia intel? Coba saja anda search "Donna ITB" di google (terserah dengan 1 N atau 2 N). Tulisan mengenai betapa ia adalah seorang intel sudah beredar di seantero dunia maya.
Lantas kenapa ia masih ada di kampus? Apakah seluruh per-intel-an ini hanya halusinasi mahasiswa-mahasiswa "waras" saja, dan sebenarnya Donna memang tidak waras? Lantas yang waras siapa?
Sebagai penutup, saya ingin share sebuah video yang tidak sengaja saya temukan di youtube. Yang upload namanya "Ranger merah". Video yang indah soal Donna. Silakan klik di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=3JJVK9zPra8
Wednesday, October 28, 2015
Friday, September 14, 2012
Seriously...
Seriously... twitter telah membunuh minat menulis saya. Ya itu juga kalau dulu saya punya.
Salahkan twitter?
Tidak adil juga nampaknya. Tapi dia memang menarik. 140 karakternya itu yang menarik. Baiklah, mungkin dia tidak pas sebagai sebuah media untuk menyampaikan sesuatu secara gamblang, jelas, atau menceritakan sesuatu. Tapi dia jelas menarik sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan apa yang kita rasakan saat itu, di tempat itu, ke pemirsa yang juga membacanya saat itu.
Menggunakan twitter sebagai pengganti media untuk menulis? ya... mungkin tidak bisa juga. Sebagai contoh, saya tidak suka dengan model orang menulis apa yang mereka sebut dengan "kultwit". Apa ini? kuliah via twitter? Buat saya lebih seperti membuat kotor timeline orang lain.
Buat saya akan lebih elegan bila seseorang menulis di tempat lain dengan lengkap, misalnya di blog atau wadah lain, lalu di twitter cukup menuliskan tautannya dengan sedikit kata-kata untuk menggugah rasa penasaran orang. Jadi kita bisa menulis dengan lengkap, orang bisa tetap termutakhirkan via twitter dan tinggal klik tautan untuk membaca, dan yang lebih penting adalah, tidak mengganggu orang lain di timeline mereka, khususnya mereka yang tidak tertarik dengan kultwit anda.
Tapi ya tentu beda kalau kebutuhannya adalah supaya anda bisa eksis. Ya silakan saja. Toh itu akun anda.
Nah...
sekarang perkaranya adalah, sepertinya saya harus memposisikan ulang blog ini akan dipakai untuk apa...
End.
Salahkan twitter?
Tidak adil juga nampaknya. Tapi dia memang menarik. 140 karakternya itu yang menarik. Baiklah, mungkin dia tidak pas sebagai sebuah media untuk menyampaikan sesuatu secara gamblang, jelas, atau menceritakan sesuatu. Tapi dia jelas menarik sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan apa yang kita rasakan saat itu, di tempat itu, ke pemirsa yang juga membacanya saat itu.
Menggunakan twitter sebagai pengganti media untuk menulis? ya... mungkin tidak bisa juga. Sebagai contoh, saya tidak suka dengan model orang menulis apa yang mereka sebut dengan "kultwit". Apa ini? kuliah via twitter? Buat saya lebih seperti membuat kotor timeline orang lain.
Buat saya akan lebih elegan bila seseorang menulis di tempat lain dengan lengkap, misalnya di blog atau wadah lain, lalu di twitter cukup menuliskan tautannya dengan sedikit kata-kata untuk menggugah rasa penasaran orang. Jadi kita bisa menulis dengan lengkap, orang bisa tetap termutakhirkan via twitter dan tinggal klik tautan untuk membaca, dan yang lebih penting adalah, tidak mengganggu orang lain di timeline mereka, khususnya mereka yang tidak tertarik dengan kultwit anda.
Tapi ya tentu beda kalau kebutuhannya adalah supaya anda bisa eksis. Ya silakan saja. Toh itu akun anda.
Nah...
sekarang perkaranya adalah, sepertinya saya harus memposisikan ulang blog ini akan dipakai untuk apa...
End.
Thursday, December 29, 2011
Tempat Bagus, Harga Gak Bagus, Pelayanan Buruk
Wuhuuuw... setahun hiatus.
Luar biasa.
Pertama kali aktif blogging, bisa 2 postingan sehari, lalu 1 postingan per 2 hari.
Kalau hiatus juga paling 2 minggu sudah ga tahan.
Tapi yah... karena satu dan lain hal (terutama rasa malas), akhirnya jadi juga hiatus 1 tahun.
Saya pikir ga masalah juga, toh yang bacanya juga tidak banyak. Dan sepertinya, yang dulu suka pada baca juga sudah lupa dengan blog ini :))
(berharap ada komentar yang menyangkal pernyataan ini)
Jadi...
Bismillah... mari kita mulai lagi.
Mungkin jangan yang berat-berat dulu.
Yang ringan-ringan saja.
keluhan misalnya.
Ini adalah sebuah kisah mengenai sebuah tempat makan. "Kafe" kalau kata anak gaul.
Ini tempat makan bukanlah tempat makan yang baru berdiri.
Sejak saya pertama datang ke ibukota ini juga tempat ini sudah ada.
Dan sejak tahun pertama itu pula, saya sudah berkunjung beberapa kali ke tempat ini.
Memang, niatnya biasanya bukan untuk makan dengan puas. Kebanyakan untuk berkumpul bersama teman-teman. Main, ngobrol, kerja, internet gratis, dan sebagainya.
Sederhana sebenarnya saya punya alasan. Mahal betul dia punya harga makanan.
Konon sewaktu dulu saya pertama di Jakarta, tidaklah mungkin dompet saya mengizinkan kaki saya melangkah masuk ke pintunya. Ya tapi sebulan sekali kalau sedang ada rezeki, bolehlah...
Letaknya di seputaran Cikini. Di daerah yang dulu kata supir-supir taxi yang sudah tua-tua itu adalah daerah bandar narkoba. "Banyak sudah yang tewas ditembak mati polisi", kata para supir taxi menakut-nakuti.
Tapi kini sudah berubah menjadi salah satu basis ormas Islam di Jakarta, yang sayangnya terkenal karena aksi lempar-lempar dan bakar-bakar.
Kembali pada cerita,
Ada dua kejadian dalam tempo kurang dari 1 bulan yang membuat saya enggan untuk ke tempat itu lagi.
Pertama, pertengahan Desember 2011.
Saya bersama seorang kawan yang berkaca mata dan berperut buncit. Mirip seperti saya. Hanya saja saya jauh lebih tampan, dan dia jauh lebih buncit.
saat itu, kami mencari tempat yang bisa untuk bekerja menatap laptop sampai malam, internet gratis, dan makan... tentunya.
Tidaklah saya makan siang di hari itu, sehingga ketika tiba di tempat itu pukul 8 malam, cacing-cacing dalam perut hanya punya 1 permintaan. Makan cepat!
Duduklah kami di tempat yang mengizinkan kami untuk merokok.
Paha-paha dari wanita-wanita muda yang kadang cantik kadang tidak berlalu lalang di depan kami (O ya, saya lupa, ini juga jadi alasan mengapa kami suka kesini, tapi tolong jangan disebarkan ke banyak orang, terima kasih).
Cacing-cacing di perut saya diam.
Tapi setelah kami terbiasa dengan pemandangan itu, mereka mulai bernyanyi lagi minta makan.
5 menit duduk. Tak ada yang datang menagih pesanan.
7 menit, saya tak tahan.
berjalanlah saya ke kasirnya, minta dilayani.
"sebentar mas", kata wanita muda di balik kasir.
5 menit...
"sebentar mas", kata dia kedua kalinya.
Tentunya ada hal yang menarik sekali di balik meja kasir itu, sehingga 3 orang pelayannya lebih memilih untuk bercengkrama disana dibanding mengasihani kami yang berwajah lapar ini.
Mungkin sudah jamak bagi mereka, kalau para pengunjung disana sebenarnya bukan orang lapar. Mereka tidak tahu, bahwa kami adalah pengecualian.
Pada akhirnya, datanglah juga seorang wanita muda membawa menu. Menanyakan "sudah pesan mas?".
Heranlah saya dibuatnya. Tentunya dia tahu kalau sedari tadi belum juga kami dilayani. Bagaimana mungkin kami sudah pesan?
Tanpa pikir panjang, soto betawi jadi pilihan saya, ditambah kopi panas.
Pikir saya, selain salah satu menu paling murah, apalah lamanya menuang soto kedalam mangkuk?
"Cepat ya mbak. Saya sudah lapar", kata saya.
kawan saya hanya pesan kopi. Tidak makan. Tentunya dia sedang berusaha mengurangi berat badannya, atau sekedar tidak ada uang. Entahlah mana yang benar.
Lalu kami mulai bekerja sembari menunggu pesanan kami datang. Diskusi dan mencari apa-apa yang sepertinya diperlukan di internet.
----
10 menit berlalu, kopi datang.
30 menit berlalu, soto tak kunjung kelihatan.
45 menit berlalu, habis sudah kesabaran.
Ada pelayan lain melintas, saya tanyakan apa nasib pesanan saya.
"Oh, belum datang ya mas? Sebentar saya tanyakan. Pesan apa tadi?"
"Soto betawi", kata saya singkat. Banyak kata akan menghabiskan banyak energi, sementara cadangan energi dari perut sudah hampir habis. Sedikit senyum masih saya paksakan, supaya tidak terkesan mengenaskan.
Entahlah saat itu dia benar tanya ke dapur atau tidak, tapi yang jelas tidak juga dia kembali ke meja kami untuk memberi kabar.
30 menit kemudian... hampir pingsan saya jadinya.
Kawan saya yang mungkin kasihan, panggil pelayan lagi.
"Sebentar mas, saya tanyakan."
5 menit kemudian, dia datang kembali...
"Maaf mas, soto betawinya habis. Mau pesan yang lain?"
Saya dan kawan saya saling berpandangan. Seolah tidak percaya dengan apa yang kami dengar.
Dan saya, dengan sifat kritis bawaan dari lahir, tak bisa menahan diri untuk bertanya...
"Kenapa tidak bilang dari tadi mbak? Ini saya sudah tunggu 1 jam lebih..."
"Loh? kan mas pesannya barusan bukan? 30 menit lalu?"
"Bagaimana mungkin? Coba tadi tanya mbak-mbak yang catat pesanan saya, saya pesan bersamaan dengan kopi ini (yang sekarang sudah dingin)"
Sebenarnya saat itu saya sedikit berbohong, karena pelayan yang pertama tanya pesanan saya itu sebenarnya tidak saya lihat mencatat. Tentu dia punya daya ingat yang bagus.
"Oh? Gitu ya pak? Sebentar coba saya tanyakan.." (Entah apa gunanya lagi dipertanyakan ke dapur kalau dia bilang itu makanan sudah habis).
1 menit kemudian, dia kembali.
"Benar mas, sudah habis. Maaf ya" (padahal waktu dia bilang sebelumnya juga tak ada saya mengira dia tidak mengatakan kebenaran).
"Yasudah mbak, begini saja... mbak tanyakan ke orang dapur itu, makanan berat apa yang sedang dia bikin sekarang. Jangan makanan ringan, ini saya sudah lapar berat. Nah, apapun yang sedang dia buat itu, kalau sudah jadi, kasihkan pada saya. Nanti untuk yang pesan itu makanan dibuatkan saja lagi. Tolong ya mbak, kecuali mbak ingin ada orang pingsan di tempat ini dan besok masuk koran."
Si mbak nampaknya bingung dengan arahan yang saya berikan.
"Jadi... mas pesan apa?"
"Ya apapun yang sekarang sedang dibuat"
"Oh... ok mas".
"Cepet lho mbak. Mas ini kalau sudah lapar bawaannya bisa bakar-bakar", kata kawan saya berusaha meyakinkan sambil sedikit mengancam.
10 menit kemudian, datanglah seporsi makanan yang nampaknya bernama nasi bakar. Ukurannya sepinggan kecil saja.
Tidak mengenyangkan, tapi setidaknya bisa hilang lapar.
Selesai pekerjaan, selesai makan, rokok dinyalakan lagi. Lalu melangkah pulang.
Mengenai harga... yah... sudahlah, tak perlu kita bahas. Yang jelas saya pergi dengan muka masam.
Kejadian kedua... Akhir Desember 2011.
Kali ini seorang diri saya datang. Pukul 8 malam.
Saya meyakinkan diri saya, kejadian yang saya alami sebelumnya itu, mungkin sekedar nasib sial saja. Mana mungkin itu tempat bisa berdiri sedemikian lama kalau kejadian serupa terjadi berulang kali pada banyak orang, bukan?
Kembali saya duduk di tempat yang mengizinkan merokok.
Kali ini tidak ada paha bertebaran.
Meski beberapa wanita cantik tetap ada.
Sudahlah, saya lapar. Mari pesan makanan.
5 menit duduk, laptop sudah menyala. Tidak ada yang datang menagih pesanan.
de ja vu?
Saya datang ke kasir, dimana 3 orang pelayan sedang bercengkrama.
"Mbak, boleh pesan?" Kata saya sambil tersenyum.
"Ya, sebentar mas." Jawabnya.
Datanglah seorang pelayan membawa menu. Bersiaplah saya menyambutnya.
Ternyata salah, karena dia mendatangi meja sebelah.
"aaah...", pikir saya, "tentunya mereka ini sudah lebih lama datang dibanding saya, tapi belum pesan juga..."
5 menit kemudian, saya kembali ke kasir.
"Mbak, bisa pesan?"
Kali ini saya tidak mau tertipu lagi. Saya tunggu itu di kasir sampai ada pelayan yang pegang menu, baru kemudian kami sama-sama ke meja saya.
"Soto betawi mbak, sama cappucino panas 1"
de ja vu?
"ya mas", katanya. Tanpa mencatat. Tentu dia juga daya ingatnya bagus.
5 menit berselang.
Datang lagi pelayan itu.
"Mas, nasinya habis tuh. kalau dibikin dulu, kata dapurnya lama"
Dalam saya punya pikiran, tidak sah sebuah tempat makan di Indonesia kalau tidak punya nasi putih. Jadi saya pikir kalaupun habis, tentu itu dapur sekarang sedang masak nasi, karena tidak mungkin juga pelanggan makan masih dalam bentuk beras.
"Berapa lama masaknya?", tanya saya.
"Wah, gatau tuh mas, kayanya lama...", jawabnya.
Sepengalaman saya dalam memasak nasi, biasanya tidak lebih dari 1 jam.
Entah kenapa, si mbak pelayan ini punya mata melihat kemana-mana, tidak fokus pada saya. Mungkin dia sedang pikirkan kekasihnya yang entah dimana, atau menahan diri ingin ke kamar kecil. Entahlah.
"Yasudah, ditunggu deh", jawab saya, karena apalah artinya soto betawi tanpa nasi, bukan?
"Oh, oke mas" kata si pelayan, tanpa mencatat, tanpa melihat, lalu pergi ke dapur, entah apa yang dia katakan pada orang dapur.
Sambil menunggu dan bekerja, rokok dinyalakan.
5 menit kemudian, kopinya datang.
15 menit kemudian, rokoknya habis.
15 menit kemudian, sotonya datang seorang diri, tanpa ditemani nasi.
"Aaah, sudah 35 menit, tentu 25 menit lagi si nasi datang", pikir saya.
25 menit kemudian, perut sudah tidak tahan.
Melintaslah seorang pelayan pria.
"Mas, boleh tanya, itu nasi putih sudah matang belum ya?"
Meliriklah dia pada semangkuk soto betawi yang belum saya jamah. Mungkin dia berpikir "apalah artinya soto betawi tanpa nasi?", dan dia segera mengerti.
"Sebentar mas, saya tanya dulu".
Pergilah dia ke dapur.
Kembali dia dari dapur.
"Mas, emang mas tadi pesan nasi putih? Kata orang dapurnya mas pesan soto saja tanpa nasi..."
Ada keraguan dalam mata sang pelayan pria, karena tentunya dia pun merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri.
"Lha? Tadi katanya kan dimasak dulu? Jadi saya bilang yasudah saya tunggu. Memangnya dapurnya masak nasi hanya untuk saya?"
"Oh? gitu ya mas? sebentar ya..."
Dia pergi.
Sepertinya itu pelayan yang agak senior. Mungkin tingkat manajer, karena saya lihat dia bertanya ke pelayan wanita yang tadi mengambil pesanan saya. Sepertinya agak dimarahi juga. Saya jadi agak kasihan pada pelayan wanita itu. "Agak".
Datanglah si pelayan wanita itu.
"Maaf mas, saya kira tadi tidak pakai nasi."
"Jadi nasinya tidak sedang dibikin?"
"Nggak mas. Kalau sekarang dipesan juga tentu masih lama sekali jadinya. Belum tentu dapurnya bikin juga."
Sejujurnya... itu adalah ucapan teraneh yang pernah saya dengar di sebuah rumah makan. Ini nasi putih, demi Tuhan. Nasi putih !!!
Apakah memakan waktu 2 minggu untuk memasak nasi putih sehingga dia harus bilang "lama sekali"?? Kalaupun dia bilang 1 jam, saya akan lebih bisa menerima.
"Yasudah..." Saya berkata dengan masih berusaha sedikit tersenyum.
Saya menggunakan seluruh kebijaksanaan dan kecerdasan saya, lalu berkata: "boleh minta tolong?"
"Apa tuh mas?"
"Boleh minta tolong siapa gitu belikan nasi diluar? Ada warung di dekat sana, atau rumah makan lain di sebelah kan? Tolong beli 1 porsi, bungkus, lalu saya pinjam piring dan saya makan disini."
Solusi cerdas bukan?
lalu..
"Aduh... gimana ya mas... kami cuma bertiga, kalau blablabla aa ii uu oo dst dst"
Saya membuat isyarat dengan tangan, memotong omongannya, menahan emosi. Sedikit tersenyum.
"Tolong bungkus saja itu soto."
"Gimana mas?"
"B-U-NG = Bung, K-U-S = Kus. Bungkus. Ada plastiknya? Atau habis juga itu plastik?"
"Oh, plastik ada mas." (jawaban datar, padahal sebenarnya pertanyaan saya itu lebih berupa sindiran yang tidak mengharapkan jawaban).
Dibawanya itu soto.
Saya nyalakan rokok lagi.
Kembali bekerja sambil menghabiskan kopi yang sudah dingin.
15 menit kemudian, saya bereskan laptop, ambil bungkusan soto, lalu ke kasir.
Rp. 69.300,00, untuk kapucino dan soto betawi tanpa emping dan tak bernasi.
Mau mengeluh tapi nanti malah dibilang sebagai orang pemarah yang tidak punya uang.
Jaga gengsi, saya kasih 70 ribu. Tidak tunggu kembalian.
Pergi dengan muka masam.
Saya tidak akan kesana lagi...
Dalam perjalanan pulang, saya mampir di Warteg yang masih buka. Beli nasi putih dibungkus. 2 ribu rupiah.
Saya makan soto dingin di rumah.
Setidaknya rasanya lumayan.
Bukan yang terenak yang pernah saya makan, tapi masih bisa mencapai standar.
NB: Nama tempat tidak saya tulis, karena khawatir kena pasal pencemaran nama baik dan dituntut di pengadilan. Mohon jangan ditanyakan, saya tidak akan menjawab.
Luar biasa.
Pertama kali aktif blogging, bisa 2 postingan sehari, lalu 1 postingan per 2 hari.
Kalau hiatus juga paling 2 minggu sudah ga tahan.
Tapi yah... karena satu dan lain hal (terutama rasa malas), akhirnya jadi juga hiatus 1 tahun.
Saya pikir ga masalah juga, toh yang bacanya juga tidak banyak. Dan sepertinya, yang dulu suka pada baca juga sudah lupa dengan blog ini :))
(berharap ada komentar yang menyangkal pernyataan ini)
Jadi...
Bismillah... mari kita mulai lagi.
Mungkin jangan yang berat-berat dulu.
Yang ringan-ringan saja.
keluhan misalnya.
Ini adalah sebuah kisah mengenai sebuah tempat makan. "Kafe" kalau kata anak gaul.
Ini tempat makan bukanlah tempat makan yang baru berdiri.
Sejak saya pertama datang ke ibukota ini juga tempat ini sudah ada.
Dan sejak tahun pertama itu pula, saya sudah berkunjung beberapa kali ke tempat ini.
Memang, niatnya biasanya bukan untuk makan dengan puas. Kebanyakan untuk berkumpul bersama teman-teman. Main, ngobrol, kerja, internet gratis, dan sebagainya.
Sederhana sebenarnya saya punya alasan. Mahal betul dia punya harga makanan.
Konon sewaktu dulu saya pertama di Jakarta, tidaklah mungkin dompet saya mengizinkan kaki saya melangkah masuk ke pintunya. Ya tapi sebulan sekali kalau sedang ada rezeki, bolehlah...
Letaknya di seputaran Cikini. Di daerah yang dulu kata supir-supir taxi yang sudah tua-tua itu adalah daerah bandar narkoba. "Banyak sudah yang tewas ditembak mati polisi", kata para supir taxi menakut-nakuti.
Tapi kini sudah berubah menjadi salah satu basis ormas Islam di Jakarta, yang sayangnya terkenal karena aksi lempar-lempar dan bakar-bakar.
Kembali pada cerita,
Ada dua kejadian dalam tempo kurang dari 1 bulan yang membuat saya enggan untuk ke tempat itu lagi.
Pertama, pertengahan Desember 2011.
Saya bersama seorang kawan yang berkaca mata dan berperut buncit. Mirip seperti saya. Hanya saja saya jauh lebih tampan, dan dia jauh lebih buncit.
saat itu, kami mencari tempat yang bisa untuk bekerja menatap laptop sampai malam, internet gratis, dan makan... tentunya.
Tidaklah saya makan siang di hari itu, sehingga ketika tiba di tempat itu pukul 8 malam, cacing-cacing dalam perut hanya punya 1 permintaan. Makan cepat!
Duduklah kami di tempat yang mengizinkan kami untuk merokok.
Paha-paha dari wanita-wanita muda yang kadang cantik kadang tidak berlalu lalang di depan kami (O ya, saya lupa, ini juga jadi alasan mengapa kami suka kesini, tapi tolong jangan disebarkan ke banyak orang, terima kasih).
Cacing-cacing di perut saya diam.
Tapi setelah kami terbiasa dengan pemandangan itu, mereka mulai bernyanyi lagi minta makan.
5 menit duduk. Tak ada yang datang menagih pesanan.
7 menit, saya tak tahan.
berjalanlah saya ke kasirnya, minta dilayani.
"sebentar mas", kata wanita muda di balik kasir.
5 menit...
"sebentar mas", kata dia kedua kalinya.
Tentunya ada hal yang menarik sekali di balik meja kasir itu, sehingga 3 orang pelayannya lebih memilih untuk bercengkrama disana dibanding mengasihani kami yang berwajah lapar ini.
Mungkin sudah jamak bagi mereka, kalau para pengunjung disana sebenarnya bukan orang lapar. Mereka tidak tahu, bahwa kami adalah pengecualian.
Pada akhirnya, datanglah juga seorang wanita muda membawa menu. Menanyakan "sudah pesan mas?".
Heranlah saya dibuatnya. Tentunya dia tahu kalau sedari tadi belum juga kami dilayani. Bagaimana mungkin kami sudah pesan?
Tanpa pikir panjang, soto betawi jadi pilihan saya, ditambah kopi panas.
Pikir saya, selain salah satu menu paling murah, apalah lamanya menuang soto kedalam mangkuk?
"Cepat ya mbak. Saya sudah lapar", kata saya.
kawan saya hanya pesan kopi. Tidak makan. Tentunya dia sedang berusaha mengurangi berat badannya, atau sekedar tidak ada uang. Entahlah mana yang benar.
Lalu kami mulai bekerja sembari menunggu pesanan kami datang. Diskusi dan mencari apa-apa yang sepertinya diperlukan di internet.
----
10 menit berlalu, kopi datang.
30 menit berlalu, soto tak kunjung kelihatan.
45 menit berlalu, habis sudah kesabaran.
Ada pelayan lain melintas, saya tanyakan apa nasib pesanan saya.
"Oh, belum datang ya mas? Sebentar saya tanyakan. Pesan apa tadi?"
"Soto betawi", kata saya singkat. Banyak kata akan menghabiskan banyak energi, sementara cadangan energi dari perut sudah hampir habis. Sedikit senyum masih saya paksakan, supaya tidak terkesan mengenaskan.
Entahlah saat itu dia benar tanya ke dapur atau tidak, tapi yang jelas tidak juga dia kembali ke meja kami untuk memberi kabar.
30 menit kemudian... hampir pingsan saya jadinya.
Kawan saya yang mungkin kasihan, panggil pelayan lagi.
"Sebentar mas, saya tanyakan."
5 menit kemudian, dia datang kembali...
"Maaf mas, soto betawinya habis. Mau pesan yang lain?"
Saya dan kawan saya saling berpandangan. Seolah tidak percaya dengan apa yang kami dengar.
Dan saya, dengan sifat kritis bawaan dari lahir, tak bisa menahan diri untuk bertanya...
"Kenapa tidak bilang dari tadi mbak? Ini saya sudah tunggu 1 jam lebih..."
"Loh? kan mas pesannya barusan bukan? 30 menit lalu?"
"Bagaimana mungkin? Coba tadi tanya mbak-mbak yang catat pesanan saya, saya pesan bersamaan dengan kopi ini (yang sekarang sudah dingin)"
Sebenarnya saat itu saya sedikit berbohong, karena pelayan yang pertama tanya pesanan saya itu sebenarnya tidak saya lihat mencatat. Tentu dia punya daya ingat yang bagus.
"Oh? Gitu ya pak? Sebentar coba saya tanyakan.." (Entah apa gunanya lagi dipertanyakan ke dapur kalau dia bilang itu makanan sudah habis).
1 menit kemudian, dia kembali.
"Benar mas, sudah habis. Maaf ya" (padahal waktu dia bilang sebelumnya juga tak ada saya mengira dia tidak mengatakan kebenaran).
"Yasudah mbak, begini saja... mbak tanyakan ke orang dapur itu, makanan berat apa yang sedang dia bikin sekarang. Jangan makanan ringan, ini saya sudah lapar berat. Nah, apapun yang sedang dia buat itu, kalau sudah jadi, kasihkan pada saya. Nanti untuk yang pesan itu makanan dibuatkan saja lagi. Tolong ya mbak, kecuali mbak ingin ada orang pingsan di tempat ini dan besok masuk koran."
Si mbak nampaknya bingung dengan arahan yang saya berikan.
"Jadi... mas pesan apa?"
"Ya apapun yang sekarang sedang dibuat"
"Oh... ok mas".
"Cepet lho mbak. Mas ini kalau sudah lapar bawaannya bisa bakar-bakar", kata kawan saya berusaha meyakinkan sambil sedikit mengancam.
10 menit kemudian, datanglah seporsi makanan yang nampaknya bernama nasi bakar. Ukurannya sepinggan kecil saja.
Tidak mengenyangkan, tapi setidaknya bisa hilang lapar.
Selesai pekerjaan, selesai makan, rokok dinyalakan lagi. Lalu melangkah pulang.
Mengenai harga... yah... sudahlah, tak perlu kita bahas. Yang jelas saya pergi dengan muka masam.
Kejadian kedua... Akhir Desember 2011.
Kali ini seorang diri saya datang. Pukul 8 malam.
Saya meyakinkan diri saya, kejadian yang saya alami sebelumnya itu, mungkin sekedar nasib sial saja. Mana mungkin itu tempat bisa berdiri sedemikian lama kalau kejadian serupa terjadi berulang kali pada banyak orang, bukan?
Kembali saya duduk di tempat yang mengizinkan merokok.
Kali ini tidak ada paha bertebaran.
Meski beberapa wanita cantik tetap ada.
Sudahlah, saya lapar. Mari pesan makanan.
5 menit duduk, laptop sudah menyala. Tidak ada yang datang menagih pesanan.
de ja vu?
Saya datang ke kasir, dimana 3 orang pelayan sedang bercengkrama.
"Mbak, boleh pesan?" Kata saya sambil tersenyum.
"Ya, sebentar mas." Jawabnya.
Datanglah seorang pelayan membawa menu. Bersiaplah saya menyambutnya.
Ternyata salah, karena dia mendatangi meja sebelah.
"aaah...", pikir saya, "tentunya mereka ini sudah lebih lama datang dibanding saya, tapi belum pesan juga..."
5 menit kemudian, saya kembali ke kasir.
"Mbak, bisa pesan?"
Kali ini saya tidak mau tertipu lagi. Saya tunggu itu di kasir sampai ada pelayan yang pegang menu, baru kemudian kami sama-sama ke meja saya.
"Soto betawi mbak, sama cappucino panas 1"
de ja vu?
"ya mas", katanya. Tanpa mencatat. Tentu dia juga daya ingatnya bagus.
5 menit berselang.
Datang lagi pelayan itu.
"Mas, nasinya habis tuh. kalau dibikin dulu, kata dapurnya lama"
Dalam saya punya pikiran, tidak sah sebuah tempat makan di Indonesia kalau tidak punya nasi putih. Jadi saya pikir kalaupun habis, tentu itu dapur sekarang sedang masak nasi, karena tidak mungkin juga pelanggan makan masih dalam bentuk beras.
"Berapa lama masaknya?", tanya saya.
"Wah, gatau tuh mas, kayanya lama...", jawabnya.
Sepengalaman saya dalam memasak nasi, biasanya tidak lebih dari 1 jam.
Entah kenapa, si mbak pelayan ini punya mata melihat kemana-mana, tidak fokus pada saya. Mungkin dia sedang pikirkan kekasihnya yang entah dimana, atau menahan diri ingin ke kamar kecil. Entahlah.
"Yasudah, ditunggu deh", jawab saya, karena apalah artinya soto betawi tanpa nasi, bukan?
"Oh, oke mas" kata si pelayan, tanpa mencatat, tanpa melihat, lalu pergi ke dapur, entah apa yang dia katakan pada orang dapur.
Sambil menunggu dan bekerja, rokok dinyalakan.
5 menit kemudian, kopinya datang.
15 menit kemudian, rokoknya habis.
15 menit kemudian, sotonya datang seorang diri, tanpa ditemani nasi.
"Aaah, sudah 35 menit, tentu 25 menit lagi si nasi datang", pikir saya.
25 menit kemudian, perut sudah tidak tahan.
Melintaslah seorang pelayan pria.
"Mas, boleh tanya, itu nasi putih sudah matang belum ya?"
Meliriklah dia pada semangkuk soto betawi yang belum saya jamah. Mungkin dia berpikir "apalah artinya soto betawi tanpa nasi?", dan dia segera mengerti.
"Sebentar mas, saya tanya dulu".
Pergilah dia ke dapur.
Kembali dia dari dapur.
"Mas, emang mas tadi pesan nasi putih? Kata orang dapurnya mas pesan soto saja tanpa nasi..."
Ada keraguan dalam mata sang pelayan pria, karena tentunya dia pun merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri.
"Lha? Tadi katanya kan dimasak dulu? Jadi saya bilang yasudah saya tunggu. Memangnya dapurnya masak nasi hanya untuk saya?"
"Oh? gitu ya mas? sebentar ya..."
Dia pergi.
Sepertinya itu pelayan yang agak senior. Mungkin tingkat manajer, karena saya lihat dia bertanya ke pelayan wanita yang tadi mengambil pesanan saya. Sepertinya agak dimarahi juga. Saya jadi agak kasihan pada pelayan wanita itu. "Agak".
Datanglah si pelayan wanita itu.
"Maaf mas, saya kira tadi tidak pakai nasi."
"Jadi nasinya tidak sedang dibikin?"
"Nggak mas. Kalau sekarang dipesan juga tentu masih lama sekali jadinya. Belum tentu dapurnya bikin juga."
Sejujurnya... itu adalah ucapan teraneh yang pernah saya dengar di sebuah rumah makan. Ini nasi putih, demi Tuhan. Nasi putih !!!
Apakah memakan waktu 2 minggu untuk memasak nasi putih sehingga dia harus bilang "lama sekali"?? Kalaupun dia bilang 1 jam, saya akan lebih bisa menerima.
"Yasudah..." Saya berkata dengan masih berusaha sedikit tersenyum.
Saya menggunakan seluruh kebijaksanaan dan kecerdasan saya, lalu berkata: "boleh minta tolong?"
"Apa tuh mas?"
"Boleh minta tolong siapa gitu belikan nasi diluar? Ada warung di dekat sana, atau rumah makan lain di sebelah kan? Tolong beli 1 porsi, bungkus, lalu saya pinjam piring dan saya makan disini."
Solusi cerdas bukan?
lalu..
"Aduh... gimana ya mas... kami cuma bertiga, kalau blablabla aa ii uu oo dst dst"
Saya membuat isyarat dengan tangan, memotong omongannya, menahan emosi. Sedikit tersenyum.
"Tolong bungkus saja itu soto."
"Gimana mas?"
"B-U-NG = Bung, K-U-S = Kus. Bungkus. Ada plastiknya? Atau habis juga itu plastik?"
"Oh, plastik ada mas." (jawaban datar, padahal sebenarnya pertanyaan saya itu lebih berupa sindiran yang tidak mengharapkan jawaban).
Dibawanya itu soto.
Saya nyalakan rokok lagi.
Kembali bekerja sambil menghabiskan kopi yang sudah dingin.
15 menit kemudian, saya bereskan laptop, ambil bungkusan soto, lalu ke kasir.
Rp. 69.300,00, untuk kapucino dan soto betawi tanpa emping dan tak bernasi.
Mau mengeluh tapi nanti malah dibilang sebagai orang pemarah yang tidak punya uang.
Jaga gengsi, saya kasih 70 ribu. Tidak tunggu kembalian.
Pergi dengan muka masam.
Saya tidak akan kesana lagi...
Dalam perjalanan pulang, saya mampir di Warteg yang masih buka. Beli nasi putih dibungkus. 2 ribu rupiah.
Saya makan soto dingin di rumah.
Setidaknya rasanya lumayan.
Bukan yang terenak yang pernah saya makan, tapi masih bisa mencapai standar.
NB: Nama tempat tidak saya tulis, karena khawatir kena pasal pencemaran nama baik dan dituntut di pengadilan. Mohon jangan ditanyakan, saya tidak akan menjawab.
Tuesday, December 28, 2010
Surat Untuk Firman
Sebuah tulisan dari E.S. ITO, seorang blogger dan penulis beberapa buku. Tulisan yang sangat bagus tentang perjuangan timnas besok (29/12/2010) melawan Malaysia di final piala AFF. Sepakat sekali, sepakbola memang bukan tentang menang atau kalah. Sepakbola adalah tentang kegembiraan. Makanya saya ga ngerti kenapa orang banyak menggemari suatu tim sepak bola karena banyaknya piala yang mereka miliki. Saya menggemari tim sepak bola yang memberi saya kegembiraan ketika menontonnya.
Dan Timnas Indonesia, diluar kebanggaan yang diberikannya, jangan sampai lupa memberikan kegembiraan bagi diri mereka sendiri dan bagi bangsa ini.
Selamat membaca.
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?
Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.
Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.
Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan.
Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan.
Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!
NB: Tulisan aslinya bisa dilihat di http://itonesia.com/surat-untuk-firman/
Dan Timnas Indonesia, diluar kebanggaan yang diberikannya, jangan sampai lupa memberikan kegembiraan bagi diri mereka sendiri dan bagi bangsa ini.
Selamat membaca.
SURAT UNTUK FIRMAN
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?
Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.
Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.
Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan.
Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan.
Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!
NB: Tulisan aslinya bisa dilihat di http://itonesia.com/surat-untuk-firman/
Monday, December 27, 2010
Syukurlah Saya Ganteng...
Kalo cowok ganteng pendiam
cewek2 bilang: woow, cool banget…
kalo cowok jelek pendiam
cewek2 bilang: ih kuper…
Kalo cowok ganteng banyak omong
cewek2 bilang: supel... ramah... perfect!
Kalo cowok jelek banyak omong
cewek2 bilang: bawel amat kaya bukan cowok!
kalo cowok ganteng jomblo
cewek2 bilang: pasti dia perfeksionis
kalo cowok jelek jomblo
cewek2 bilang: udah jelas…kagak laku…
kalo cowok ganteng berbuat jahat
cewek2 bilang: nobody’s perfect
kalo cowok jelek berbuat jahat
cewek2 bilang: pantes…tampangnya kriminal
kalo cowok ganteng nolongin cewe yang diganggu preman
cewek2 bilang: wuih jantan…kayak di filem2
kalo cowok jelek nolongin cewe yang diganggu preman
cewek2 bilang: pasti premannya temennya dia…
kalo cowok ganteng dapet cewek cantik
cewek2 bilang: klop…serasi banget…
kalo cowok jelek dapet cewek cantik
cewek2 bilang: pasti main dukun…
kalo cowok ganteng ngaku indo
cewek2 bilang: emang mirip-mirip bule sih…
kalo cowok jelek ngaku indo
cewek2 bilang: pasti ibunya Jawa bapaknya robot…
kalo cowok ganteng penyayang binatang
cewek2 bilang: perasaannya halus…penuh cinta kasih
kalo cowok jelek penyayang binatang
cewek2 bilang: sesama keluarga emang harus menyayangi…
kalo cowok ganteng bawa BMW
cewek2 bilang: matching…keren luar dalem
kalo cowok jelek bawa BMW
cewek2 bilang: mas majikannya mana?…
kalo cowok ganteng males difoto
cewek2 bilang: pasti takut fotonya kesebar-sebar
kalo cowok jelek males difoto
cewek2 bilang: nggak tega ngeliat hasil cetakannya ya?…
kalo cowok ganteng naek motor gede
cewek2 bilang: wah kayak lorenzo lamas…bikin lemas…
kalo cowok jelek naek motor gede
cewek2 bilang: awas!! mandragade lewat…
kalo cowok ganteng nuangin air ke gelas cewek
cewek2 bilang: ini baru cowok gentlemen
kalo cowok jelek nuangin air ke gelas cewek
cewek2 bilang: naluri pembantu, emang gitu…
kalo cowok ganteng bersedih hati
cewek2 bilang: let me be your shoulder to cry on
kalo cowok2 jelek bersedih hati
cewek2 bilang: cengeng amat!!…laki-laki bukan sih?
Untunglah saya ganteng. Saya amat bersyukur...
cewek2 bilang: woow, cool banget…
kalo cowok jelek pendiam
cewek2 bilang: ih kuper…
Kalo cowok ganteng banyak omong
cewek2 bilang: supel... ramah... perfect!
Kalo cowok jelek banyak omong
cewek2 bilang: bawel amat kaya bukan cowok!
kalo cowok ganteng jomblo
cewek2 bilang: pasti dia perfeksionis
kalo cowok jelek jomblo
cewek2 bilang: udah jelas…kagak laku…
kalo cowok ganteng berbuat jahat
cewek2 bilang: nobody’s perfect
kalo cowok jelek berbuat jahat
cewek2 bilang: pantes…tampangnya kriminal
kalo cowok ganteng nolongin cewe yang diganggu preman
cewek2 bilang: wuih jantan…kayak di filem2
kalo cowok jelek nolongin cewe yang diganggu preman
cewek2 bilang: pasti premannya temennya dia…
kalo cowok ganteng dapet cewek cantik
cewek2 bilang: klop…serasi banget…
kalo cowok jelek dapet cewek cantik
cewek2 bilang: pasti main dukun…
kalo cowok ganteng ngaku indo
cewek2 bilang: emang mirip-mirip bule sih…
kalo cowok jelek ngaku indo
cewek2 bilang: pasti ibunya Jawa bapaknya robot…
kalo cowok ganteng penyayang binatang
cewek2 bilang: perasaannya halus…penuh cinta kasih
kalo cowok jelek penyayang binatang
cewek2 bilang: sesama keluarga emang harus menyayangi…
kalo cowok ganteng bawa BMW
cewek2 bilang: matching…keren luar dalem
kalo cowok jelek bawa BMW
cewek2 bilang: mas majikannya mana?…
kalo cowok ganteng males difoto
cewek2 bilang: pasti takut fotonya kesebar-sebar
kalo cowok jelek males difoto
cewek2 bilang: nggak tega ngeliat hasil cetakannya ya?…
kalo cowok ganteng naek motor gede
cewek2 bilang: wah kayak lorenzo lamas…bikin lemas…
kalo cowok jelek naek motor gede
cewek2 bilang: awas!! mandragade lewat…
kalo cowok ganteng nuangin air ke gelas cewek
cewek2 bilang: ini baru cowok gentlemen
kalo cowok jelek nuangin air ke gelas cewek
cewek2 bilang: naluri pembantu, emang gitu…
kalo cowok ganteng bersedih hati
cewek2 bilang: let me be your shoulder to cry on
kalo cowok2 jelek bersedih hati
cewek2 bilang: cengeng amat!!…laki-laki bukan sih?
Untunglah saya ganteng. Saya amat bersyukur...
Subscribe to:
Posts (Atom)