Thursday, December 29, 2011

Tempat Bagus, Harga Gak Bagus, Pelayanan Buruk

Wuhuuuw... setahun hiatus.


Luar biasa.

Pertama kali aktif blogging, bisa 2 postingan sehari, lalu 1 postingan per 2 hari.
Kalau hiatus juga paling 2 minggu sudah ga tahan.

Tapi yah... karena satu dan lain hal (terutama rasa malas), akhirnya jadi juga hiatus 1 tahun.

Saya pikir ga masalah juga, toh yang bacanya juga tidak banyak. Dan sepertinya, yang dulu suka pada baca juga sudah lupa dengan blog ini :))
(berharap ada komentar yang menyangkal pernyataan ini)


Jadi...
Bismillah... mari kita mulai lagi.
Mungkin jangan yang berat-berat dulu.
Yang ringan-ringan saja.

keluhan misalnya.


Ini adalah sebuah kisah mengenai sebuah tempat makan. "Kafe" kalau kata anak gaul.
Ini tempat makan bukanlah tempat makan yang baru berdiri.
Sejak saya pertama datang ke ibukota ini juga tempat ini sudah ada.
Dan sejak tahun pertama itu pula, saya sudah berkunjung beberapa kali ke tempat ini.
Memang, niatnya biasanya bukan untuk makan dengan puas. Kebanyakan untuk berkumpul bersama teman-teman. Main, ngobrol, kerja, internet gratis, dan sebagainya.
Sederhana sebenarnya saya punya alasan. Mahal betul dia punya harga makanan.
Konon sewaktu dulu saya pertama di Jakarta, tidaklah mungkin dompet saya mengizinkan kaki saya melangkah masuk ke pintunya. Ya tapi sebulan sekali kalau sedang ada rezeki, bolehlah...

Letaknya di seputaran Cikini. Di daerah yang dulu kata supir-supir taxi yang sudah tua-tua itu adalah daerah bandar narkoba. "Banyak sudah yang tewas ditembak mati polisi", kata para supir taxi menakut-nakuti.
Tapi kini sudah berubah menjadi salah satu basis ormas Islam di Jakarta, yang sayangnya terkenal karena aksi lempar-lempar dan bakar-bakar.

Kembali pada cerita,
Ada dua kejadian dalam tempo kurang dari 1 bulan yang membuat saya enggan untuk ke tempat itu lagi.


Pertama, pertengahan Desember 2011.


Saya bersama seorang kawan yang berkaca mata dan berperut buncit. Mirip seperti saya. Hanya saja saya jauh lebih tampan, dan dia jauh lebih buncit.
saat itu, kami mencari tempat yang bisa untuk bekerja menatap laptop sampai malam, internet gratis, dan makan... tentunya.

Tidaklah saya makan siang di hari itu, sehingga ketika tiba di tempat itu pukul 8 malam, cacing-cacing dalam perut hanya punya 1 permintaan. Makan cepat!

Duduklah kami di tempat yang mengizinkan kami untuk merokok.

Paha-paha dari wanita-wanita muda yang kadang cantik kadang tidak berlalu lalang di depan kami (O ya, saya lupa, ini juga jadi alasan mengapa kami suka kesini, tapi tolong jangan disebarkan ke banyak orang, terima kasih).
Cacing-cacing di perut saya diam.
Tapi setelah kami terbiasa dengan pemandangan itu, mereka mulai bernyanyi lagi minta makan.

5 menit duduk. Tak ada yang datang menagih pesanan.
7 menit, saya tak tahan.
berjalanlah saya ke kasirnya, minta dilayani.

"sebentar mas", kata wanita muda di balik kasir.

5 menit...

"sebentar mas", kata dia kedua kalinya.

Tentunya ada hal yang menarik sekali di balik meja kasir itu, sehingga 3 orang pelayannya lebih memilih untuk bercengkrama disana dibanding mengasihani kami yang berwajah lapar ini.
Mungkin sudah jamak bagi mereka, kalau para pengunjung disana sebenarnya bukan orang lapar. Mereka tidak tahu, bahwa kami adalah pengecualian.

Pada akhirnya, datanglah juga seorang wanita muda membawa menu. Menanyakan "sudah pesan mas?".
Heranlah saya dibuatnya. Tentunya dia tahu kalau sedari tadi belum juga kami dilayani. Bagaimana mungkin kami sudah pesan?

Tanpa pikir panjang, soto betawi jadi pilihan saya, ditambah kopi panas.
Pikir saya, selain salah satu menu paling murah, apalah lamanya menuang soto kedalam mangkuk?

"Cepat ya mbak. Saya sudah lapar", kata saya.
kawan saya hanya pesan kopi. Tidak makan. Tentunya dia sedang berusaha mengurangi berat badannya, atau sekedar tidak ada uang. Entahlah mana yang benar.
Lalu kami mulai bekerja sembari menunggu pesanan kami datang. Diskusi dan mencari apa-apa yang sepertinya diperlukan di internet.

----

10 menit berlalu, kopi datang.

30 menit berlalu, soto tak kunjung kelihatan.

45 menit berlalu, habis sudah kesabaran.

Ada pelayan lain melintas, saya tanyakan apa nasib pesanan saya.

"Oh, belum datang ya mas? Sebentar saya tanyakan. Pesan apa tadi?"
"Soto betawi", kata saya singkat. Banyak kata akan menghabiskan banyak energi, sementara cadangan energi dari perut sudah hampir habis. Sedikit senyum masih saya paksakan, supaya tidak terkesan mengenaskan.


Entahlah saat itu dia benar tanya ke dapur atau tidak, tapi yang jelas tidak juga dia kembali ke meja kami untuk memberi kabar.


30 menit kemudian... hampir pingsan saya jadinya.
Kawan saya yang mungkin kasihan, panggil pelayan lagi.
"Sebentar mas, saya tanyakan."

5 menit kemudian, dia datang kembali...

"Maaf mas, soto betawinya habis. Mau pesan yang lain?"

Saya dan kawan saya saling berpandangan. Seolah tidak percaya dengan apa yang kami dengar.
Dan saya, dengan sifat kritis bawaan dari lahir, tak bisa menahan diri untuk bertanya...

"Kenapa tidak bilang dari tadi mbak? Ini saya sudah tunggu 1 jam lebih..."

"Loh? kan mas pesannya barusan bukan? 30 menit lalu?"
"Bagaimana mungkin? Coba tadi tanya mbak-mbak yang catat pesanan saya, saya pesan bersamaan dengan kopi ini (yang sekarang sudah dingin)"
Sebenarnya saat itu saya sedikit berbohong, karena pelayan yang pertama tanya pesanan saya itu sebenarnya tidak saya lihat mencatat. Tentu dia punya daya ingat yang bagus.

"Oh? Gitu ya pak? Sebentar coba saya tanyakan.." (Entah apa gunanya lagi dipertanyakan ke dapur kalau dia bilang itu makanan sudah habis).

1 menit kemudian, dia kembali.

"Benar mas, sudah habis. Maaf ya" (padahal waktu dia bilang sebelumnya juga tak ada saya mengira dia tidak mengatakan kebenaran).

"Yasudah mbak, begini saja... mbak tanyakan ke orang dapur itu, makanan berat apa yang sedang dia bikin sekarang. Jangan makanan ringan, ini saya sudah lapar berat. Nah, apapun yang sedang dia buat itu, kalau sudah jadi, kasihkan pada saya. Nanti untuk yang pesan itu makanan dibuatkan saja lagi. Tolong ya mbak, kecuali mbak ingin ada orang pingsan di tempat ini dan besok masuk koran."

Si mbak nampaknya bingung dengan arahan yang saya berikan.

"Jadi... mas pesan apa?"
"Ya apapun yang sekarang sedang dibuat"
"Oh... ok mas".
"Cepet lho mbak. Mas ini kalau sudah lapar bawaannya bisa bakar-bakar", kata kawan saya berusaha meyakinkan sambil sedikit mengancam.

10 menit kemudian, datanglah seporsi makanan yang nampaknya bernama nasi bakar. Ukurannya sepinggan kecil saja.
Tidak mengenyangkan, tapi setidaknya bisa hilang lapar.

Selesai pekerjaan, selesai makan, rokok dinyalakan lagi. Lalu melangkah pulang.
Mengenai harga... yah... sudahlah, tak perlu kita bahas. Yang jelas saya pergi dengan muka masam.


Kejadian kedua... Akhir Desember 2011.


Kali ini seorang diri saya datang. Pukul 8 malam.
Saya meyakinkan diri saya, kejadian yang saya alami sebelumnya itu, mungkin sekedar nasib sial saja. Mana mungkin itu tempat bisa berdiri sedemikian lama kalau kejadian serupa terjadi berulang kali pada banyak orang, bukan?


Kembali saya duduk di tempat yang mengizinkan merokok.
Kali ini tidak ada paha bertebaran.
Meski beberapa wanita cantik tetap ada.
Sudahlah, saya lapar. Mari pesan makanan.

5 menit duduk, laptop sudah menyala. Tidak ada yang datang menagih pesanan.
de ja vu?

Saya datang ke kasir, dimana 3 orang pelayan sedang bercengkrama.
"Mbak, boleh pesan?" Kata saya sambil tersenyum.
"Ya, sebentar mas." Jawabnya.

Datanglah seorang pelayan membawa menu. Bersiaplah saya menyambutnya.

Ternyata salah, karena dia mendatangi meja sebelah.

"aaah...", pikir saya, "tentunya mereka ini sudah lebih lama datang dibanding saya, tapi belum pesan juga..."

5 menit kemudian, saya kembali ke kasir.
"Mbak, bisa pesan?"
Kali ini saya tidak mau tertipu lagi. Saya tunggu itu di kasir sampai ada pelayan yang pegang menu, baru kemudian kami sama-sama ke meja saya.

"Soto betawi mbak, sama cappucino panas 1"
de ja vu?

"ya mas", katanya. Tanpa mencatat. Tentu dia juga daya ingatnya bagus.

5 menit berselang.

Datang lagi pelayan itu.

"Mas, nasinya habis tuh. kalau dibikin dulu, kata dapurnya lama"

Dalam saya punya pikiran, tidak sah sebuah tempat makan di Indonesia kalau tidak punya nasi putih. Jadi saya pikir kalaupun habis, tentu itu dapur sekarang sedang masak nasi, karena tidak mungkin juga pelanggan makan masih dalam bentuk beras.

"Berapa lama masaknya?", tanya saya.
"Wah, gatau tuh mas, kayanya lama...", jawabnya.

Sepengalaman saya dalam memasak nasi, biasanya tidak lebih dari 1 jam.

Entah kenapa, si mbak pelayan ini punya mata melihat kemana-mana, tidak fokus pada saya. Mungkin dia sedang pikirkan kekasihnya yang entah dimana, atau menahan diri ingin ke kamar kecil. Entahlah.

"Yasudah, ditunggu deh", jawab saya, karena apalah artinya soto betawi tanpa nasi, bukan?

"Oh, oke mas" kata si pelayan, tanpa mencatat, tanpa melihat, lalu pergi ke dapur, entah apa yang dia katakan pada orang dapur.


Sambil menunggu dan bekerja, rokok dinyalakan.

5 menit kemudian, kopinya datang.

15 menit kemudian, rokoknya habis.

15 menit kemudian, sotonya datang seorang diri, tanpa ditemani nasi.

"Aaah, sudah 35 menit, tentu 25 menit lagi si nasi datang", pikir saya.

25 menit kemudian, perut sudah tidak tahan.


Melintaslah seorang pelayan pria.

"Mas, boleh tanya, itu nasi putih sudah matang belum ya?"

Meliriklah dia pada semangkuk soto betawi yang belum saya jamah. Mungkin dia berpikir "apalah artinya soto betawi tanpa nasi?", dan dia segera mengerti.
"Sebentar mas, saya tanya dulu".

Pergilah dia ke dapur.

Kembali dia dari dapur.


"Mas, emang mas tadi pesan nasi putih? Kata orang dapurnya mas pesan soto saja tanpa nasi..."
Ada keraguan dalam mata sang pelayan pria, karena tentunya dia pun merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri.

"Lha? Tadi katanya kan dimasak dulu? Jadi saya bilang yasudah saya tunggu. Memangnya dapurnya masak nasi hanya untuk saya?"

"Oh? gitu ya mas? sebentar ya..."

Dia pergi.
Sepertinya itu pelayan yang agak senior. Mungkin tingkat manajer, karena saya lihat dia bertanya ke pelayan wanita yang tadi mengambil pesanan saya. Sepertinya agak dimarahi juga. Saya jadi agak kasihan pada pelayan wanita itu. "Agak".


Datanglah si pelayan wanita itu.

"Maaf mas, saya kira tadi tidak pakai nasi."
"Jadi nasinya tidak sedang dibikin?"
"Nggak mas. Kalau sekarang dipesan juga tentu masih lama sekali jadinya. Belum tentu dapurnya bikin juga."

Sejujurnya... itu adalah ucapan teraneh yang pernah saya dengar di sebuah rumah makan. Ini nasi putih, demi Tuhan. Nasi putih !!!
Apakah memakan waktu 2 minggu untuk memasak nasi putih sehingga dia harus bilang "lama sekali"?? Kalaupun dia bilang 1 jam, saya akan lebih bisa menerima.


"Yasudah..." Saya berkata dengan masih berusaha sedikit tersenyum.
Saya menggunakan seluruh kebijaksanaan dan kecerdasan saya, lalu berkata: "boleh minta tolong?"
"Apa tuh mas?"
"Boleh minta tolong siapa gitu belikan nasi diluar? Ada warung di dekat sana, atau rumah makan lain di sebelah kan? Tolong beli 1 porsi, bungkus, lalu saya pinjam piring dan saya makan disini."

Solusi cerdas bukan?

lalu..

"Aduh... gimana ya mas... kami cuma bertiga, kalau blablabla aa ii uu oo dst dst"

Saya membuat isyarat dengan tangan, memotong omongannya, menahan emosi. Sedikit tersenyum.

"Tolong bungkus saja itu soto."

"Gimana mas?"

"B-U-NG = Bung, K-U-S = Kus. Bungkus. Ada plastiknya? Atau habis juga itu plastik?"

"Oh, plastik ada mas." (jawaban datar, padahal sebenarnya pertanyaan saya itu lebih berupa sindiran yang tidak mengharapkan jawaban).

Dibawanya itu soto.

Saya nyalakan rokok lagi.
Kembali bekerja sambil menghabiskan kopi yang sudah dingin.

15 menit kemudian, saya bereskan laptop, ambil bungkusan soto, lalu ke kasir.

Rp. 69.300,00, untuk kapucino dan soto betawi tanpa emping dan tak bernasi.

Mau mengeluh tapi nanti malah dibilang sebagai orang pemarah yang tidak punya uang.

Jaga gengsi, saya kasih 70 ribu. Tidak tunggu kembalian.

Pergi dengan muka masam.


Saya tidak akan kesana lagi...


Dalam perjalanan pulang, saya mampir di Warteg yang masih buka. Beli nasi putih dibungkus. 2 ribu rupiah.
Saya makan soto dingin di rumah.
Setidaknya rasanya lumayan.
Bukan yang terenak yang pernah saya makan, tapi masih bisa mencapai standar.



NB: Nama tempat tidak saya tulis, karena khawatir kena pasal pencemaran nama baik dan dituntut di pengadilan. Mohon jangan ditanyakan, saya tidak akan menjawab.