Thursday, September 24, 2009

Seputar Lebaran


Assalamu'alaikum wr. wb.

"Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum.
Selamat hari raya iedul fitri 1430 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga kita menjadi ummat yang semakin bisa mencintai Allah."

.....

Tadinya, saya mau mengakhiri postingan selamat lebaran ini sampai disini saja.
Tapi mengingat sudah cukup lama juga saya tidak posting di blog ini, mungkin ada baiknya diperpanjang sedikit ya... =D

Sama seperti tahun lalu, ucapan selamat lebaran di atas menjadi template sms lebaran saya untuk semua teman, keluarga, maupun kolega. Ada beberapa alasan mengapa saya tidak mengganti sms lebaran saya tahun, dan masih menggunakannya tahun ini.

  1. Pertama, karena memang setiap tahun yang diucapkan ketika lebaran ya itu.
  2. Kedua, untuk saya isinya sudah cukup mencakup semua yang mau saya katakan.
  3. Ketiga, karena saya tidak terlalu suka sms-sms lebaran yang isinya penuh puisi, syair, maupun pantun-pantun yang untuk saya lebih bernada basa-basi dan lebih mementingkan rima tapi kadang malah tidak sampai pokok pentingnya.
  4. Keempat, karena jumlah karakter dalam template saya itu (ditambah 4 huruf nama saya, supaya yang dikirim tau kalau itu dari saya), persis tepat untuk 1 lembar sms, jadi lumayan berhemat daripada panjang sampai berlembar-lembar. Maklum, untuk dikirim ke banyak orang.
  5. Kelima, ya karena saya malas bikin template baru.

Tapi sama juga seperti tahun lalu, beberapa orang yang saya kirim sms tersebut nampaknya cukup tergelitik untuk mempertanyakan baris terakhir sms saya itu, yang berbunyi "Semoga kita menjadi ummat yang semakin bisa mencintai Allah".

Dasar pertanyaannya sebenarnya cukup sederhana, yaitu karena lebih banyak do'a yang bunyinya itu sebaliknya. Misalnya, minta dirahmati dan diberkati oleh Allah, dan do'a untuk minta Allah mencintai kita, dan dilanjutkan dengan permohonan-permohonan lain.
Tapi jawaban saya juga sederhana. Kita mungkin memang sudah tidak perlu lagi meragukan cinta Allah ke kita. Ya oke, mungkin kadang kita lupa atau kita ragu. Tapi dengan begitu banyak yang telah diberikanNya, kadang agak canggung untuk meminta Allah mencintai kita. Sepertinya yang lebih sering kita lupakan adalah... apakah kita sudah cukup membalas cinta itu? Apakah kita sudah mencintai Allah?

Ya tentunya memang tidak mungkin bagi kita untuk bisa memberi balasan cinta yang setimpal pada Allah. Makanya saya cuma doakan semoga kita bisa semakin (dalam pengertian lebih dari sebelumnya) mencintai Allah. Ini tak lebih dari sekedar mengingatkan diri sendiri juga sebenarnya. Toh walaupun saya bicara begini juga pada kenyataannya saya masih begitu jauh dari kata "baik" =p

....


Selain itu, ada beberapa hal lain yang mungkin perlu diketahui (bagi yang belum) dalam konteks lebaran. Sekedar memberi informasi. Penyikapannya mau bagaimana, terserah para pembaca yang budiman saja.


....

Ucapan "Minal 'Aidin wal Faizin"
Ucapan ini sering diucapkan ketika lebaran di Indonesia, dan sangat sering sekali (perhatikan: sangat sering sekali) dirangkaikan dengan ucapan "mohon maaf lahir dan batin". Bahkan banyak lagu lebaran yang merangkaikan kedua kalimat ini. Akibatnya, banyak yang menyangka bahwa kedua kalimat itu artinya sama, atau bahwa "mohon maaf lahir dan batin" itu merupakan terjemahan dari "minal 'aidin wal faizin".

Sekedar informasi, ungkapan "minal 'aidin wal faizin" hanya dikenal di Indonesia (hebat kaaan?) dan konon tidak dikenal di budaya negara-negara Islam lain. Bahkan tidak ada juga dalam kamus bahasa arab, kecuali kata per kata. Ucapan ini bukan hadits dan tidak bersumber pada Rasulullah SAW. Bahkan... tidak diketahui darimana sumbernya. Meski begitu, sebenarnya sah-sah saja untuk setiap kelompok masyarakat (atau bangsa atau negara) untuk menciptakan ungkapan-ungkapan selamatnya sendiri. Jadi ya silakan saja kalau mau dipakai. Tapi mungkin lebih baik juga kalau tau sedikit artinya.

Saya memang bukan ahli bahasa arab. Bahkan, saya tidak bisa berbahasa arab dan mengaji pun masih terbata-bata. Jadi silakan yang lebih tau, bisa mengkoreksi. Tapi berdasarkan beberapa referensi (buku-buku, tanya teman, tanya ustadz, majalah, blog orang, tivi, dll.), ungkapan minal 'aidin wal faizin artinya sama sekali bukan mohon maaf lahir dan batin. Secara ringkas, "al 'Aid" artinya kira-kira "orang-orang yang kembali", dan "al faiz" artinya kira-kira "orang-orang yang meraih kemenangan/berhasil". Jadi "min al 'aidin wa al faizin" atau "minal 'aidin wal faizin" kira-kira artinya "dari golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang meraih kemenangan". Kalau dalam konteks do'a atau ucapan selamat, mungkin kira-kira artinya "semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (pada agama) dan orang-orang yang meraih kemenangan (dalam melawan hawa nafsu ??)".

Nah, semenjak beberapa tahun lalu setelah saya tau arti ucapan ini, maka setiap lebaran kalau mau minta maaf ke orang lain saya biasanya langsung saja mengucapkan pakai bahasa Indonesia "mohon maaf lahir dan batin", daripada pakai bahasa arab tapi artinya beda. Atau gabungkan keduanya sekaligus. Yang kemudian menggelitik adalah kalau ada yang ketika salaman sekedar berucap "minal 'aidin yaaaa" (sambil senyum). Mungkin maksudnya supaya singkat dan berkesan akrab, dan karena mengira artinya adalah "mohon maaf yaaaa". Padahal beda.

Tapi tentu akan ada juga yang bilang "yang penting maksudnya di hati itulah". Ya terserah kalau begitu. Ini sekedar memberi informasi saja.


.....

Ucapan "Taqabbalallahu Minna wa Minkum"
Ucapan ini saya belum jelas statusnya apa. Ada yang bilang hadits, tapi nampaknya sanadnya sendiri masih ada perdebatan. Ada beberapa yang menyebutkan bahwa ini adalah hadits, diucapkan Rasulullah SAW dan dijawab oleh para sahabat dengan "shiyaamanaa wa shiyaamakum".

Meski begitu, Al-Baihaqi adalah salah satu ulama yang menyebutkan bahwa hadits ini dhaif. Sebagai gantinya beliau menuliskan sebuah riwayat yang bukan hadits dari Rasulullah SAW, melainkan hanya riwayat yang menjelaskan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendiamkan ungkapan tersebut. Bahwa Adham maula Umar bin Abdil Aziz berkata,”Dahulu kami mengucapkan kepada Umar bin Abdil Aziz pada hari ‘Ied, “taqabbalallahu minaa wa minka, ya amiral mukminin”, maka beliau pun menjawabnya dan tidak mengingkarinya. (Lihat As-Sunan Al-Kubra, oleh Al-Baihaqi jilid 3 halaman 319). Ini saya ambil dari salah satu rubrik konsultasi di eramuslim.com yang diasuh oleh Ahmad Sarwat, Lc pada tanggal 11-11-2005.

Meski begitu, ustadz Ahmad Sarwat Lc ini juga lebih lanjut menjelaskan bahwa meski sebuah hadits itu dianggap dha’if, tapi selama tidak sampai tingkat kedhaifan yang parah, masih bisa dijadikan landasan amal dalam hal-hal yang bersifat keutamaan. Maksudnya, meski dha’if tetapi tidak palsu, jadi hanya lemah periwayatannya tetapi tetap hadits juga. Dan jumhur ulama pada umumnya bisa menerima hadits dha’if asal tidak terlalu parah, paling tidak untuk sekedar menjadi penyemangat dalam keutamaan amal-amal (fadhailul a’mal).

Oh iya lupa. Artinya apa? "Taqabbalallahu minaa wa minkum" kira-kira artinya “Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda semua”. Adapun tambahan ucapan "shiyaamanaa wa shiyaamakum" kira-kira artinya "shaum (puasa) ku dan Anda". Jadi kalau dua kalimat itu digabungkan, kira-kira artinya "Semoga Allah SWT menerima amalan ibadah kita semua, dan demikian juga menerima puasa kita (di bulan Ramadhan)"

Untuk saya pribadi, karena setidaknya ungkapan ini lebih jelas riwayatnya pada Rasulullah SAW dibanding "minal 'aidin wal faidzin", maka saya biasanya lebih memilih untuk mengucapkan ungkapan ini ketika lebaran. Biasanya kemudian saya tambahkan juga ucapan "mohon maaf lahir dan batin", karena memang saya mau minta maaf juga selain mendoakan si orang yang sedang bersalaman dengan saya itu.

Bisa saja kita gabung ketiga-tiganya: taqabbalallahu minna wa minkum, minal 'aidin wal faizin, dan mohon maaf lahir dan batin. Tapi tentunya ini kepanjangan dan melelahkan =D


.....

Halal bi Halal
Nah! Ini satu lagi budaya yang hanya dikenal oleh komunitas muslim Indonesia. Budaya ini cukup baik sebenarnya, karena bisa mempererat silaturahim.

Ketika lebaran kemarin saya ga sengaja nonton (di Metro TV gitu?) Pak Quraish Shihab membahas ini. Beliau juga mengaku heran dengan budaya halal bi halal ini, karena tidak menemukannya di negara-negara lain. Apalagi dilihat dari namanya, beliau lebih keheranan lagi. "Halal bi halal" kira-kira berarti "halal dan halal". Ini maksudnya apa?

Pak Quraish Shihab kemudian memberi penjelasan yang cukup cantik. "halal" dalam bahasa Indonesia bisa berarti "boleh, lapang, lega". Jadi halal bi halal mungkin bisa diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan hati kita lapang atau lega, sehingga bisa mempererat kembali tali silaturahim. Ya "pembenaran" ini bisa cukup mendekati untuk event halal bi halal yang biasa kita kenal sepertinya (bisa aja bapak yang satu ini... =p).
Tapi karena tidak jelas juga siapa pencipta istilah halal bi halal ini, dan darimana asalnya, tentu penjelasan tadi tidak bisa dikonfirmasi juga kebenarannya apakah memang seperti itu. Yah, kita anggap saja memang begitu.


......

Menyikapi Idul Fitri
Saya sejak dulu sering merasa heran akan kontradiksi ini. Di satu sisi, banyak hadits yang menyebutkan bahwa kita harus bergembira ketika menjelang Ramadhan dan betapa sedihnya Rasulullah SAW ketika Ramadhan akan meninggalkan kita, karena kita tidak tau apakah tahun depan akan berjumpa dengan Ramadhan lagi atau tidak, dan karena banyaknya keutamaan saat bulan Ramadhan.

Akan tetapi, kenapa ketika lebaran seolah diisi dengan kegembiraan semata? Bukankah lebaran itu berarti berakhirnya Ramadhan dan awal bulan syawal? Sedihnya itu ditaruh dimana? Apalagi kalau lihat acara-acara di televisi waktu lebaran dan budaya borong memborong belanjaan menjelang lebaran. Sepertinya semua jadi agak terlalu berlebihan gembiranya. Karena berlebihan jadi lupa dengan yang harusnya disedihkan.

Ya baiklah kalau kita bisa berbahagia karena bisa kembali bersilaturahim dengan keluarga, saling maaf memaafkan dan kembali berhubungan baik dengan semua orang. Juga berbahagia karena telah melalui satu periode pelatihan di bulan Ramadhan.

Tapi tentu kita juga perlu berpikir bahwa "perang" belum usai. Bahkan baru dimulai, karena Ramadhan adalah masa latihannya. Juga belum tentu kita sudah meraih "kemenangan", karena Allah SWT yang menentukan apakah puasa kita itu baik atau tidak, diterima atau tidak.

Agak kontradiktif buat saya. Ya mungkin juga karena saya sekedar merasa ada sesuatu yang berlebihan dirayakannya saja sepertinya.

Entahlah.


....

Demikian beberapa hal yang ingin saya bagi. Kalau ada salah-salah, tentu itu dari saya. Yang benar dari Allah SWT. Wallahu a'lam bish-showab.


Selamat lebaran semua :)



NB: Sumber gambar dari (maaf ga ijin) http://bits.comlabs.itb.ac.id