Wednesday, January 23, 2008

Hukum Ketertarikan?


Sekitar 3 bulan yang lalu... tepatnya setelah akhir bulan Ramadhan tahun lalu, dalam keadaan setengah depresi dan setengah berharap ada mobil yang menabrak saya saat itu, saya main ke toko buku. Waktu itu hari Jum’at, dan setelah sholat Jum’at saya sedang malas pulang. Berlama-lama di Mesjid kemudian juga tidak terlalu nyaman karena ramainya orang berjualan di pelataran Mesjid membuat saya pusing. Alhasil, toko buku di seberang Mesjid menjadi pelarian.

Dalam keadaan kalut seperti itu, apalagi setelah sholat dan menumpahkan apa-apa yang ada dalam pikiran kita, pergi ke toko buku memang menyenangkan. Sedikit banyak, Anda bisa berharap langsung menemukan jawaban yang anda cari dalam doa-doa Anda itu di toko buku. Naif memang. Berharap terlalu banyak? Yaaaaah, bisa saja. Tapi toh tidak ada ruginya kan?

Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Di toko buku itu ternyata sedang promosi besar-besaran buku “The Secret” karya Rhonda Byrne. Buku ini sebenarnya sejak lama sudah direkomendasikan oleh seorang teman untuk saya baca. Tapi, sejujurnya, saya tidak terlalu menyenangi buku-buku semacam ini. Maksud saya, buku yang mengatakan kita harus begini begitu, tidak boleh begitu begini, kalau bisa harus begene begono.
Yah, tapi dasar orang lagi linglung. Akhirnya saya ambil juga satu buku kecil yang mahal itu. Baca-baca sinopsisnya sebentar, ternyata tentang hukum ketertarikan (law of attraction). “Bukan barang baru”, pikir saya, mengingat hukum alam yang satu ini sudah sering saya dengar dari (what so called) pepatah-pepatah bijak di berbagai buku. Tapi harus diakui, menjadikan sesuatu yang tidak baru menjadi sesuatu yang diburu banyak orang saat ini tentu bukan perkara mudah. Tentu ada sesuatu yang istimewa di buku ini. Entah penyajiannya, entah cara penulisnya meyakinkan pembaca, entah strategi pemasarannya, entah apa. Toh, akhirnya dibeli juga. Apalagi, meskipun hukum ketertarikan bukan sebuah barang baru, sebenarnya pertanyaannya adalah apakah hukum itu sudah pernah dipergunakan sebelumnya. Begitu bukan?
Satu hal lagi yang menarik di toko buku itu adalah.... mendadak buku yang bercerita tentang hukum ketertarikan seperti itu jadi sangat banyak. Dengan berbagai judul. Lucu juga. Ada judul “Mestakung (Semesta Mendukung)” dari Yohanes Surya, ada judul “Hukum Ketertarikan” yang entah karangan siapa, dan macam-macam judul lain. Wajar sepertinya kalau ada buku yang laris manis lantas banyak yang niru temanya ya? Masih ingat fenomena novel “Ayat-Ayat Cinta” dulu? Karena laku keras bak kacang goreng, tiba-tiba novel-novel dengan tema yang dimirip-miripkan mendadak muncul. Bukan cuma temanya. Bahkan nama pengarangnya dibuat mirip. Covernya juga. Setting bukunya juga. Pokonya semua harus serba mirip. Maka jadilah, fenomena “cerita cinta utopis yang tokoh-tokohnya soleh tetapi ceritanya sebenarnya sama saja dengan AADC” langsung mewabah.

Kembali pada buku The Secret yang saya beli tadi. Jadi ada 2 faktor yang menyebabkan buku itu hampir tak bisa lepas dari buku saya selama beberapa hari. Pertama, ternyata cara penyajian dan cara penulisannya memang menarik. Si penulis mampu menyerap berbagai sumber dan menyajikannya sebagai satu kesatuan yang mendukung tema utama. Menarik. Yang kedua, sejujurnya, waktu itu saya memang tidak punya pilihan lain (masih inget soal keputus-asaan yang melatarbelakangi pembelian buku ini kan?).
Inti yang dibicarakan sebenarnya sederhana saja. Untuk meraih sesuatu, Anda harus meyakini sesuatu itu akan terjadi. Disinilah pentingnya kemudian mengatur apa yang ada dalam pikiran Anda, karena pikiran Anda adalah magnet bagi semesta. Dengan kata lain, apa yang Anda pikirkan, akan Anda yakini. Dan apa yang Anda yakini, itulah yang akan terjadi. Alam semesta akan mewujudkannya untuk Anda. Tapi hati-hati, ini berlaku untuk hal-hal yang (menurut Anda) baik, maupun buruk. Jadi, baik atau buruknya hal yang menimpa Anda, konon katanya, itu karena Anda sendirilah yang menariknya. Buku ini kemudian mengajak Anda untuk selalu berpikir positif. Bukan apa-apa, sekedar supaya yang mengikutinya dalam kehidupan Anda juga hal-hal yang positif.
Sekarang, apakah itu terjadi untuk segala hal?
Bagaimana lantas kita memasukkan “Kehendak Tuhan” misalnya, kalau hukum ketertarikan itu memang benar?
Yang menarik, setelah bertanya seperti itu, yang terngiang dalam telinga saya justru adalah perkataan “Aku adalah seperti persangkaan hamba-hambaKu”. Makanya kita harus selalu berprasangka baik pada Tuhan. Eh, begitu bukan? Hmmmm.... sepertinya saya tidak akan terlalu memperpanjang yang satu ini. Silakan para pembaca berkelana sendiri-sendiri untuk mencari pemahaman yang sesuai untuk Anda =)
Yah, meski begitu, bukan Awan namanya kalau tidak skeptik (skeptis kok bangga?=p). Muncul niatan saya untuk menguji hukum ini. Sekali lagi, sepertinya tidak ada ruginya.

Kebetulan pada waktu itu, saya sedang kehilangan sebuah buku. Sudah dicari-cari di rumah tidak ada. Di tas juga. Di kantor apalagi. Buku itu kecil, berwarna ungu, seharga 5000 rupiah yang saya beli pada pertengahan bulan Ramadhan. Sebenarnya kalau saya beli lagi juga tidak masalah. Tapi, namanya juga nyoba...
Saya niatkan, saya gambarkan buku itu dalam pikiran saya, saya yakini bahwa buku itu akan saya temukan kembali suatu saat nanti. Saya tuliskan bahwa buku itu akan saya temukan. Dan dalam kepala saya, saya anggap buku itu tidak pernah hilang. Anda tahu apa yang terjadi beberapa hari setelahnya?
Yap! Benar! Buku itu tidak saya temukan. Beberapa minggu setelahnya? Masih juga belum ketemu. Oke, pikir saya, mari kita lupakan dan biarkan saja akan ketemu kapan. Tapi tetap saya yakin, buku itu akan saya temukan, suatu saat nanti.

Beberapa minggu setelah membeli buku itu, sebuah peristiwa kembali mengingatkan saya akan hukum ketertarikan. Waktu itu hari Sabtu, saya sedang mengendarai motor di Bandung. Di daerah Pasteur, saya menyaksikan sebuah kecelakaan tepat di depan mata saya. Seorang wanita yang sedang mengendarai motor tertabrak oleh truk yang sedang melintas kencang, tepat di depan saya. Saya bersama seorang pengendara motor lainnya langsung berhenti dan menggotong wanita itu ke pinggir jalan, dibantu oleh seorang polisi. Kelanjutannya saya tidak tahu karena wanita itu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat dalam keadaan pingsan.
Bukan apa-apa, tapi ekspresi shock wanita tadi terus membayang di pikiran saya ketika itu. Hingga beberapa waktu, sy kerap merasa khawatir kalau kejadian seperti itu menimpa orang-orang yang saya sayangi. Apalagi pada sore harinya, saya ketahui kalau ternyata seorang tetangga kosan saya yang sering membantu-bantu kami di kosan juga baru saja kecelakaan motor bersama suaminya ketika akan pulang ke Bandung dari Garut.
Hari Seninnya, ketika saya sudah di Jakarta lagi, saya baru mengetahui kalau pada hari Minggu seorang teman kantor saya juga kecelakaan motor. Dia jatuh karena ngebut di waktu hujan dan jalannya licin. Tak ayal, kejadian tabrakan dan kecelakaan motor menjadi bahan pikiran saya terus menerus, dan menjadi bahan obrolan bersama teman-teman.

Pada hari Selasa sore, saya berjalan bersama seorang teman menuju kantor. Bahan obrolannya, masih seputar kecelakaan motor juga. Kemudian, tepat ketika menyeberang jalan pada pertigaan terakhir sebelum sampai di kantor, dan kami baru selesai ngobrol, tiba-tiba sebuah motor berbelok dengan kecepatan agak tinggi. Waktu itu gerimis dan jalan agak licin. Kebetulan teman saya berada di sebelah kiri saya, sementara motor datang dari arah kanan. Selama sepersekian detik saya melihat motor itu oleng berusaha menghindari kami. Dalam sepersekian detik itu juga saya tahu motor itu tidak akan berhasil. Teman saya sempat menghindar, tetapi motor itu terlalu dekat dengan saya. Motor itu jatuh, lalu menabrak saya.
Yap, benar sekali saudara pembaca sekalian. Akhirnya saya tertabrak motor. Alhamdulillah saya baik-baik saja. Tapi kasihan juga si pengendara motor itu, langsung dimarahi oleh seorang petugas yang kebetulan berada di dekat situ. Pasalnya, kami menyeberang di zebra-cross, dan ketika itu si motor memang berbelok dengan cepat. Kurang hati-hati.
Beberapa saat kemudian saya baru menyadari... menarik juga hukum ketertarikan ini.

Tapi yah, bisa jadi hal ini tidak berlaku untuk semua hal. Atau sebenarnya berlaku tapi kitanya yang kurang sabar.
Pada pertengahan bulan Desember, saya ingat ketika itu saya kembali sedang dilanda kebingungan dan kekalutan. Masalah pekerjaan, masalah impian, cita-cita, dan sebagainya.
Pada saat itu, seorang kerabat jauh datang berkunjung. Sebenarnya masih terhitung paman saya, tapi silsilah keluarganya agak jauh. Karena sedang tidak bersemangat, saya lebih memilih untuk berada di kamar dan membiarkan paman saya itu mengobrol dengan kakak dan ibu saya.
Tidak saya sangka, setelah sholat Maghrib, paman saya itu datang ke kamar saya, dan melihat-lihat tumpukan buku-buku saya. Setelah meminta izin meminjam sebuah buku, paman saya itu mengambil sebuah buku lain yang tidak pernah saya baca lagi. Sebenarnya buku itu sangat menarik, akan tetapi tulisannya yang kecil-kecil dan ukuran bukunya yang besar serta sangat tebal membuat saya jiper untuk menamatkannya.
Paman saya mendekati saya, mengobrol, sambil membuka-buka buku itu. Kemudian, tanpa saya sangka, paman saya itu tiba-tiba berkata bahwa ada sesuatu yang terselip pada buku itu. Ketika kami buka, ternyata yang terselip adalah... sebuah buku kecil berwarna ungu yang saya beli dengan harga 5000 rupiah pada bulan Ramadhan. Ya! Buku itu akhirnya kembali pada saya. Dan selama ini ternyata ada di kamar saya sendiri. Seperti tidak pernah hilang.

Ya, bukan berarti bahwa buku tersebut kembali karena hukum ketertarikan. Tapi memang menarik bahwa kedua kasus itu berbeda dalam hal waktu dan intensitas. Kasus kecelakaan motor terjadi dalam jangka waktu yang cepat setelah terus menerus berada dalam pikiran saya. Kasus penemuan kembali buku ungu tadi malah sebaliknya, terjadi setelah lebih dari dua bulan dan sejujurnya sudah tidak pernah saya pikirkan lagi. Bahkan sudah saya ikhlaskan kalau memang hilang.
Bagaimana menurut Anda?

Untuk saya sendiri, sebenarnya cukup banyak kasus keinginan yang berujung kekecewaan dalam hampir 26 tahun hidup saya ini, dan lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa hukum ketertarikan itu mungkin tidak selamanya berlaku. Akan tetapi, kalau dipikir lagi, cukup banyak juga kasus keinginan yang berujung kegembiraan untuk membuktikan bahwa kita bisa meraih sesuatu kalau kita yakini itu. Tentu saja, akan menjadi konyol apabila kita hanya mengharapkan suatu mimpi bisa terwujud tanpa kita sendiri mengusahakannya. Meski terkadang, ada kondisi-kondisi yang sedemikian kompleksnya hingga membuat pilihan kita satu-satunya memang hanya pasrah padaNya.
Yang jelas, dua kasus yang saya alami tadi tetap akan terlalu absurd untuk dijadikan patokan apakah suatu hukum itu relevan atau tidak. Akan tetapi, keduanya terjadi pada saat saya sedang jatuh. Cukup untuk seolah mendengar Tuhan sedang berkata pada saya bahwa... dalam kondisi apapun, selalu masih ada ruang untuk memiliki harapan.


Gambar diambil dari (maap ga ijin dulu): http://ebookee.com, www.spuggy.co.uk/images/monk-escape.jpg.

Monday, January 14, 2008

Film Cinta

Seorang teman pernah bertanya pada saya, film bertema cinta yang paling berkesan buat saya itu yang seperti apa. Pertanyaan yang menarik, mengingat begitu banyak film yang pernah saya tonton. Dan sepertinya banyak juga film bertema cinta yang saya tonton. Walaupun sebenarnya, saya tidak terlalu menyukai film-film dengan tema ini. Agak terlalu “biasa” buat saya. Saya memang tidak terlalu menyenangi film drama. Apalagi sinetron. Tapi, apa memang tidak ada yang menarik?

Kalau dipikir-pikir... ada juga sih beberapa film cinta yang sampai sekarang masih menjadi favorit.

Teringat film “Janji Jhoni” beberapa tahun lalu. Pada awal film itu, ada ucapan narator yang cukup menarik. Dia katakan, setiap orang pasti punya film favorit, dan kadang mengidentikkan kehidupan yang saat ini dijalaninya dengan sebuah film yang pernah ditontonnya. Misalnya, seseorang sedang jatuh cinta, lalu dia ingat film Titanic, dan mengidentikkan dirinya dengan tokoh Jack dalam film itu (walaupun saya yakin dia tidak membayangkan dirinya lantas mati tenggelam seperti Jack). Kadang juga seseorang mengidentikkan kisah hidupnya itu dengan sebuah lagu. Ya, bagaimanapun, itulah yang dia sebut dengan sebuah film yang “mengesankan” buat seseorang.

Sebenarnya kalau seseorang menyebutkan “film cinta”, yang kemudian terbayang di otak saya adalah film-film remaja-remaji semacam AADC, Apa Artinya Cinta, 30 Hari Mencari Cinta, Love is Cinta, You’ve Got Mail, My Best Friend’s Wedding, dan kawan-kawannya, yang membuat saya yakin bahwa TIDAK ADA film cinta yang saya cintai (paradoks yang menarik...). Bukan berarti bahwa film-film itu jelek (mmm... okelah, ada beberapa yang saya anggap BURUK). Hanya saja, agak terlalu “datar” buat saya.

Sewaktu dulu masih kuliah di Bandung, memang sempat saya dan teman-teman kos menggilai film “Love Actually”, dengan alasan yang tidak jelas sama-sekali. Mungkin karena bintang-bintangnya cantik-cantik. Bisa juga karena saya senang dengan OST-nya (lagu Dido yang judulnya “Here With Me”). Atau sekedar senang saja. Entahlah. Tapi buat ukuran kosan cowok, kami sepertinya agak sangat terlalu mellow saat itu. Beberapa dari kami bahkan memutar DVD-nya (bajakan) sampai lebih dari tiga kali, dan menitikkan air mata waktu adegan dimana lagunya Dido itu diputar. Cengeng? Kami tidak mau mengakuinya waktu itu. Sekarang? Kami tetap tidak mau mengakuinya.

Tapi memang, biasanya ada beberapa adegan yang paling meninggalkan kesan di hati kita dalam sebuah film. Dan beberapa adegan itu, bisa membuat kita menyukai satu film secara keseluruhan. Adegan dimana Mel Gibson berkata “We don’t have to win, we just have to fight them..” dalam film Braveheart misalnya, menjadi ucapan yang sangat berkesan buat saya (selain teriakan “FREEDOOOOOOOOOOM” di akhir hidup William Wallace tentunya).

Oke, kembali pada tujuan awal, tulisan ini tidak ditujukan untuk menuliskan daftar film-film favorit saya. Lebih spesifik, kali ini bertemakan film cinta. Jadi, sebelum melantur kemana-mana, mari kita kembali ke pertanyaan awal.

Sepanjang bisa diingat, sepertinya untuk kategori film cinta yang berkesan buat saya hanya ada dua judul (mohon maaf, karena dua-duanya film asing). Yang pertama itu City of Angels (Meg Ryan dan Nicholas Cage). Yang kedua adalah Butterfly Effect (Ashton Kutcher). Lucunya, dua-duanya adalah film yang bisa dibilang relatif tidak logis, dan banyak orang bilang bahwa kedua film ini (juga relatif) tidak punya “happy ending”. Mari kita lihat satu-persatu.


Sepertinya kawan-kawan semua sudah banyak yang pernah menonton film “City of Angels” ya? Ceritanya tentang seorang malaikat yang jatuh cinta dengan seorang wanita (manusia). Sesederhana itu konsepnya. Tapi tentu jadi ribet ceritanya kalau dua dunia begini kan? Tentu, ide ceritanya sendiri bisa dibilang tidak logis. Malaikat... jatuh cinta... dengan manusia... (yeah.. right!).

Meski begitu, ada beberapa filosofi yang menarik untuk dibahas (oke, mulai serius tulisannya kalo udah bicara FI-LO-SO-FI begini ya...). Singkat cerita, si malaikat (pria) jatuh cinta dengan seorang manusia (wanita). Si wanita balas mencintainya, meskipun dia merasa banyak keanehan dan misteri yang melingkupi si pria. Akhirnya, si pria mengatakan kalau dia adalah seorang malaikat. Si wanita kaget, ga percaya, sedih, marah blablabla. Tapi itu tidak mengubah apa-apa, karena mereka tetap saling mencintai (aaaaah.... so sweeeet....).

Kemudian, ada satu adegan dimana si wanita ngobrol dengan temannya si pria. Si teman ini kemudian mengatakan bahwa si pria memang benar-benar malaikat, dan sulit untuk menyatukan cinta mereka. Si wanita kemudian mengeluarkan satu pertanyaan filosofis... “Mengapa Tuhan mempertemukan kami kalau kami tidak bisa bersama?”. Pertanyaan itu kemudian memaksa si teman mengatakan bahwa sebenarnya ada satu cara supaya mereka bisa bersama, yaitu si malaikat bisa “mati” dan melepaskan keabadiannya untuk menjadi manusia. Dia tahu itu karena dulunya dia juga adalah seorang malaikat (oke, ceritanya mulai ga logis ya....).

Kemudian, si wanita membuat si pria benar-benar berniat untuk mewujudkan cinta itu. Singkat kata, si malaikat akhirnya “menjatuhkan” diri untuk melepaskan keabadiannya. Dia menjadi manusia, dan akhirnya bisa bersama si wanita. Mereka benar-benar merasakan kebahagiaan untuk satu hari. Apakah film berakhir? Tidak. Hari berikutnya, dengan kejadian yang betul-betul konyol (si wanita naik sepeda sambil lepas tangan), si wanita ketabrak truk dan tewas dalam pelukan si pria. Kebersamaan mereka hanya untuk sehari.

Menarik bukan ending-nya? Menjadi menarik karena kemudian pertanyaan filosofis si wanita tetap relevan sampai akhir film (“mengapa Tuhan mempertemukan kami dst dst.). Relevan, dan tetap tidak terjawab. Terlepas dari apakah ending seperti ini membahagiakan atau tidak, saya rasa untuk sebuah ungkapan cinta, film ini menarik.

Sementara OST-nya.... lagu “Angel” yang dinyanyikan Sarah Mclachlan dan lagu “Iris” yang dibawakan Goo Goo Dolls adalah dua lagu yang nampaknya akan menjadi favorit saya sepanjang masa. “In this sweet madness... Oh this glorious sadness... He brings me to my knees” dan “when everything’s meant to be broken, I just want you to know who I am...” adalah dua baris syair dari kedua lagu tersebut yang paling saya senangi.

Kadang saya pikir, film ini tetap punya satu kekurangan. Seandainya seseorang dihadapkan pada pilihan seperti yang dihadapi si pria, saya rasa mudah bagi seseorang mengorbankan sesuatu yang merupakan miliknya sendiri dan tidak merugikan orang lain. Keabadian misalnya. Itu miliknya, dan tidak ada yang dirugikan kalau dia melepasnya. Akan tetapi, bagaimana kalau pilihannya adalah dengan merugikan/menyakiti orang lain? Akan se-egois apakah seseorang demi cinta?


Film kedua, “Butterfly Effect”, sepertinya tidak terlalu banyak yang tau ya? Agak rumit untuk menceritakannya. Tapi saya coba deh. Narasi awal dari film ini mencoba merumuskan konsep “waktu”. Ada satu penelitian di AS sana yang menyebutkan bahwa segala sesuatu dalam satu dimensi waktu itu begitu teratur, sehingga bila ada yang mengubah keteraturan itu, meskipun sekecil getaran sayap kupu-kupu, akibatnya bisa berupa kekacauan yang sangat besar, sebesar badai topan di Atlantik. Ini yang kemudian disebut dengan teori butterfly effect dalam konsep time-traveling. Film ini sendiri memang kemudian sedikit banyak memang tentang perjalanan melintasi waktu.

Alkisah ada seorang anak lelaki dengan kelainan di otaknya. Dia kadang kehilangan kesadaran/ingatan, dan tidak tahu apa yang sudah dia lakukan. Singkat kata, ternyata pada masa-masa dia kehilangan kesadaran itu, pasti ada sesuatu yang buruk terjadi, yang tentu saja mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Sebagai bentuk terapi, dokter menyuruhnya membuat jurnal harian, supaya dia tahu apa saja yang telah dia lakukan dan tahu kapan tepatnya dia mengalami kehilangan kesadaran. Meskipun dia tidak akan ingat apa yang telah dia lakukan saat dia kehilangan kesadaran itu, minimal dia tahu waktunya.

Dalam perjalanannya, dia mencintai seorang gadis. Akan tetapi, karena rangkaian kejadian buruk yang sayangnya dia tidak ingat apa (karena saat kejadian-kejadian itu berlangsung, dia sedang kehilangan kesadaran), hidupnya kacau dan dia akhirnya harus berpisah dengan gadis yang dicintainya itu. Kemudian dia pergi pindah rumah dengan ibunya. Ketika dia akan pergi, si gadis mengejarnya. Dia hanya bisa menuliskan sebaris kalimat di secarik kertas untuk dibaca si gadis, dan menempelkannya di kaca mobil yang membawanya pergi.

Singkat cerita, tahun-tahun berlalu, si pria sudah tidak pernah kehilangan kesadaran lagi. Dokter telah mengobatinya. Dia juga hampir tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-teman masa kecilnya (termasuk si gadis yang dicintainya itu). Dia kuliah dan hidup dengan aman-tenteram-gembira-lancar.

Suatu ketika, dia membuka-buka jurnal lama yang berisikan cerita-cerita hidupnya ketika kecil. Termasuk waktu-waktu dimana dia kehilangan kesadaran. Kemudian, secara aneh dan tidak sengaja, dia kembali ke masa dimana dia kehilangan kesadaran. Dia melihat dan mengalami lagi semuanya. Kali ini dengan sadar. Kemudian kembali lagi ke masa sekarang, juga secara tidak sengaja.

Tidak yakin dengan apa yang terjadi, dia berusaha menghubungi teman-teman masa kecilnya. Ternyata, semua yang dia lihat dan rasakan/lakukan itu adalah kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampaunya. Akan tetapi, betapa sedihnya dia ketika melihat teman-teman masa kecilnya itu hidupnya telah kacau balau karena kejadian-kejadian buruk di masa lalu.

Dia teringat gadis yang dicintainya, lalu mencarinya. Ternyata hidup si gadis itu sama kacaunya. Sedikit banyak, si gadis marah karena si pria dulu meninggalkannya dan menyebabkan hidupnya kacau balau. Beberapa hari kemudian, si gadis bunuh diri karena depresi. Di pemakaman si gadis, pria itu kemudian melemparkan secarik kertas yang dulu dia tempelkan di kaca mobil ketika pergi meninggalkan si gadis (kata-kata dalam kertas itu, ga akan saya tuliskan di sini, tapi sekarang sering saya tuliskan dalam status YM saya... hehe, ga penting banget kan?)

Eniwey. Akhirnya si pria berusaha kembali ke masa lalu dengan cara yang sama ketika dia tidak sengaja membaca jurnal-jurnalnya. Dan dia bisa! Dia bisa kembali ke masa lalu, yaitu pada momen-momen dimana dia dulu kehilangan kesadaran. Hanya ada satu tujuan dalam pikirannya, untuk memperbaiki masa lalu, supaya kehidupan gadis yang dicintainya itu bisa baik di masa kini, dan mereka bisa kembali bersama (aaaah... so sweeeet... lagi....). Berhasilkah dia?

TIDAK! Dia berulang kali melompat ke masa lalu, pada berbagai momen. Akan tetapi, setiap dia kembali ke masa kini, ternyata yang ditemuinya justru adalah kekacauan yang lebih besar. Dia selalu gagal. Apa akhirnya yang dia lakukan?

Dia kembali ke masa pertama kali dia bertemu dengan si gadis, yaitu ketika mereka masih kecil. Masih TK. Dan dia mengatakan pada si gadis kalau dia membencinya, dan jangan sekali-sekali mendekati dirinya. Dia kembali ke masa kini, dan akhirnya mereka memang seperti tidak pernah saling kenal (lebih tepatnya, si gadis yang tidak pernah mengenal si pria, sementara si pria harus hidup dengan mengingat SEMUA yang telah dilaluinya). Sehingga ketika pada ending-nya mereka berpapasan di jalan, si wanita tidak mengenal si pria, sementara si pria memandang dengan sedih mengenang cinta mereka. Tapi toh, mereka berdua hidup dengan baik-lancar-sejahtera-dsb, meskipun hidup mereka tidak lagi saling bertautan.

Logiskah ceritanya? Happy ending-kah? Relatif. Tapi buat saya, tetap saja apa yang dilakukan si pria itu cukup mengesankan. Terlebih lagi, sebenarnya secara konsep/teori, memang ada konsep yang bisa memungkinkan kejadian seperti yang dilakukan oleh si pria itu. Anda pernah mendengar tentang “perjalanan astral”? Singkatnya, konsep astral ini adalah memisahkan kesadaran sukma kita dengan raga. Mirip seperti pengalaman mendekati kematian (Near Death Experience). Hanya saja ini dilakukan dengan sengaja. Jadi si kesadaran kita itu seperti bisa berjalan-jalan kemana-mana, bahkan melihat tubuh kita sendiri yang sedang kita “tinggalkan”. Konon katanya, secara konsep, dalam keadaan tertentu si kesadaran ini juga bisa melakukan perjalanan melintasi waktu. Apakah juga bisa merubah masa lalu? Entahlah... Tertarik untuk mencoba? Saya hanya menceritakan bahwa konsep itu ada. Bukan berarti itu mudah =)

Nah, itulah dia dua film cinta yang paling berkesan buat saya. Film cinta ya. Kalau film bertema lain, lebih banyak yang berkesan buat saya. Bagaimana dengan Anda?

Yang jelas, bukan berarti ending seperti inilah yang saya harapkan terjadi dalam kehidupan cinta saya =))



NB : Ini untukmu, satu-satunya yang pernah mendengar kata “cinta” dari mulut saya untuk manusia.