Thursday, May 24, 2007

Belum Pantas Berkata "Lelah"

Coldplay
"Fix You"

When you try your best but you don't succeed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can't sleep

Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone but it goes to waste

could it be worse?

Lights will guide you home

and ignite your bones

And I will try to fix

you High up above or down below

when you're too in love to let it go

but If you never try you'll never know

Just what your worth

Lights will guide you home

and ignite your bones

And I will try to fix you

Tears streaming down your face

When you lose something you cannot replace

Tears streaming down your face and I

Tears streaming down your face

I promise you I will learn from my mistakes Tears

stream down your face and I

Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you

(Lyrics taken from www.lyricsmania.com)

Aaah... lagu yang liriknya cukup menenangkan.

Dan lagu ini pula yang menandai pergantian judul blog ini dari “sebuah pencarian akan makna” dengan tagline “sebuah tempat pencarian makna kehidupan, tak lebih selain untuk diri sendiri” menjadi salah satu penggalan liriknya. Yang saya pilih adalah “lights will guide you home”. Sebenarnya saya ingin mempertahankan taglinenya, tapi karena diprotes oleh saudari Warastuti terkait masalah hak cipta, maka saya diharuskan untuk memajang nama Coldplay berikut judul lagu tersebut. Tawaran saya untuk menempatkannya di sidebar ditolak mentah-mentah.

Kembali ke topik... (kalau memang postingan ini ada topiknya)

Apa yang terjadi di blog ini, tidak bisa dipungkiri, terkadang mencerminkan kondisi psikis penulisnya (dalam hal ini : ya saya). Apakah lantas hal ini berarti bahwa saya telah “berhenti” mencari makna?

Tentu tidak!

Perkaranya adalah, saya mencoba merenungkan kembali, apa tujuan dari pencarian itu. Dan sepertinya, tujuan pencarian dari setiap pencari adalah... pulang. Ya! Pulang. Pulang ke tempat dimana sebuah jiwa merasa tenang dan ada di “rumah”. Rumah itu mungkin lebih tepat diartikan sebagai sebuah “kondisi”, sebuah “keadaan”. Bukan sekedar sebuah tempat.

Dan kemanakah setiap jiwa ingin menuju kalau bukan ke Tuhannya? Allah SWT...

Sebelumnya, topik ini sudah pernah saya ulas dalam tulisan “Secangkir Kopi Hangat”, dan dalam tulisan itu diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya sang jiwa memang tidak pernah terpisah dari Allah. Satu-satunya hal yang seolah menjauhkan adalah... dunia. Atau dengan kata lain, kehidupan itu sendiri.

Lalu mengapa saya tertarik dengan kalimat “lights will guide you home”??

Alkisah suatu malam, saya naik kereta ekonomi terakhir dari Jakarta, jam 9 malam. Sesampainya di Stasiun Bogor, di sebelah saya berjalan seorang pengamen buta bersama istrinya (yang juga buta). Mereka berjalan di samping saya menuju tempat Angkot (angkutan kota). Tanpa ada yang menunjukkan jalan, mereka melangkah dengan pasti. Begini kira-kira percakapan yang terjadi antara kami :

Saya : “Mau kemana pak?”

Pengemis buta : “pulang dik”

Saya : “Ooo... naik angkot?”

Pengemis buta : “iya, naik angkot disana (sambil menunjuk ke depan)”

Saya : “Maaf pak, bagaimana bapak tahu arah yang benar itu lurus kesana? (sambil berharap semoga dia tidak tersinggung)”

Pengemis buta : “saya ga buta total dik. Masih bisa kerasa kalau ada cahaya. Saya ikuti cahaya lampu jalan saja”

(Dengan dipandu lampu jalan, mereka berdua pada akhirnya bisa mencapai tempat angkot)

Saya pikir, kehidupan pencarian seseorang juga begitu. Jiwa kita tidak sepenuhnya buta dalam melihat tujuan pulangnya. Allah telah memberi kita panduan untuk bisa menyelami makna kehidupan. Dan dalam setiap makna hidup yang kita selami, kita seolah melihat cahaya. Cahaya ilahi. Inilah yang akan memandu kita pulang.

Bukankah begitu?

Selain alasan filosofis tadi, lagu Coldplay yang satu ini juga sepertinya begitu mengena pada kondisi saya sekarang ini. Kelelahan fisik maupun psikis sepertinya sedang menghampiri saya. Satu dan lain peristiwa yang datang membuat saya seperti kehilangan orientasi hidup.

Salah seorang kakak saya waktu di kampus, Teguh Prasetya, akan mendefinisikan kondisi ini sebagai “disorientasi visi” (apapun artinya itu). Tapi saya dan sahabat saya, Arifin, lebih suka menyebutnya sebagai “lagi dapet”.

Masalah pekerjaan di kantor?

Yaa, mungkin itu salah satunya.

Masih teringat peristiwa di awal tahun dimana saya memiliki begitu banyak target finansial yang saya pikir perlu saya perjuangkan. Dari situ, saya terang-terangan di depan seluruh atasan saya “meminta pekerjaan lebih banyak”. Dan pada akhirnya saya memang diberi bobot pekerjaan yang bisa dibilang saat ini 3 kali lipat pekerjaan tahun lalu (karena saat ini memang saya harus memegang 3 project sekaligus).

Kalau akhirnya pada saat ini saya dilanda kesibukan pekerjaan (walaupun masih sempat posting panjang-panjang gini sebagai penangkal stress), saya tidak pernah menyesalinya. Karena memang inilah resiko yang sejak awal saya sadari harus saya tanggung.

Yang menyedihkan adalah ketika alasan saya melakukannya itu yang berguguran satu persatu... Maka jadilah saya kehilangan motivasi dan semangat dalam bekerja. Mengapa? Karena kekhawatiran bahwa semua ini menjadi sia-sia terus menghantui.

Masalah asmara? (halaaaaah... kamana atuh asmara????)

Bisa jadi... Bisa jadi juga sekedar pembenaran.

Seorang sahabat saya yang lain, Novasyurahati, menawarkan sebentuk terapi sederhana. Dia sarankan untuk melihat cermin setiap pagi, lalu sebisa mungkin tersenyum dengan ikhlas. Gagal! Entah kenapa, setiap saya melihat cermin, yang saya lihat adalah bayangan seseorang yang murung dan seolah berkata pada saya : “hadapilah wan, hidup lu cuma lelucon, dan semua orang tertawa kecuali lu sendiri”.

Sampai akhirnya... yah, perenungan pasca perbincangan dengan pengemis buta itu menyadarkan saya kembali.

Saya sadari bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi dengan sia-sia. Allah maha mengatur hamba-hambaNya.

Saya menata kembali impian dan cita-cita saya. 30 tahun? 20 tahun? Berapapun lamanya impian dan cita-cita itu akan tercapai, saya sadari bahwa semua itu harus dilalui tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik.

Maka bukankah kesulitan, kesibukan, atau masalah yang kita alami detik ini hanya sebuah langkah kecil yang dilalui dalam perjalanan pulang kita? Tidaklah pantas untuk berputus asa karena satu perkara, sementara perkara itu hanya satu bagian kecil dari keseluruhan hidup kita.

Saya sadari bahwa selama ini saya memang salah dalam memandang hidup. Terlalu pendek pikiran saya. Masalah apa? Pekerjaan? Jodoh? Keuangan?

Semua hanya masalah dunia. Masalah yang ada dalam dunia mimpi yang belum tentu juga nyata. Saya dipaksa belajar bahwa semua masalah sebenarnya hanya ada dalam pikiran kita.

Masalah cinta dan jodoh misalnya. Saya selalu merasa bahwa selama ini umat manusia terlalu di-ninabobo-kan oleh impian keindahan cinta antar manusia. Padahal yang dibutuhkan hanya niat dan komitmen dalam menjalani hidup bersama. Itu saja. Tapi memang bukan perkara gampang menjaga komitmen pada seseorang apabila setiap hari kita melihat wanita yang lebih cantik atau pria yang lebih tampan misalnya =)) Tapi toh itu masalah yang dangkal. Yang lebih sulit mungkin bagaimana menjaga konsistensi.

Saya dipaksa belajar bahwa keinginan-keinginan bercinta yang utopis antar manusia semacam ini sebenarnya tidak perlu diambil pusing (seperti yang dicontohkan dalam sinetron-sinetron dan film-film picisan untuk remaja). Saya punya cita-cita dan impian yang jauh lebih besar dari itu semua. Toh kalau waktunya sudah tiba, Allah sendiri yang akan menunjukkan jalan. Kewajiban kita hanya berusaha.

Untuk semua masalah lain, toh kita punya Allah yang jauh lebih besar dari semua masalah itu. Bagaimanapun, Allah juga yang kita tuju bukan? Toh hidup kita bukan untuk sekedar menghadapi masalah demi masalah yang datang. Yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana pemaknaan terhadap masalah itu dapat mendekatkan kita pada Allah.

Maka saat ini, saya rasa segala masalah yang saya hadapi bukanlah sesuatu yang akan membuat saya terkapar. Tidak! Allah memberi saya kekuatan untuk berdiri. Allah memberi saya kekuatan untuk terus berjalan. Maka saya akan berdiri, dan saya akan terus berjalan. Semua masalah bisa datang dan pergi kalau mereka mau. Semua orang bisa menemani dan meninggalkan saya sesuka mereka. Karena ketika lahir, saya berada sendirian dalam rahim ibu saya, dan ketika mati nanti, saya juga akan sendirian dalam kubur saya. Tidak ada orang lain. Hanya Allah dan jiwa kita saja.

Lantas mengapa lanturan ini keluar disini?

Maaf saudara-saudara pembaca yang budiman. Ini hanya salah satu cara saya untuk memotivasi diri sendiri. Walau bagaimanapun, hanya ada 2 yang lebih sabar dari manusia dalam mendengarkan sebuah cerita. Allah... dan kertas. Ya, kertas memang lebih sabar dari manusia, dalam mendengarkan cerita-cerita seperti ini. Karena telinga dan mata manusia cepat lelah, lalu otak manusia cepat bosan.

Seorang teman saya yang lain bertanya, lantas apa yang saya butuhkan saat ini?

Saya rasa....

Saya butuh sendiri. Saya merindukan angin malam mendengarkan senandung rindu saya, saya merindukan tidur berselimutkan kabut dan dihangatkan oleh bara api unggun, saya merindukan mentari pagi bersinar ditemani tetes embun di dedaunan, saya rindu melihat bintang-bintang gemerlapan, saya tepekur di bawahnya. Saya rindu gunung. Saya rindu laut. Saya rindu kesendirian bersama Allah, bersama dalam alam yang telah diciptakanNya. Saya selalu merasa, semua kesedihan hanya dapat hilang ketika kita sendiri bersama Allah, dan ditemani oleh keagungan ciptaanNya.

Tapi toh saya sadari, Allah tak pernah meninggalkan kita.

Ketika saya membutuhkan rezeki lebih, Allah menguatkan saya untuk bekerja lebih keras. Ketika saya membutuhkan cinta, Allah memberi saya orang-orang yang berkesusahan untuk saya cintai. Ketika saya membutuhkan kekuatan untuk terus berjalan, Allah mempertemukan saya dengan pengemis buta yang berjalan di samping saya, dan berkata bahwa cahaya akan membimbing saya pulang.

Demi semua impian, demi semua cita-cita, demi pencarian yang tak kunjung habis, demi semua langkah jiwa untuk pulang padaNya, saya belum pantas berkata lelah. Dan tidak akan pernah pantas untuk lelah, kecuali kalau perjalanan saya sudah berakhir dalam dekapanNya.

Maka, melalui sebuah uraian nan panjang dan ngelantur kemana-mana ini... saya resmikan perubahan judul blog saya ini...

“Lights will guide you home...”

Selamat menikmati =)

Tuesday, May 15, 2007

Pertanyaan Bodoh

Langsung pada intinya aja ya... (tumben-tumbenan saya begini)

Berikut beberapa kisah mengenai pertanyaan bodoh...


Mana yang Lebih Rugi?

Beberapa waktu yang lalu, saya masih jarang naik kereta ekspres (sekarang dah mulai sering tidak disiplin dalam hal pengeluaran), sehingga saya tidak tahu kalau harga tiket kereta bogor ekspres itu sama rata, meskipun penumpang itu turun di Depok maupun Bojonggede. 11 ribu rupiah. Pada suatu malam di Stasiun Sudirman, saya bertemu seorang teman yang rumahnya di Depok. O iya, sekedar info, kereta bogor ekspres yang dari Tanah Abang sebelum sampai Bogor akan berhenti dulu di Depok dan Bojonggede.

TSYRDD (Teman Saya Yang Rumahnya Di Depok) : Hei Wan, naik kereta juga?

ADA (Awan Diga Aristo) : Iya Pak. Sekali-sekali naik ekspres =D

TSYRDD : Oooh, sekali-sekali... pantes jarang liat. Turun dimana?

ADA : Bogor Pak. Bapak turun dimana?

TSYRDD : Depok.

ADA : (kehabisan bahan obrolan) Ooooo... emang kalo Depok harga tiketnya berapa pak?

TSYRDD : Sama. 11 ribu. Kan tiketnya sama sama punya kamu.

ADA : (baru tahu kenyataan ini) Ah, masa sih pak? Kalo gitu rugi dong yang turun di Depok dan Bojong? Bayarnya sama kaya ke Bogor.

TSYRDD : (diam sebentar) Ya tapi kalo saya ikut dulu ke Bogor terus baru balik lagi ke Depok, lebih rugi lagi kan?

ADA : (diam karena merasa telah mengajukan pertanyaan bodoh)


Penyebab Kematian

Kereta ekonomi melintasi Stasiun Pasar Minggu, ketika terdengar teriakan histeris orang-orang di peron stasiun.

OODS (Orang-orang di Stasiun) : Mati tuh!! Mati kayanya!! Kasian banget!! Tolongin pak!!

OODGK (Orang-orang di Gerbong Kereta) : (melongok-longok ke jendela dan pintu) Ada yang mati ya?? Ckckckck... kasian amat....

ADA (Awan Diga Aristo) : Ada kecelakaan pak? Meninggalnya kenapa?

GTS,KOAND (Ga Tau Siapa, Kayanya Orang Asal Nyeletuk Doang) : Ajalnya dateng kayanya.

ADA : (Sialan! Gw jg tau itu mah.... lantas ngapain saya tanya yah?)


Namanya Juga Dagang

Sendal saya di Bandung hilang. Karena akan jalan-jalan dengan seseorang yang selalu memarahi saya apabila saya berkeliaran dengan sendal jepit kebanggaan saya, saya memaksakan diri membeli sendal yang pokoknya terlihat bagus, tapi harus murah! Pasar Simpang Dago menjadi pilihan. Perbincangan terjadi dalam bahasa sunda. Saya terjemahkan biar semua bisa mengerti.

TS (Tukang Sendal) : Nyari sendal pak?

ADA : (dasar ni tukang dagang, ngajuin pertanyaan bodoh!) Ya kalo nyari beras saya gak kesini pak. Mana yang bagus?

TS : Iya ya.... bener juga... pilih aja, semua juga bagus kok.

ADA : (memilih satu sendal) Ini berapa pak?

TS : 20. bisa kurang lah

ADA : Masa kaya gini 20? 10 kali...

TS : 15 deh. Kualitas dijamin itu mah pak.

ADA : sama siapa?

TS : ya sama saya... Ini saya juga pakai nih (sambil memperlihatkan kakinya yang memakai sendal sama persis dengan yang saya pilih).

ADA : Awet ga?

TS : Awet pak! Ini saya pakai dari lebaran kemaren belom rusak-rusak.

ADA : Enak ga dipakainya?
TS : enak pak! Empuk. Ga bikin lecet kaki.

ADA : Ga licin ya?

TS : Anti selip!

ADA : perasaan saya tanya kok bagus-bagus semua?

TS : Ya namanya juga orang dagang pak. Masa saya bilang dagangan saya jelek?

ADA : (garuk-garuk kepala) Yaudalah, bungkus pak!


Barang Hilang

Teman saya kehilangan jam tangan pemberian pacarnya. Datang sambil memaki-maki peruntungannya.

TSYKJ (Teman Saya yang Kehilangan Jam) : Setan! Jam gw ilang!

ADA : Sabar... ilang dimana emangnya?

TSYKJ : kagak tau gw.

ADA : ko ga tau?

TSYKJ : Ya kalo gw tau tu barang dimana terakhir, namanya ga ilang dong!

ADA : (sabar... sabar...)


200 meter?

Selepas SMA, saya bersama seorang teman bermaksud mencari beasiswa kuliah di negeri orang. Kedutaan negeri manapun kami datangi, mulai dari Jepang sampai Portugal dan Venezuela. Sekalian jalan-jalan di Jakarta, karena selepas ujian kelulusan memang tidak ada kesibukan.

Alkisah kami hendak ke kedutaan X, yang berlokasi di Jakarta Pusat. Tidak tahu jalan, saya tanya ke kenek Kopaja.

ADA : bang, tau kedutaan X dimana ga?

KK (Kenek Kopaja) : ooo, tau bang. Ntar turun aja di perempatan depan, terus jalan ke arah utara. Sebelah kanan jalan.

ADA : Jauh ga bang? Berapa meter kira-kira?

KK : 200 meteran lah.

Kami turun di perempatan yang dimaksud, lalu jalan kaki melintasi Jalan Rasuna Said. Selepas 15 menit tidak juga sampai, kami bertanya ke seorang pria yang melintas.

ADA : Mas, tau, kedutaan X dimana ga? Bener kesana? (sambil menunjuk ke depan)

MM (mas-mas) : Oooo... bener kok. Ntar kalo udah keliatan plang gedung Bidakara dari jauh, berarti udah deket.

ADA : Oooo... berapa jauh lagi kira-kira mas?

MM : 200 meteran lah.

ADA : 200 meter ya? Ok. Makasih mas.

Kami berjalan lagi, sampai 15 menit berlalu lagi. Tidak juga sampai. Tulisan Bidakara juga belum nampak sejauh mata memandang. Bertanya lagi ke tukang teh botol. Sambil jajan.

ADA : Bang, tau kedutaan X?

TTB (Tukang Teh Botol) : Oooo... tau-tau. Udah bener jalan ini. Terusin aja sampe keliatan plang Bidakara dari jauh.

ADA : (de ja vu?) berapa jauh kira-kira bang?

TTB : hmmm.... berapa meter lagi ya... (berguman sendiri)

TSYMTS (Teman saya yang mulai tidak sabar) : 200 meter ada?

TTB : YA! Kira-kira 200 meter lagi lah!

Akhirnya 15 menit kemudian kami tiba di kedutaan X tersebut, sambil belajar satu hal baru : Menanyakan jarak di Jakarta adalah sebuah pertanyaan bodoh!


Jalan Kaki

Alkisah ketika saya baru lulus SMA, masih dalam rangka pencarian beasiswa, saya bersama teman saya mencari kedutaan sebuah negara. Waktu itu saya sedang berada di daerah Komdak, dan kedutaan yang dituju berada di dekat gedung BEJ. Dan saya belum terlalu tau Jakarta.

ADA : Pak, kalo dari sini ke BEJ jauh ga pak?

BB (Bapak-bapak) : BEJ? Deket kok dek. Naek bis itu aja tuh (menunjuk sebuah bis).

ADA : Naek bis pak? Jauh ya?

BB : Yeee, dibilangin deket ga percaya. Nanti bayar aja seribu seorang.

ADA : Kalo jalan kaki bisa gak pak?

BB : Dek, di jakarta itu kalo dibilang deket juga mending naik bis aja. Ukuran jauh sini sama di kampung beda.

ADA : (Setan!)

TSYMP (Teman Saya Yang Masih Penasaran) : Jadi ga bisa kalo jalan kaki ya pak?

BB : Jalan kaki mau ke Surabaya juga bisa dek! Tapi jauh!



Demikianlah sekelumit kisah tentang pertanyaan bodoh....

Masih banyak sih, tapi saya tidak sebodoh itu untuk menceritakan semuanya sekaligus =D


Keterangan : Gambar diambil (maaf tanpa ijin) dari :

- www.krlmania.com

- www.mitra-leather.com

- www.seasite.niu.edu