Tuesday, March 27, 2007

Mendikte (Kehendak) Tuhan (?)

Sejak kapan sebenarnya kita menjadi akrab dengan bencana?

Ya, sebenarnya kalau mau lebih obyektif dalam melihat sejarah bencana alam dan “bencana non-alam” (seperti kecelakaan kereta dan sebagainya), bangsa Indonesia seharusnya memang tidak asing dengan bencana. Tapi memang, sepertinya akhir-akhir ini (sejak bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004 lalu), bencana yang silih berganti datang nampaknya memaksa kita untuk lebih mengakrabkan diri dengan kesedihan.

Dan tentu saja, tawaran “hikmah yang dapat diambil” dari semua kejadian tersebut juga bermunculan. Saya sebut “tawaran” karena walau bagaimanapun, hikmah itu saya rasa bersifat sangat pribadi, dan sangat unik tergantung dari setiap individu manusia. Maksudnya, kalau ada seseorang yang berkata hikmah dibalik semua ini adalah bahwa seluruh bangsa Indonesia harus melakukan tobat nasional misalnya, bisa jadi Anda sependapat, dan bisa jadi juga Anda menganggapnya absurd.

Betul?

Kalau Anda bilang “salah”, maka itu membuktikan bahwa tidak semua orang sama dalam memaknai hikmah.... (inilah yang disebut ngeles atau mencari pembenaran dari semua kemungkinan jawaban =p )

Tapi memang menarik untuk memperhatikan bagaimana sebuah masyarakat atau sebuah bangsa menyikapi apa-apa yang sedang terjadi pada dirinya. Karena sebuah bangsa dalam skala luas dapat dipandang sebagai satu individu juga. Maka yang sedang kita lakukan mungkin sama dengan memperhatikan sikap seseorang yang baru saja kecopetan. Ada yang mengucap sumpah serapah, ada yang mengejar copetnya, ada yang ikhlas dan berkata bahwa mungkin memang kurang sedekah atau mungkin si copetnya lagi butuh uang, dan sebagainya. Sama juga dengan memperhatikan sikap seseorang yang baru saja mendapatkan rezeki. Ada yang bersyukur dan mengucap alhamdulillah, ada yang lupa bersyukur dan tidak berucap apa-apa, ada yang menggerutu karena merasa rezeki itu masih kurang banyak, ada yang langsung menyedekahkan sebagian rezekinya itu, dsb.

Singkatnya, sikap satu individu ketika mendapat rezeki dan musibah bisa jadi mencerminkan kepribadiannya, dan mungkin juga bahkan mencerminkan bagaimana kedekatannya dengan Tuhannya. Tentu itu dengan asumsi bahwa individu itu percaya ada Tuhan.

Lantas bagaimana bangsa Indonesia menyikapi semua musibah yang silih berganti menyapa seperti sekarang ini??

Tawaran yang paling banyak beredar sekarang di telinga saya adalah seputar bahwa ini merupakan teguran dari Allah, ujian dari Allah, bahkan ada yang bilang bahwa ini azab atau peringatan dari Allah, dan sebagai turunannya tentu solusi yang ditawarkan berkisar pada “pertobatan” secara nasional. Cukup menggelitik untuk kita bertanya, apakah semua musibah akan berhenti kalau bangsa ini memang, sebutlah, bertobat? Atau pertobatan itu bertujuan untuk menyiapkan masing-masing kita kalau tiba-tiba nanti malaikat maut menjemput? Kemungkinan jawaban yang kedua ini, nampaknya masih agak jarang dipikirkan.

Dengan sendirinya, analisis pemikiran dangkal saya mengatakan, premis yang dipakai adalah: “karena bangsa Indonesia sudah demikian buruknya, maka Allah mengazab bangsa ini. Maka kalau mau negeri ini terhindar dari bencana, bertobatlah!” Begitu bukan? Menurut Anda bagaimana? Atau sayanya yang terlalu dangkal?

Kalau analisis pemikiran dangkal itu benar, saya hanya berpikir... alangkah hebatnya manusia? Seolah manusia bisa mengendalikan kapan Allah harus mengizinkan terjadinya “bencana”. Kalau mau Allah menurunkan bencana, manusia tinggal berbuat kebejatan beramai-ramai. Kalau tidak mau, ya tinggal berbuat kebajikan beramai-ramai. Padahal kita perlu bersama-sama memikirkan juga, apakah “bencana” itu?

Gunung meletus? Apakah itu bencana? Bukankah tanah di Indonesia subur karena banyak gunung berapi juga? Bukankah letusan gunung berapi itu dalam jangka waktu beberapa lama akan menumbuhkan kesuburan di sekitarnya? Ini sekedar contoh saja. Banyak juga contoh-contoh lain siklus alam (baik yang menguntungkan kita maupun tidak) yang salah satu bagiannya merupakan “bencana” bagi kita. Bukankah kita menganggap sebuah peristiwa sebagai bencana hanya karena peristiwa itu merugikan kita (manusia)? Menurut Ada bagaimana?

Maksud saya apa?

Maksud saya adalah... kalau untuk tobat nasional, tidak perlu menunggu bencana atau “azab” datang. Bukankah Al Qur’an telah diturunkan sejak “lama” (karena waktu juga relatif) sebagai pembawa kabar gembira sekaligus peringatan? Mengapa manusia perlu menunggu bencana kalau sejak lama sudah ada peringatan yang nyata di tangannya? Yang kandungannya dibaca dalam setiap sholatnya?

Atau mungkin, kita memang masih menganggap kehendak Allah itu seperti ilmu eksakta. Kalau 2 ditambah 2, ya hasilnya 4. Kalau 4 dikali 5, ya 20. Jadi, kalau manusia berbuat baik, maka nasibnya di dunia juga akan baik. Dan sebaliknya, kalau jahat, ya siap-siaplah diazab di dunia. Benarkah kehendak Allah bekerja seperti itu? Bukankah Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk ummatNya?

Maka, mohon maaf untuk yang berpendapat lain, saya lebih memandang bahwa “bencana” yang terjadi di Indonesia sebagai siklus alam saja. Kalaupun manusia ada yang dirugikan karenanya, saya rasa untung atau rugi itu tergantung dilihat dari perspektif siapa. Toh Allah maha-adil. Saking maha-adilnya, kadang kita juga dibuat bingung, adil itu apa.

Beda lagi kalau urusannya dengan bencana yang dibuat manusia sendiri. Banjir misalnya... hmmmm.... saya rasa sudah banyak saya singgung dalam postingan di sini.

Flu burung? Nah... ini juga kasus yang cukup menarik. Bagi saya agak absurd sebenarnya mempertanyakan apakah flu burung itu sebuah “azab” juga atau bukan (karena banyak juga yang bilang begitu di koran-koran murahan di kereta). Karena, mohon maaf sebelumnya, tanpa bermaksud menganggap nyawa manusia sebagai sederetan angka semata, jumlah korban yang meninggal karena demam berdarah atau AIDS setiap tahunnya masih jauh lebih banyak dibanding korban flu burung. Lantas mengapa yang jadi pusat berita itu flu burung ya? Karena baru?

Lantas kalau kecelakaan-kecelakaan transportasi bagaimana?

Saya rasa, tidak adil bagi kita menyalahkan “azab” atau kesalahan-kesalahan manajerial manusia dalam mengurus hajat hidupnya. Sama seperti banjir juga, kesalahan manajerial dalam mengurus transportasi di mata saya adalah kesalahan turun-temurun yang mencapai akumulasinya di masa sekarang.

Disaat orang ramai meributkan reshuffle kabinet untuk mendepak menteri perhubungan, dalam perspektif lain saya justru merasa agak kasihan dengan pak menhub yang sekarang ini. Dalam sebuah perbincangan dengan salah seorang rekan kerja yang duduk di sebelah saya setiap hari di kantor, kami sepakat bahwa menteri yang sekarang ini sekedar... “menjabat di waktu yang salah”. Dengan kata lain, dia sedang apes.

Mengapa?

Karena pesawat-pesawat tua yang menjadi andalan semua maskapai di Indonesia ini tidak dibeli pada zaman dia menjabat. Perawatan yang buruk pada kapal-kapal macam Levina tidak hanya terjadi pada tahun ini. Perkara kereta api ekonomi yang bobrok dan selalu kelebihan penumpang sudah terjadi sejak zaman kereta api ekonomi itu sendiri mulai beroperasi. Tapi sejak dulu pula, siapapun yang menjabat menterinya, tidak ada yang sanggup membenahi sistem manajemen yang buruk itu. Mengapa? Karena sebelumnya memang kecelakaan itu belum banyak terjadi, atau setidaknya belum disorot seperti sekarang (karena kita baru sadar ada masalah kalau sudah ada yang celaka). Toh pasca terbakarnya kapal Tampomas dan kecelakaan kereta di Bintaro yang merenggut ratusan nyawa pada pertengahan tahun 1980-an, media belum segiat sekarang dalam mencari berita, dan tidak ada juga yang berani menyuarakan perlunya perbaikan manajemen.

Sekarang, ketika semua alat transportasi telah mencapai usia uzurnya (bahkan seharusnya sudah menjadi fosil), kecelakaan merupakan sesuatu yang “wajar”. Tidak ada yang abadi. Suatu saat atap kereta akan ambruk kalau penumpang menumpuk di atap. Suatu saat kapal akan tenggelam kalau tidak dirawat. Kalau tidak, justru itu yang tidak “wajar” bukan? Dan untuk Menhub sekarang maupun Menhub berikutnya (kalau jadi reshuffle), mohon maaf, sepertinya agak mustahil bagi Anda untuk memeriksa SEMUA kapal, SEMUA gerbong kereta, dan SEMUA pesawat dari Sabang sampai Merauke sekarang, dan melarang yang tidak laik jalan untuk beroperasi. Karena walau bagaimanapun, masyarakat masih membutuhkan kendaraan-kendaraan yang tidak laik jalan itu. Contohnya, akan dikemanakan ribuan pengguna kereta ekonomi jabotabek kalau semua kereta ekonomi itu tidak dioperasikan? Padahal sepertinya hampir semua kereta ekonomi jabotabek itu sudah tidak laik jalan dan potensial menimbulkan kecelakaan kapanpun juga.

Perlu diketahui, ini bukan karena saya mendukung Menhub yang sekarang ataupun terlibat pro-kontra reshuffle. Saya tidak peduli siapapun yang menjabat (toh jabatan menteri lebih banyak pertimbangan politisnya). Yang paling optimal bisa dilakukan sekarang ini adalah memperbaiki manajemen, melengkapi infrastruktur, menetapkan standar tinggi kelaikan moda, dan... yah... silakan yang bekerja di Dephub melengkapi.

Demikian...

Kembali pada soal awal, saya rasa keadilan Allah memang bukan kuasa manusia. Kalaupun ada yang bilang bahwa “di zaman presiden yang dulu bencana jarang terjadi, kenapa di masa presiden sekarang bencana sering terjadi?” Maaf, buat saya opini semacam ini lebih absurd lagi. Apalagi kalau disambungkan dengan sesuatu yang bersifat klenik seperti “ini karena presiden sekarang butuh tumbal untuk bisa naik jadi presiden” atau “karena presiden dulu jin-nya kuat”. MasyaAllah... sepertinya tidak perlu saya elaborasi lagi. Apakah sekarang presiden dan jin yang mengendalikan kehendak Allah? Yang bisa saya katakan hanya: kalau anda mempercayai pemikiran semacam ini, mungkin Tuhan kita tidak sama.

Jadi, bagaimana menyikapi bencana-bencana di Indonesia sekarang ini?

Yah, silakan bertanya, bagaimana orang Jepang menyikapi gempa 7,1 SR yang kemarin menerpanya? Bagaimana AS menyikapi badai katrina? Bagaimana India menyikapi banjirnya? Mari lakukan perbaikan yang bisa kita lakukan, dan berhenti menyalahkan “kehendak Allah”, karena Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi kita.

Lantas bagaimana dengan tobat nasional? Sadarilah, perintah bertobat sudah datang sejak dulu. Karena kalau tobat hanya dilakukan setelah bencana, jangan-jangan kebejatan bakal muncul lagi setelah bencana tidak ada. Toh pertobatan itu lebih baik bertujuan untuk mempersiapkan diri kita sendiri, karena dengan atau tanpa bencana, maut memang bisa datang kapan saja.

Wallahu’alam bish-showab...


Keterangan:
Gambar dari www.safecom.org.au/images/tsunami-aceh.jpg