Monday, October 30, 2006

Semex (cerita-cerita dari kereta, episode 12)

Sekitar setengah tahun yang lalu, pada sebuah pagi yang cerah di Stasiun Kota Bogor, para calon penumpang dihebohkan oleh teriakan-teriakan para tukang koran yang cukup provokatif !!

“Beli koran temponya nih, kereta ekonomi mau diilangin!! Ekonomi diapus!!”

mendadak sontak, tentu saja para tukang koran ketiban durian runtuh karena berita mengejutkan itu. Semua mendadak ingin membeli koran tempo untuk membuktikan kebenaran isi teriakan-teriakan tadi. Beberapa tukang koran yang kehabisan stok koran tempo kemudian menawarkan koran lain ke calon pembelinya, akan tetapi kemudian dikembalikan lagi oleh si pembeli karena berita yang dicari tidak ada di koran-koran lain. Hanya ada di koran tempo. Dan memang benar, berita akan dihapuskannya kereta ekonomi itu memang disajikan di koran tempo, dalam dua halaman.

Saya pun berusaha mencuri baca dari orang-orang di sekitar saya, dengan melirik-lirik koran yang sedang dibaca orang lain. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang saya lirik korannya itu mulai misuh-misuh menunjukkan keterusikannya atas tindak-tanduk saya. Tentu dengan muka masam dan mata yang seolah berkata, ”beli ndiri napa bang ?!!? serebu doang getoo!!”

Seketika, cuaca cerah Bogor pagi itu langsung ditandingi oleh wajah-wajah mendung para penumpang ekonomi. Tidak hanya di Bogor, berita itu ternyata juga menjadi topik obrolan yang hangat di kalangan penumpang-penumpang dari stasiun lain. Dari berita yang tertulis di koran tersebut dikabarkan bahwa semua gerbong kereta ekonomi akan dihilangkan dan diganti gerbong yang setipe dengan kereta express. Adapun kereta ekonomi akan tetap diopersikan, tetapi hanya sedikit, dan akan melalui jalur rel lingkar luar, seperti halnya kereta ”nambo” (sebutan untuk kereta diesel yang masih dioperasikan untuk jalur Bogor-Sukabumi dan Bogor-Jakarta melalui Cibinong dan stasiun2 lain diluar jalur utama Bogor-Depok-Jakarta).

Di satu sisi, semua orang akan sepakat bahwa kondisi kereta ekonomi Jakarta-Bogor dan sekitarnya memang sangat perlu lebih ”dimanusiawikan”. Saya rasa, hanya kereta ekonomi di India yang mampu menyaingi kepadatan kereta ekonomi Jabotabek. Hmmmm... koreksi, kereta ekonomi India JAUH lebih padat dan tidak manusiawi dibanding Jabotabek (saya ragu, apakah ini kondisi yang patut disyukuri atau bukan... tapi minimal ini membuktikan bahwa pepatah ”diatas langit masih ada langit” memang ada benarnya). Akan tetapi, dari segi finansial para penumpang ekonomi, berita mengenai rencana tersebut menghadirkan mimpi buruk yang menggantung di siang bolong. Pasalnya, harga tiket kereta express yang 11 ribu itu jelas berbeda jauh dengan tiket ekonomi yang maksimal 2500 (dan itupun banyak yang tidak bayar, baik karena tidak mampu maupun karena.... yah, pengen ga bayar aja...). Kalau dihitung selama 1 bulan (22 hari kerja), artinya akan ada pembengkakan pengeluaran sebesar... mmm... silahkan hitung sendiri...

Bulan demi bulan berlalu.... kabar itu mulai dianggap sebagai angin lalu... (aduuh, bahasakuu...)

Kemudian...

2 bulan yang lalu, mulai muncul kereta jenis hibrida baru di jalur Jakarta-Bogor... kereta semi-express yang kadang disingkat ”Semex”. Yap, ini adalah species hibrida (persilangan) dari kereta ekonomi dengan kereta express. Kereta ini menggunakan gerbong-gerbong kereta express, lengkap dengan AC-nya, tetapi berhenti setiap dua atau tiga stasiun sekali. Dengan harga tiket 6000 rupiah, kereta ini mulai deperkenalkan dengan jadwal keberangkatan 08.27 WIB (tapi perasaan tadi pagi saya lihat harga tiketnya sudah dinaikkan jadi 11 ribu, entah untuk masa libur lebaran ini saja atau sampai selamanya saya tidak tahu).

Kereta semex ini, mulai mencuatkan kembali isu penghapusan kereta ekonomi. Dan dalam pikiran saya, kedepannya memang mungkin kereta hibrida inilah yang akan menggantikan peran kereta ekonomi secara total. Tentu secara perlahan, yaitu dengan menambah jadwal keberangkatannya (yang dengan sendirinya, akan menggeser atau menghapus jadwal kereta ekonomi).

Dari segi manajemen transportasi, langkah ini bisa dibilang merupakan langkah konkrit yang perlu dipuji dari PT KAI untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kereta commuting (ulang-alik) Jakarta-Bogor dan sekitarnya. Akan tetapi, dari segi ke-manusiawi-an, hal ini membuat saya cukup bertanya-tanya.

Kita memanusiawikan kereta, tapi tidak memanusiawikan taraf hidup manusianya...

Ha? Maksud lo?

Maksud saya begini....

Tiket semex memang ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan orang. Tapi, ukuran ”tidak mengerikan” itu mungkin adalah ukuran saya. Bagaimana dengan ukuran penumpang ekonomi yang lain? Sementara, tentu diharapkan penumpang-penumpang ekonomi itu akan beralih ke semex dalam melakukan commuting.

Sekarang, apabila sekarang dengan harga 2500 saja banyak orang yang tidak (mampu) membeli tiket ekonomi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan mereka (mampu) membeli tiket semex?

Sementara kisah satu setengah tahun lalu mengenai seorang Supriono yang menggendong mayat anaknya, Khaerunissa, untuk dibawa ke Bogor dengan kereta ekonomi, tanpa bayar (karena hanya itu yang dia mampu untuk berusaha menguburkan anaknya seperti layaknya manusia), masih menyisakan air mata yang tertahan. Dan memang, belum semua masyarakat pengguna kereta mampu untuk membayar tiket kereta ekonomi sekalipun.

Maka, dalam bayangan saya, alih-alih memanusiawikan kereta, semex justru berpotensi untuk menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi. Sekarang kita pakai hitung-hitungan sederhana saja. Sebutlah misalnya ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 7.44 WIB, dan ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 8.05 WIB. Nah, misalnya kemudian jadwal Semex ditambah, dan ada semex jam 8.05, yang dengan sendirinya kemudian menghilangkan kereta ekonomi 8.05. Nah, dari 100 orang penumpang kereta ekonomi 8.05 tadi, sebutlah misalnya hanya 50 orang yang mampu untuk beralih menggunakan semex, sementara 50 lainnya tidak mampu karena gajinya belum naik, inflasi, harga barang-barang naik, uang sekolah mahal, dan sebagainya. Lantas apa yang akan terjadi? Bisa jadi, yang 50 itu akan berpindah ke kereta ekonomi 7.44 sehingga penumpang ekonomi 7.44 bertambah menjadi 150 orang dengan jumlah gerbong yang tetap sama. Bukankah ini berarti menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi untuk kereta ekonomi jadwal keberangkatan 7.44??

Berpindah ke bus antar kota?

Pasca kenaikan BBM terakhir, tarif bus antar kota Jakarta-Bogor ditambah dengan tarif bus dalam kota, angkot, dsb kalau dihitung-hitung malah jatuhnya bisa sama (atau lebih mahal) dibanding menggunakan kereta express (ini untuk kasus saya, entah untuk yang beraktifitas di daerah lain).

Tentu, ini sekedar hitungan sederhana saja...

Dan saya juga tentu tidak akan menuntut apa-apa dari PT KAI, karena meningkatkan taraf hidup masyarakat memang bukan tugas PT KAI.

Lantas, tugas siapa?

Memindahkan semua kereta ekonomi ke jalur lingkar luar (pinggiran) mungkin memang tepat untuk situasi yang ironik ini... pada akhirnya, kaum miskin memang selalu termarjinalkan... terpinggirkan (kali ini, secara denotatif).

Manusiawi.... hmmm... ternyata tidak semudah itu untuk menjadi ”manusia” di negara ini...

NB :

- Lantas, apa sih yang lu usulkan wan?

- Gak banyak sebenernya gw cuma pengen ngomong, kalo bisa, harga tiket semex nantinya sama dengan harga tiket ekonomi... atau kalau bisa, kereta ekonomi tetap ada, sampai masyarakat kita mampu untuk membayar lebih dari itu.

- haiyah, mau enak kok ga mau bayar lebih?

- Itu dia... apakah ”manusiawi” dan ”enak itu hanya untuk yang bisa bayar? Tentu... inilah masa dimana ketidakmampuan untuk membayar menjadi alasan untuk tidak diperlakukan selayaknya manusia!

- kok serem gini sih tulisan tentang keretanya?

- yaaa.... terkadang ada hal-hal yang tidak pantas untuk dijadikan bahan tertawaan... meskipun akan selalu ada alasan bagi kita untuk masih bisa tersenyum.

Thursday, October 19, 2006

Surabaya, Kupu-kupu, dan Rawon Setan

Surabaya...
Saya tidak pernah menyukai kota ini.

Oke, pernyataan di atas, saya sadari sepenuhnya, adalah permulaan yang sangat buruk untuk sebuah tulisan.

Akan tetapi, memang pada dasarnya pada setiap kunjungan saya ke kota terbesar kedua di Indonesia ini, perasaan itu belum pernah berubah.

Setelah dari Makassar, perjalanan saya lanjutkan ke kota ini. Akan tetapi, berbeda dengan Makassar dan Samarinda, ini bukan pertama kalinya saya mengunjungi Surabaya. Pada masa-masa awal kehidupan saya, yaitu pada usia 2 sampai 3 tahun, saya bahkan pernah tinggal di kota ini, meskipun akhirnya harus mengungsi ke Bogor karena saya dan kakak saya ternyata tidak tahan dengan perubahan cuaca dari dinginnya pegunungan di Gadog (Ciawi, Bogor) ke panas dan berdebunya kota pantai semacam ini.

Setelah itu, biasanya memang secara rutin saya sekeluarga selalu mengunjungi kota ini setiap akhir tahun, yaitu pada masa liburan natal dan tahun baru, untuk mengunjungi sanak saudara. Rutinitas itu mendadak terhenti sejak tahun 2001.

Kembali ke Surabaya, kota ini ternyata sudah banyak berubah sejak 5 tahun terakhir. Cukup banyak ruas-ruas jalan yang diperbesar karena maraknya kemacetan lalu lintas. Pelebaran jalan-jalan itu, terutama di kawasan Rungkut dan sekitarnya, membuat saya hampir tidak lagi mengenali kawasan tadi. Semenjak mengikat kerjasama ”sister cities” dengan Seattle di Amerika Serikat, kota ini memang banyak berkembang. Meski begitu, ciri khas kota ini tetap sama. Panas, berdebu, ramai, dan nuansa ”jawa” yang kental.

Kunjungan dalam rangka perjalanan dinas kali ini, pada awalnya saya harapkan dapat merubah persepsi saya mengenai Surabaya. Tetapi, alih-alih mendapat kesan baik, saya justru menambah list pengalaman buruk.

Ketika masih menunggu pesawat di Bandara Soekarno-Hatta yang akan berangkat ke Surabaya, seorang kolega mengirim pesan singkat bahwa ia sudah membukakan kamar untuk saya di sebuah hotel yang sangat dekat dengan kompleks perkantoran Provinsi Jawa Timur. Buyarlah rencana saya untuk berkelana mencari hotel. Tapi tidak masalah, mengingat sasaran kunjungan saya memang banyak berkutat di kompleks perkantoran tersebut. Terlebih lagi, harga kamarnya konon cukup terjangkau. 125 ribu semalam. Maka, saya terima tawarannya.

Setibanya di Surabaya, tawar menawar tarif taksi (dan saya sampai sekarang masih tidak tahu, dalam tawar menawar itu saya menang atau kalah), saya langsung meluncur ke hotel yang dimaksud. Mesjid besar Surabaya yang beratap biru itu menyapa setiap yang datang di Kota Pahlawan ini.

Tiba di hotel yang dituju. Penampilan luarnya, tidak terlalu meyakinkan.Tapi memang sesuai janji, sangat dekat dengan perkantoran Provinsi. Lalu saya langsung meminta kunci kamar yang sudah dipesankan untuk saya itu di lobi hotel.

Ketika di lobi itu, ada sesuatu yang cukup mengejutkan. Pada daftar tarif sewa kamar per malam yang terpampang di lobi, tertera bahwa kamar dengan tarif 125 ribu per malam itu ternyata adalah kelas kamar yang tertinggi. Maksud saya, benar-benar paling tinggi. Yang terendahnya, 35 ribu per malam. Menarik... sekaligus mengkhawatirkan.

Masuk ke kamar yang dituju, saya rasa semua orang yang pernah melakukan kegiatan menyapu atau mengepel akan menyadari kalau lantai kamar ini sudah lama tidak disapu, apalagi dipel. Tapi tak apa, adanya fasilitas AC dan televisi saya rasa sudah cukup untuk membuat saya betah, walaupun handuk yang disediakan di kamar mandi saya rasa tidak sepenuhnya dicuci bersih. Terlihat dari bercak-bercak biru (entah apa) di handuk putih itu.

Sore harinya, saya ketahui bahwa kawasan ini tidak terlalu jauh dengan Doli (sampai sekarang, saya tidak tahu bagaimana ejaan yang benar dari nama ini, apakah Doli, Doly, Dolly, Dolli, atau bagaimana). Konon, Doli ini pada masa jayanya merupakan salah satu kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Sekarang? Saya kurang tahu. Apa yang dilokalisasikan? Saya rasa akan kurang pantas kalau saya sebutkan di sini (meskipun dari kalimat ini, tentu Anda bisa menerka apa yang saya maksud). Saya dan rekan-rekan saya kemudian memutuskan untuk makan malam di luar hotel, sembari berkeliling mengenali kota yang sedang tumbuh pesat ini.

Pulang berkeliling, malam memang belum terlalu larut, tapi tak bisa dibilang muda lagi. Pukul 11 malam, dan udara masih terasa panas. Sesampainya di hotel, saya kemudian bergegas ke arah tangga menuju kamar saya. Dua orang wanita saya lihat sekilas tersenyum ke arah saya, dan saya membalas sekenanya.

”Malam mas”, kata seorang diantaranya.

”Malam bu...”, saya balas sambil tersenyum sedikit.

Yang menyapa saya itu nampaknya sudah berumur 40-an, berbaju hitam, dengan rias wajah yang menurut saya agak berlebihan. Dibelakangnya, seorang wanita yang jauh lebih muda, mungkin umurnya baru 20an, berkulit putih dengan paras cantik. Sama-sama berbaju hitam, tapi wanita muda ini berpakaian lebih... mmm... terbuka, seolah ingin menunjukkan bahwa kulit putih itu tak cuma dimiliki oleh wajahnya, tapi juga tersebar di seluruh tubuhnya.

Ketika saya hendak menaiki tangga, si wanita yang pertama menyapa lagi sambil tersenyum, ”Ikut ke atas ya mas...”

Saya pikir, dua orang wanita ini juga tentu tamu hotel, dan mungkin kamarnya juga di atas, sehingga tanpa pikir panjang saya jawab, ”oo, iya, silakan bu....”

Akan tetapi, kemudia ia berkata lagi, sambil tersenyum aneh, ”iya, ikut ke kamarnya mas yaaaa....” Dan dibelakangnya, si wanita yang lebih muda tadi melontarkan senyuman ke arah saya, dengan gaya senyuman menggoda yang bisa membuat jantung pria berdegup lebih cepat, lalu mengerdipkan sebelah matanya sambil menggerakkan tangan kanannya mengelus lengan kirinya yang memang dibiarkan terbuka.....

”Celaka!” Pikir saya dalam hati... ”Sejak kapan Doli pindah ke sini??!??!”

”ooo, nggak bu, makasih”, jawab saya, masih sambil tersenyum...

”bener nih mas?” tanya si wanita pertama sambil melirik ke rekannya yang lebih muda itu.

”nggak bu, makasih”, jawab saya, sambil bergaya sewajarnya, lalu langsung naik tangga tanpa menoleh ke belakang lagi...

Saya segera melupakan kejadian itu dengan membaca dan menonton televisi di kamar hotel. Udara dingin dari AC membuat saya melirik selimut yang teronggok di tempat tidur. Setelah dibuka, ternyata... bolong! Yap, selimut ini cukup banyak bolongnya, entah bekas rokok, pisau, gergaji atau apa. Yang jelas, bolong-bolong tak karuan. Hampir sia-sia dalam melindungi tubuh dari serangan dingin.

Belum habis kekecewaan saya terhadap selimut kamar ini, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar saya. ”Siapa pula malam-malam begini?” pikir saya. Dan saya bergerak menuju pintu kamar ketika sambil berujar ”sebentaaaar..... siapa ya??”

Dan suara dari balik pintu menghentikan langkah saya. Suara wanita, renyah dan menggemaskan, bernada merayu, ”Malam maas... mau ditemani??”

”Hotel celaka!!” umpat saya dalam hati

dan segera saya jawab sekenanya... ”nggak mbak... terimakasih...”

Bah, untuk apa pula saya bilang terima kasih?

Segera saya kembali ke tempat tidur, meneruskan membaca, ketika kemudian saya mendengar ketukan di pintu kamar sebelah saya... dan tak lama kemudian suara pintu yang dibuka.

”Malam oom....” (suara wanita yang tadi)

”eeeh, malam dik, mari masuk...” (suara pria)

Menyadari apa yang terjadi di kamar sebelah, saya segera ambil keputusan, menyalakan televisi dengan agak keras (supaya suara apapun dari kamar sebelah tidak terdengar), membuka selimut dan menutupi kepala saya. Sambil mengucap sumpah serapah dalam 7 bahasa, saya berusaha memejamkan mata.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan, saya bersama rekan-rekan memutuskan untuk kembali berkeliling Surabaya. Surabaya memang benar-benar hidup di malam hari. Cukup banyak tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian. Akan tetapi, meskipun cukup banyak mall dan pusat perbelanjaan di kota ini, cukup banyak juga pusat-pusat keramaian di pinggir jalan (yang tercermin dari banyaknya mobil dan motor yang diparkir), meskipun sebagian diantaranya (entah kenapa) cukup remang-remang atau gelap dan hanya diterangi lilin-lilin yang jauh dari kesan ingin menciptakan suasana romantis.

Sebagaimana layaknya kota-kota besar lain di Indonesia, kesenjangan ekonomi masyarakatnya juga terlihat jelas disini. Kutukan kota-kota besar di Indonesia juga menyelimuti Surabaya. Kemiskinan kota jelas terlihat disini. Dan dengan demikian, kerasnya perjuangan hidup juga menjadi warna sehari-hari. Di kota inilah tempat dimana becak-becak begitu banyak berkeliaran, dikayuh oleh wajah-wajah yang lelah sekaligus keras. Saran saya, janganlah menawar tarif becak terlalu rendah disini. Salah-salah, anda tidak akan diangkut. Kalaupun diangkut, becak akan melaju demikian cepatnya sehingga anda akan meminta berhenti, dan kemudian sang tukang becak akan menjawab ringan ”bayar murah kok ya mau enak mas ??? selamat aja sudah syukur!” Demikian pula, kemiskinan inilah yang bisa menyebabkan fenomena seperti Doli sempat bersemayam disini. Orang-orang jawa memang terkenal ulet dan pantang menyerah. Jiwa kompetitif yang tinggi menyebabkan persaingan hidup (dan gengsi) disini sangat kentara.

Dengan hasrat mencari hiburan, ditambah salah seorang rekan yang tidak henti-hentinya memperdengarkan keahliannya menyanyi di dalam mobil, maka kami kemudian memutuskan untuk berkaraoke di.... saya lupa namanya, maaf.... selama 2 jam. Karena kami hanya berempat, maka waktu 2 jam yang dihabiskan dengan menyanyi itu cukup menguras suara. Sesuai hipotesis awal, ternyata kolega saya itu memang jagoan dalam tarik suara, dan secara otomatis kami kemudian mengkui bahwa gelar juara karaoke selingkungan kantor kami selama beberapa tahun itu adalah objektif (hingga akhirnya dia tidak lagi diizinkan menjadi peserta, dan diangkat menjadi ketua panitia lomba pada tahun ini).

Seorang rekan saya yang memang orang Surabaya menceritakan mengenai ”Rawon Setan”, yaitu kios yang menyajikan rawon sebagai hidangan utamanya akan tetapi hanya buka malam hari sampai subuh. Meskipun biasanya saya kurang menyukai rawon, tapi saya tertarik juga akan kekhasan cirinya. Maka, kami pun memutuskan untuk makan malam di Rawon Setan itu.

Awalnya, saya kira ”Rawon Setan” adalah julukan yang diberikan oleh masyarakat Surabaya karena kios tersebut hanya buka pada malam hari (sehingga otomatis, yang tahu mengenai kios ini hanya mereka yang memang gemar keluyuran malam). Ternyata, nama kiosnya memang benar-benar ”Rawon Setan”, dan terpampang jelas di spanduknya. Dan diluar dugaan, ternyata rawon yang satu ini memang benar-benar lezat. Dagingnya cukup banyak, dan saking banyaknya, nasi putih yang disajikan sebagai pelengkap sudah habis terlebih dahulu sebelum saya menghabiskan dagingnya (dan ini bukan karena nasinya sedikit!). Satu kondisi yang jarang saya temui. Kuah rawonnya gurih dan dagingnya benar-benar empuk. Tidak seperti masakan jawa lain yang menggunakan daging, bau amis pada rawon setan ini bisa dibilang hampir tidak ada. Dengan sambal yang menggoyang lidah, dilengkapi sebutir telur asin, saya merasa terpuaskan.

Ketika keesokan harinya saya pulang, saya rasa saya telah bisa menambah daftar kenangan buruk sekaligus kenangan manis saya di Surabaya. Yang buruk, tentu kejadian hampir dihinggapi kupu-kupu di hotel celaka yang saya tempati itu, dan yang manis, tentu, rawon setan.

Surabaya, walau bagaimanapun telah mengalirkan darahnya di setengah tubuh saya, karena ayah saya memang berasal dari kota ini. Dan sepertinya, di masa-masa mendatang, kunjungan saya ke kota yang satu ini masih akan berulang....

Keterangan, Sumber gambar :

- http://dementad.com/Reception/images/surabaya.jpg

- http://www.aseannewsnetwork.com/surabaya.jpg

Tuesday, October 10, 2006

Ada Berapa Matahari di Makassar ??

Lepas dari Samarinda, saya melanjutkan perjalanan ke Makassar.

Kesan pertama mengenai Makassar, apalagi kalau bukan panas. Tiba pada malam hari, sekitar pukul 21.00 WITA, saya segera kegerahan. Dalam bayangan saya, matahari pun terbit di kota ini pada malam hari. Tetapi, mengingat lokasi Makassar yang terletak di tepi pantai, saya rasa ini kondisi yang wajar. Angin berhembus membawa aroma amis sepanjang jalan.

Perjalanan dengan angkutan kota di Makassar benar-benar menyiksa. Anda kegerahan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dari hotel saya yang terletak di daerah pelabuhan, menuju ke kompleks kantor gubernuran di Jalan Urip Sumoharjo tidak sedekat yang saya kira. Saya agak menyesal sudah berpenampilan rapi sejak dari hotel, karena ternyata semua sia-sia ketika saya tiba di tujuan.

Karena tidak tahu jalan, saya duduk di depan, dan duduk santai bersandar di kursi sebelah pak supir yang sedang mengendali angkot (yang ternyata tak terlalu baik juga jalannya). Ternyata posisi ini adalah posisi yang salah. Matahari Makassar di pagi hari menyerang saya dari kaca depan, membuat saya mengucurkan keringat tanpa henti dari sekujur tubuh. Lemas.

Setibanya di tujuan, saya merasakan angin berhembus dari belakang, dan punggung saya terasa sejuk. Curiga dengan kondisi itu, tangan saya bergerak meraba punggung. Apa mau dikata, ternyata pakaian saya telah basah kuyup oleh keringat di bagian punggung, hampir seluruhnya. Sebelumnya, saya kira kondisi seperti ini hanya bisa terjadi di kereta ekonomi jabotabek. Ternyata, angkot-angkot Makassar pun menimbulkan kondisi serupa.

Selesai urusan di kantor gubernuran, darah petualang saya bergejolak, dan saya pun menolak tawaran menumpang taxi bersama seorang kawan sampai ke hotel. Inilah pertama kali saya berada di Makassar, setelah sebelumnya hanya sempat dua kali singgah di Makassar hanya bisa menginjak bandaranya untuk transit. Angkot kembali menjadi pilihan saya.

Tertarik dengan tulisan ”Unhas” pada angkot-angkot yang melintas, saya pun tergerak untuk mengunjungi perguruan tinggi yang satu ini. Ketika dulu masih kuliah, kampus saya beberapa kali kedatangan kunjungan dari mahasiswa Unhas, dan beberapa kali saya berjanji pada mereka untuk ganti mengunjungi Unhas. Saya rasa, janji itu baru bisa terlunasi saat ini.

Kampus yang cukup besar, dan saya rasa memang akan cukup melelahkan untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Berkeliling Unhas dengan angkot cukup menyenangkan, dan mengingatkan nostalgia akan masa-masa kuliah dulu. Tapi tentu, kawan-kawan yang dulu mengunjungi saya di Bandung juga sudah lulus dan entah dimana rimbanya.

Cukup banyak mall dan pusat perbelanjaan modern di Makassar. Tipikal kota besar yang sedikit membuat saya miris, karena saya tidak bisa melihat kultur atau budaya yang berbeda dengan kota-kota besar di Jawa. Tak disangka, ketika berjalan di depan Panakukang Trade Center, saya bertemu seorang pegawai bappeda yang saya kunjungi pagi itu di kantornya. Ajakan makan tak bisa saya tolak, meskipun dengan keterpaksaan karena ternyata lokasi makan yang dipilihnya adalah KFC (yang di hampir kota manapun bisa saya temui). Saya tanyakan padanya, mengapa dengan kondisi sepanas ini, makanan khas Makassar adalah coto. Bukankah itu akan membuat badan lebih panas bila dimakan pada siang hari? Dan ia hanya tertawa. ”Tidak juga”, katanya, ”kalau sudah terbiasa.” Jelas, saya belum terbiasa. Panas ini, saya rasa hampir sebanding dengan Yahukimo di Papua, walaupun tetap, Yahukimo lebih panas dan kering tanpa ada angin.

”Sebelum jam 10, sinar matahari di sini itu obat, tapi diatas jam 10, itu penyakit” katanya. Dan saya setuju. Saya rasa saya sakit.

Lelah dan mulai pusing karena terik matahari, saya putuskan untuk beristirahat di Mesjid Raya Makassar, atau setidaknya, ketika saya tanyakan pada supir angkot, Mesjid berwarna hijau inilah yang dikenal sebagai Mesjid Raya. Lucu juga, nuansa hijaunya sangat terasa karena cat eksterior dan interiornya didominasi warna hijau muda, diselingi sedikit hijau tua. Warna yang meneduhkan. Dan saya rasa, inilah tempat terteduh yang saya kunjungi di Makassar. Keteduhan dan angin sepoi-sepoi yang membuat saya enggan beranjak, dan terlelap sejenak.

Selepas Ashar di Mesjid Raya, saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Awalnya, sebenarnya saya berencana untuk mengunjungi Pantai Losari yang sudah tersohor itu. Akan tetapi, mengingat teriknya matahari dan panasnya udara, saya rasa pergi ke pantai pada saat-saat seperti ini sama saja mencari masalah. Saya rasa lebih baik saya ke pantai di malam hari.

Kembali menumpang angkot secara spekulatif (karena sebenarnya saya tidak tahu dimana letak hotel saya itu. Orientasi peta saya sedang agak kacau), saya kembali ke hotel, mandi, dan tertidur sampai jam 8 malam (mungkin karena terlalu pening). Saya rasa sudah terlalu malam untuk berkelana ke pantai, maka saya putuskan untuk sekedar mencari makan di luar saja.

Diluar perkiraan, Makassar ternyata cukup sepi pada malam hari. Biasaya, kota-kota dengan iklim sepanas ini punya kehidupan malam yang cukup ramai di seluruh sudut kota. Makassar justru sebaliknya (atau mungkin saya saja yang tidak tahu dimana titik-titik keramaiannya di malam hari). Berdasarkan info dari beberapa orang yang saya ajak berbincang, tempat yang ramai di malam hari, ya di Pantai Losari. Di tempat lain? Jarang.

Keesokan harinya, setelah sholat Jum’at dan menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan di kantor Bappeda Sulsel, saya terpaksa ke Bandara Makassar untuk menyelesaikan beberapa permasalahan terkait dengan tiket saya kembali ke Jakarta.

Jalan menuju bandara dari Makassar yang hanya satu-satunya ini tidak dilengkapi dengan lampu jalan barang satu pun. Di kanan-kirinya banyak terdapat pabrik-pabrik besar. Saya pikir, jalan yang resminya hanya terdiri dari 2 jalur mobil ini (berupa 2 lajur bolak-balik) ini tentu mengalami kemacetan rutin di pagi dan sore hari (waktu-waktu kedatangan dan kepulangan para pekerja), dan rawan perampokan di malam hari. Jalan ini perlu lampu.

Malam itu, saya putuskan untuk mengunjungi Losari, karena saya harus pulang ke Jakarta keesokan harinya. Maka dari bandara, taksi langsung saya minta meluncur ke Losari.

Sopir taksi yang ramah. Banyak bercerita tentang kehidupan di Makassar, selain cerita tentang perjuangan hidup sebagai supir taksi tentunya. Taksi itu menghidupi dua keluarga, yaitu keluarga sopir saya itu dan keluarga adiknya. Ia dan adiknya bergantian dalam bekerja. Adiknya biasanya menarik taksi di siang hari.

Cukup untuk makan seadanya, katanya. Sebenarnya cukup untuk makan mewah, tapi tentu harus mengorbankan anak-anak tidak sekolah. Tentu, pendidikan untuk anak-anak nomor satu. Makan masih bisa menunggu. Beginilah katanya, nasib hidup di kota besar tanpa korupsi. Harus banyak-banyak mengurut dada, menyabarkan hati. Toh, bukan berarti kebahagiaan tidak bisa dimiliki.

Losari...

Sejujurnya, saya kecewa.

Tujuan saya mengunjungi pantai sebenarnya adalah untuk mencari angin. Maksud saya, benar-benar mencari angin. Bukan sekedar perumpamaan. Saya ingin merasakan angin laut menerpa wajah saya, sambil merasakan pasir di kaki saya, dan sesekali merasakan hangatnya air laut. Suasana yang menenangkan, sambil mendengarkan deburan ombak. Setidaknya, kalaupun saya mau ke pantai (biasanya saya lebih suka gunung), suasana itulah yang saya cari.

Tapi ternyata, Losari jauh dari harapan saya. Alih-alih merasakan pasir dan ombak, saya harus puas melihat bahwa tepian laut rupanya telah ditembok/dibendung dan langsung berbatasan dengan jalan raya. Maka, tidak ada pasir yang tersisa. ”Pantai” secara denotatif sebenarnya sudah tidak ada. Dan yang menjadi obyek hiburan di sana ternyata adalah : CAFE. Cafe, cafe, dan cafe lagi sepanjang jalan. Ada juga kapal mengapung agak ke tengah laut, dan untuk mencapainya perlu menyewa perahu atau sepeda air. Kapal itu pun, tak lain, adalah cafe juga. Ada juga kawasan wisatanya (yang katanya disinilah pusat keramaian muda-mudi di waktu malam itu), yang ternyata juga berupa kumpulan cafe-cafe. Dan cafe lagi.

Yap, ternyata gaya hidup ala metropolitan Jakarta memang tak bisa ditahan penyebarannya. Saya rasa, tidak perlu jauh-jauh ke Makassar dan tidak perlu juga jauh-jauh ke pantai untuk sekedar makan atau minum di cafe. Apalagi, kawula mudanya pun ternyata sama saja (atau minimal, sepertinya ingin dipersamakan) dengan saudara-saudaranya di Bandung atau Jakarta. Yang jelas, sebagian diatara mereka, yang saya perhatikan, nampaknya begitu senang dan bangga ketika oleh teman-temannya diberi predikat sebagai ”anak gaul”. Mendengar istilah ini, seorang remaja putri kemudian tertawa dan berkata ”iya dong. Gue gituloh. Ngapain juga jadi kuper? Gaul dong! Hahahahaha.”

Dan akhirnya, saya memilih warung rokok di tempat paling sepi yang saya temukan di kawasan itu, mencari posisi di pinggir laut, membeli teh botol, dan menikmati rokok sambil menikmati angin laut dan obrolan ringan dengan pemilik warung. Seorang ibu dengan anak-anaknya yang nakal. Anak-anaknya itu, bekerja juga, mengamankan motor yang diparkir di kawasan itu. Lumayan untuk menambah pemasukan warung. Hingar bingar musik di cafe sebelah, dengan terpaksa, harus saya dengar juga.

Gaul ya? Entah kenapa, saya tidak suka istilah itu, tidak suka pada gaya hidup yang diasosiasikan dibelakangnya. Mungkin saya lebih suka seperti ini, sepi, diam, sendiri. Kuper mungkin?

Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju bandara untuk pulang ke Jakarta, saya masih terheran-heran pada bagaimana matahari bisa secara intens dan konstan memberikan panas yang sedemikian ini selama 3 hari 3 malam saya berada di Makassar. Panas yang membuat lemas. Saya terigat pada analisis Ibnu Khaldun dalam buku Muqodimah mengenai pengaruh iklim suatu daerah terhadap karakter penduduk daerah tersebut. Dikatakan bahwa, daerah-daerah yang panas biasanya membuat roh manusia juga cepat kegerahan, dan karenanya, menjadi lebih ekspresif. Dalam kondisi bahagia atau senang, karakter mereka adalah cepat tertawa, bahkan menari, berteriak-teriak, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sedih atau marah, temperamennya juga bisa naik dengan sangat cepat. Cepat menangis, dan cepat juga beringas. Yah, semoga saja, yang banyak kita dengar nanti dari Makassar adalah suara tawa, bukan suara kemarahan.

Meninggalkan Makassar, saya cukup menyesal karena tidak sempat mengunjungi Fort Rotterdam, benteng peninggalan Belanda di Makassar ini. Ah, semoga bisa lain waktu. Dan ketika pesawat mulai tinggal landas, saya berusaha melihat keluar jendela. Penasaran, ada berapa matahari yang menyinari kota ini....

Tuesday, October 03, 2006

Degradasi Mimpi ??

Perbincangan dengan Erfan beberapa waktu lalu memunculkan sebuah prasangka baru dalam otak saya.

Ya, saya rasa cukup wajar bagi seorang manusia untuk berprasangka, terlepas dari apakah itu prasangka baik atau buruk. Meski memang, hampir semua kata-kata mutiara dan petuah bijak agama akan lebih menyarankan anda untuk berprasangka baik, dan meninggalkan prasangka buruk. Dan harus saya katakan, petuah-petuah itu lebih banyak benarnya. Ini terkait dengan persepsi. Prasangka baik akan membuat anda memiliki persepsi baik pula terhadap dunia. Sebaliknya, prasangka buruk akan menyiksa batin anda dengan perasaan waswas, dan persepsi buruk akan segala hal di sekeliling anda.

Tapi kalau kali ini yang muncul adalah prasangka buruk…. Mau bagaimana lagi?

Topik obrolan saya dengan Erfan itu sebenarnya tidak terlalu mutakhir. Masih seputar laga-laga popularitas yang saat ini begitu marak di televisi, apakah itu dengan mengambil tema lomba tarik suara, lomba menari, sampai lomba menjadi da’i dan ustadz. Dari beragam jenis acara tersebut, intinya tetap sama, para kontestan unjuk kebolehan, cari penggemar secara instant, lantas menyerahkan nasib eksistensinya di acara tersebut pada sms yang dikirimkan oleh pirsawan televisi (dengan tarif sms diluar kewajaran).

Saya tidak ingin berbicara mengenai objektivitas penilaian dalam lomba-lomba tersebut, karena tentu di dunia maya ini sudah banyak yang menggugat soal itu. Gugatan yang dalam banyak hal juga saya setujui. Toh para alumnus jebolan lomba-lomba nyanyi semacam ini, alih-alih eksis di dunia nyanyi-menyanyi profesional, seringkali malah dijerumuskan kedalam dunia persinetronan. Padahal kontesnya bukan kontes mencari aktor/aktris, tapi, siapa yang peduli?

Saya rasa memang ada sedikit latihan drama teatrikal pada kontes-kontes tadi, yaitu pada saat semua kontestan berlomba-lomba menangis atau minimal menunjukkan mimik sedih ketika ada kontestan yang harus dipulangkan. Masyarakat kita nampaknya memang begitu tertarik pada aksi teatrikal semacam ini.

Yang saya perbincangkan dengan erfan ketika itu lebih pada efek psikologis yang kami curigai mulai menggejala pada generasi muda bangsa ini, terkait dengan acara-acara pempopuleran diri secara instan tadi. WOW !! apakah topik diskusi kami terkesan bombastis? Yah, nggak gitu-gitu amat seeh…

Semua dimulai dari sebuah ucapan berbau tuduhan dari erfan yang kira-kira berbunyi seperti ini :

“Gara-gara acara-acara gitu, bisa-bisa anak-anak jaman sekarang nantinya cita-citanya malah pengen jadi artis semua.”

“Lha, apa masalahnya dengan itu?” (Tanya saya menyelidik)

“Ya gapapa sih… cuma kayaknya, kalo dulu orang punya cita-cita misalnya jadi dokter, ato jadi pilot, ato jadi guru kek, cita-cita yang lebih banyak ngasih atau pengabdian buat orang lain. Kalo sekarang, kayanya orientasi cita-cita jadi lebih ke pemuasan diri sendiri. Pergeseran orientasi dari memberi ke menerima”

Hmmmm…. Yaaaa….

Sebenarnya prasangka semacam ini akan mampu dengan mudah dipatahkan oleh selebritas manapun. Tentu yang akan diangkat adalah “bahwa menjadi artis yang menghibur masyarakat pun adalah sebuah profesi mulia, karena masyarakat butuh hiburan, dan memberi hiburan pada masyarakat pun adalah sebuah pengabdian.” Kemudian akan disambung dengan ungkapan yang PALING SAYA BENCI, yaitu “diserahkan ke masing-masing pribadinya lah, niatnya apa dengan menjadi artis itu.” Kenapa saya benci dengan jawaban penyerahan ke pribadi masing-masing itu (untuk konteks apapun)? Karena jawaban semacam ini menutup pintu diskursus lanjutan, dan terkesan membiarkan terjadinya keburukan apabila diasumsikan bahwa masih ada yang baik. Jawaban semacam ini biasanya final (mau disanggah bagaimana lagi coba?), dan apabila digunakan untuk semua segi kehidupan, maka tidak akan ada bedanya peradaban manusia ini dengan hukum rimba yang tanpa aturan.

Benar bahwa Allah SWT menilai perbuatan seseorang itu berdasarkan niatnya, niat pribadinya. Meski begitu, kita tetap tidak bisa menutup mata bahwa apabila sesuatu itu dirasa lebih banyak mudhorotnya bagi masyarakat, maka sesuatu itu harus kita gugat.

Kembali ke topik, memang agak sulit untuk menganalisis apa motivasi seseorang untuk menjadi populer (dan menjadi artis). Akan tetapi, melihat animo masyarakat yang (nampak) sangat besar untuk mengikuti ajang-ajang cari bintang tersebut (dapat dilihat dari padatnya calon kontestan yang berbondong-bondong ikut audisi), sepertinya sebagian masyarakat kita memang begitu berminat untuk menjadi artis. Untuk menganalisis perilaku massal seperti ini, maka motivasinya juga tentu terkait dengan sesuatu yang bersifat massif pula. Dan jendela utama masyarakat untuk mengintip kehidupan dunia selebritas secara massif itu, tentu adalah televisi.

Televisi memang menyediakan dunia mimpi yang indah. Kecantikan yang tiada habisnya, gemerlap dunia, dan kekayaan duniawi yang seolah begitu mudah diraih, adalah hal-hal yang melenakan dari dunia pertelevisian. Segalanya memang harus terlihat gemerlap di layar kaca. Semuanya harus cantik. Dalam sebuah sinetron, entah seorang artis berperan sebagai pengemis, supir metromini, petani, pengamen, atau direktur perusahaan besar, atau menjadi presiden, menjadi apapun, tetap harus terlihat cantik dan tampan. Sinetron memang keterlaluan. Sangat jarang sebuah sinetron menjelaskan perjuangan seorang karakternya untuk menjadi kaya, atau apa pekerjaannya, tapi selalu digambarkan bahwa uang bukan masalah. Selalu ada uang untuk mentraktir makan di restoran mewah, membeli mobil mahal, atau sekedar berjalan-jalan dan belanja tanpa melihat harga. Paling banter digambarkan kalau kekayaannya itu didapat dari perusahaan, tanpa menjelaskan perusahaannya itu bergerak di bidang apa. Yang penting kerjanya pakai kemeja, jas dan dasi. Ini kalau si karakter digambarkan sudah berusia cukup matang. Kalau sinetronnya tentang dunia remaja atau anak muda lebih parah lagi, lebih tidak jelas darimana seorang anak muda bisa punya mobil atau uang untuk gaya hidup seperti itu, paling banter digambarkan kalau orang tuanya kaya... pokoknya kaya! Titik.

Dunia yang membuat orang-orang bertampang pas-pasan (bahkan cenderung menengah kebawah) seperti saya ini hanya bisa gigit jari dan dianggap iri hati.

Yang lebih parah lagi tentu adalah infotainment. Dalam gosip-gosipan semacam ini, dunia mimpi sinetron seolah direplikasi dalam dunia nyata. Segala permasalahan yang digosipkan dalam infotainment tetap dibungkus dalam gemerlap gaya hidup sinetron. Bila anda jarang menonton infotainment, anda tentu akan tercengang melihat bagaimana perselingkuhan, perceraian, sampai persengketaan antara anak dan orang tua bisa dibungkus sedemikian rupa seolah hal-hal seperti itu memang pantas untuk dipergunjingkan secara nasional. Apalagi, semuanya disajikan seolah tanpa beban moral atau mental dari si pelakunya. Cerai? Ya sudahlah, sudah biasa kok. Selingkuh? Namanya juga dunia modern. Kebahagiaan artifisial tetap ditonjolkan, dan kesalehan virtual yang sifatnya kondisional terkadang mengemuka. Segala pertanyaan biasanya kemudian akan dijawab dengan penyerahan pada Tuhan, dan menonjolkan kepribadian yang seolah bijak. Nampak indah bukan? Apalagi secara tersirat tetap ditonjolkan bahwa, uang bukan masalah.

Dengan mimpi-mimpi massif seperti ini, bisakah kita mencoba memperkirakan motivasi seseorang untuk berjuang menjadi artis?

Dalam teori Maslow mengenai perkembangan kedewasaan seorang manusia, digambarkan bahwa tingkatan terendah dari seorang manusia adalah apabila ia masih berorientasi pada pemenuhan kepuasan perut, sementara tingkatan tertinggi adalah apabila ia sudah mencapai tahap aktualisasi diri. Saya rasa dunia selebritas, dan keinginan untuk menjadi selebritas, secara ekstrim terletak dalam dua tingkatan ini. Jangan menafsirkan kepuasan perut sebagai pemenuhan kebutuhan akan makanan saja. Saya lebih mengartikan pemenuhan kepuasan perut sebagai usaha pemenuhan kepuasan-kepuasan pribadi atau untuk diri sendiri. Maka, itu termasuk kecintaan akan pengumpulan uang, sampai pencarian popularitas untuk kepuasan diri. Sementara aktualisasi diri, saya pahami sebagai peningkatan orientasi dari pemuasan diri sendiri menjadi pengabdian untuk masyarakat. Artinya, diri sendiri diaktualisasikan dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya dia menjadi bermanfaat bagi masyarakat itu, dan leburlah ke-aku-annya dalam masyarakat dunia. Sekarang, motivasi mana yang menurut anda tergambar dalam dunia selebritas?

Bagaimanapun, acara-acara pencarian bintang itu saya rasa sudah mencapai batas kemuakan pribadi saya. Kalau soal ajang menyanyi yang para alumnusnya menjadi artis sinetron, tidak terlalu bermasalah sebenarnya, toh saya rasa bagi mereka yang penting adalah menjadi artis. Tapi yang kadang membuat saya risih adalah sentimen-sentimen primordial dalam acara-acara itu. Seberapa sering anda mendengar seorang kontestan yang berasal dari Ambon misalnya, begitu yakin kalau masyarakat Ambon akan mendukungnya? Nampaknya ia begitu yakin sehingga yang diucapkannya adalah : ”orang Ambon, dukung saya ya!!” Demikian juga dengan kontestan dari Papua misalnya, yang berteriak lantang, ”saya yakin orang Papua dukung saya”, dan kontestan dari Medan bilang ”orang Medan, dukung saya ya!!”, lalu orang jawa DALAM BAHASA JAWA, meminta dukungan dari seluruh etnik jawa di tanah air. Hampir semua kontestan dari semua etnik bicara seperti itu. Kok jadi kesukuan begini sih? Apakah pencarian sms dukungan sampai bisa melunturkan semangat berbangsa? Tapi toh sepertinya format acaranya mendukung itu, karena setiap kontestan memang dikesankan ”mewakili” suatu daerah.

Yang kemudian membuat saya hampir muntah darah adalah ketika ada iklan rencana program pencarian ustadz/ustadzah dengan format acara serupa. Ada 5 kontestan yang diiklankan di situ. Yang pertama, setelah mengucap salam kemudian berkata dengan yakin sambil menunjuk kamera ”Pilih saya!”. Yang kedua, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilih saya ya, karena saya ustadz yang ganteng”. Yang ketiga, berdandan dan bergaya bicara dimirip-miripkan dengan seorang ustadz kondang asal bandung yang berinisial AAG, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilihlah saya!”. Yang keempat, seorang wanita memakai jilbab dengan rambut bagian depan masih ditampakkan, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilih saya ya, saya ustadzah yang cantik dan banyak penggemar lho”. Yang kelima setali tiga uang, meminta dukungan atas kegantengannya.

Apa anda pernah melihat iklan itu? Saya hanya sempat melihatnya 3 kali. Tidak saya sebutkan stasiun televisinya disini, karena bisa dianggap pencemaran nama baik. Tapi entah, sekarang-sekarang ini nampaknya iklan (dan mungkin rencana acara itu) sudah ditarik dari peredaran. Yang jelas, iklan itu membuat saya menyesal menonton TV (karena itu tadi, membuat muntah darah). Ternyata jaman sekarang televisi mengakomodir orang-orang yang ingin menjadi ustadz kondang bukan dengan nilai-nilai spiritualitas, tetapi dengan dukungan sms atas kegantengan/kecantikan mereka. Erfan tentu akan menggolongkan ini kedalam ”Islam sebagai komoditi”.

Terhadap acara pemilihan da’i kecil yang melibatkan banyak sekali anak-anak, saya hanya bisa berdoa... ”Ya Rabb, luruskanlah niat mereka...”

Topik ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis, tapi selalu tertunda. Ada satu kejadian yang akhirnya mendorong saya menuliskan ini.

Ketika pada suatu hari saya berkunjung ke rumah nenek saya, seperti biasa kami sekeluarga besar berkumpul. Iseng-iseng saya bertanya pada sepupu saya yang baru berumur 6 tahun. Nama panggilannya Ipang. Saya tanyakan sambil bercanda ”Nanti Ipang kalau sudah besar mau jadi apa?”. Dia jawab ”Mau jadi artis aja ah. Enak, kaya terus banyak fansnya!”. Kontan semua tertawa.... sementara saya tersenyum kecil sambil miris dalam hati. Menyesal sudah bertanya.

Apakah memang telah terjadi pergeseran mimpi pada manusia? Mimpi untuk menjadi bermanfaat bagi banyak orang perlahan bergeser menjadi mimpi untuk pemuasan diri dan penumpukan kekayaan? Padahal sabda Rasulullah SAW masih terngiang, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Apakah memang telah terjadi degradasi mimpi? (Dikasih akhiran begini, supaya terkesan nyambung sama judulnya)