Monday, August 28, 2006

Berdarahkah Tuan Yang Duduk Di Belakang Meja? (Cerita-cerita dari Kereta, episode 11)

Kalau saya tidak salah mengingat tanggal (sekedar pengakuan, perkara tanggal dan waktu ini sebenarnya adalah salah satu kelemahan saya... dan itulah sebabnya mengapa saya tidak pernah ingat ulang tahun orang...), peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Mei 2006.

Pagi itu sebenarnya pagi yang cerah, bahkan menjurus panas. Pada bulan Mei tersebut saya sudah mulai terbiasa untuk naik KRL jurusan Jakarta Kota pemberangkatan pukul 7.44 WIB, dan mulai meninggalkan KRL jurusan Tanah Abang pemberangkatan pukul 7.20 WIB. Pada pagi hari tanggal 11 Mei 2006 itu, saya tidak terlalu terlambat. Sesuai perhitungan, saya tiba di stasiun besar Bogor sekitar pukul 7.18 lewat 4 detik (halah, sok ngitung!). Maka saya segera bergegas menuju peron untuk mengejar kereta tanah abang (seperti biasa, gerbong 3 jadi incaran). Akan tetapi, fenomena yang saya lihat di stasiun pagi itu sungguh tidak terduga...

Aneh... sudah jam segini, tapi wajah-wajah yang biasa mengisi gerbong 3 kereta tanah abang (pemberangkatan 7.20)maupun kereta ke kota (pemberangkatan jam 7.44) masih berkeliaran di peron stasiun. Lebih aneh lagi, dari 8 jalur rel di Stasiun Besar Bogor, ada 5 jalur yang terisi, semuanya KRL ekonomi, dan semuanya kosong. Bukannya mengisi gerbong-gerbong kereta, pagi itu, para calon penumpang bergerombol di peron-peron stasiun. Saya perkirakan berkisar beberapa ratus atau mungkin sampai angka 1000an orang yang memadati peron-peron stasiun. Jelas ada masalah...

Selidik punya selidik, dari beberapa calon penumbang yang berwajah familiar (atau famiLIEUR), saya memperoleh informasi bahwa KRL dari jam 6.30 tidak ada yang jalan, entah karena alasan apa. Kabarnya, ada alat (apa gitu saya tidak terlalu tahu) di pos pengendali stasiun yang mengalami gangguan. Akan tetapi, tetap aneh karena kereta ekspres pukul 7.00 dan 7.15 bisa tetap diberangkatkan. Kalau alat di stasiun ada yang rusak, kenapa cuma KRL ekonomi yang tidak diberangkatkan? Berita menjadi simpang siur karena tidak ada pengumuman resmi maupun informasi dari petugas stasiun.

Orang-orang semakin gelisah, gundah, marah.

Bagi siapapun yang mengetahui sedikit saja tentang manajemen massa, tentu paham bahwa berkumpulnya massa yang tidak terkoordinir dalam jumlah besar di satu titik pada satu waktu sangat potensial untuk berkembang menjadi kerusuhan, atau minimal keributan. Apalagi, ada kondisi yang menjadi ”musuh bersama”, yang dalam hal ini adalah kondisi tidak jalannya KRL ekonomi tanpa disertai info apapun.

Dan benar saja...

Dari sayap utara, segerombolan orang mulai terdengar berteriak-teriak menuntut penjelasan dari pihak petugas stasiun. Beberapa lama ditunggu, penjelasan yang dinanti tak kunjung datang. Suasana mulai bertambah panas. Sebagian calon penumpang memilih pergi dari stasiun, nampaknya ingin naik bus dari terminal baranang siang. Akan tetapi, sebagian besar memilih bertahan, entah untuk melampiaskan kemarahan atau karena tidak ada uang untuk naik bus. Di beberapa sudut mulai terdengar kata-kata yang paling berbahaya untuk diucapkan dalam suasana seperti itu : ”Ancurin!”, ”Bakar!”, dan kata-kata sejenisnya.

Beberapa orang mencoba memasuki kantor pengurus stasiun, mencoba mendapat penjelasan, mungkin dengan tujuan untuk menenangkan massa yang lain. Akan tetapi, orang-orang yang masuk ke kantor stasiun itu kemudian malah terlihat dikeluarkan dengan paksa dari kantor stasiun. Beberapa teriakan terdengar. Marah. Sebagian mulai menyerbu ke kantor stasiun, namun masih dapat dikendalikan. Sebagian orang yang awalnya duduk di dalam gerbong-gerbong kereta bermunculan keluar, menambah penuh peron-peron.

Tak lama kemudian, kira-kira pukul 7.30, terjadilah...

Sekelompok pria mengambil batu-batu dari rel, besar maupun kecil, lalu melemparkannya ke arah stasiun, kantor stasiun, jam gantung, dan... apa saja yang bisa dilempar.

Mereka bergerak menyisir dari sayap utara, ke sayap selatan, dan apa-apa yang terlihat di depan mereka, terkena lemparan batu.

Orang-orang (pria dan wanita) bersorak-sorak sambil bertepuk tangan : ”NAH! GITU! ANCURIN SEKALIAN!! BAKAAAAR!!!”.

Mereka yang di sayap selatan sibuk menyemangati (wow, provokator sekaleeee) dan melompat-lompat seperti habis minum ekstasi (sok berima, padahal ga nyambung). Yang lain cukup menonton saja.

Saya dan beberapa orang lain yang masih memakai kepala dingin (abis minum teh botol pake es), mengingatkan sekelompok ibu-ibu yang menonton di dekat kantor stasiun. Bukan apa-apa, mereka juga bisa kena lemparan batu. Seolah terjaga dari mimpi, mereka lalu bergegas mengungsi ke sayap selatan stasiun, dekat WC umum dan mushola.

Seorang bapak-bapak bertindak heroik. Lemparan batu mulai tidak terkendali, mulai mengarah ke toko dunkin donut dan warung-warung di stasiun (yang tentu tidak ada sangkut pautnya dengan mandegnya kereta). Si bapak tadi, tanpa mempedulikan batu-batu yang bisa saja mengenainya, berdiri di depan dunkin donut sambil mengangkat kedua tangan, menyetop lemparan batu supaya tidak mengenai mereka yang tidak bersalah. Ya, bisa jadi si bapak itu pemberani, tapi saya lebih menyebutnya ”gegabah”.

Penyisiran berhenti, pelemparan batu terus berlanjut, mengarah ke kantor stasiun, meskipun kaca-kaca dunkin donut sudah terlanjur pecah. Tak lama kemudian, barang-barang yang melayang makin mengagetkan. Bangku-bangku panjang dari warung mulai ikut melayang, memecahkan kaca-kaca. Setelah itu, TONG SAMPAH (berupa drum perukuran pendek) pun mulai lepas landas, dan mendarat sembarangan. Luar biasa kacau beliau (balau)....

Para petugas stasiun berhamburan entah kemana. Beberapa petugas yang saya kenali wajahnya ternyata telah berganti baju, menyamar, dan... ikut tepuk tangan.

Sebagian massa mulai meninggalkan stasiun.

Tak lama kemudian, polisi datang (tidak banyak, jumlah dibawah 10 orang, beberapa diantaranya pejabat polres). Melihat kondisi massa, mereka mengambil langkah simpatik untuk menenangkan massa. Seorang pejabat polres berbicara melalui corong resmi stasiun, dan mengatakan bahwa KRL-KRL akan segera diberangkatkan, dengan terlebih dahulu mengucapkan salam dan permohonan maaf. Salut! Tanpa kekerasan, kerusuhan dapat dikendalikan.

Memang, tak lama kemudian, sekitar pukul 8.00, 4 kereta langsung diberangkatkan berturut-turut. Para calon penumpang langsung menyerbu kereta-kereta, dan diberangkatkan. Menyisakan kerusakan, kerusuhan berakhir... tanpa ada yang sibuk mencari kambing hitam.

-----

Terjadinya kerusuhan itu menurut saya cukup patut disesali...

Bagaimanapun, kemarahan para calon penumpang tadi cukup bisa dimengerti. Terkadang memang banyak yang tidak memikirkan, kalau ketepatan jadwal kereta kadang sangat berarti bagi para pengguna KRL. Banyak alasannya. Selain menghindari kemarahan bos, ada juga perusahaan-perusahaan (dan instansi) yang misalnya hanya memberi jatah uang makan siang pada karyawan yang datang tepat waktu. Ada yang janjian sama orang, ada yang mau cepat-cepat jualan di pasar, ada yang mau ini, ada yang mau itu. Apapun alasannya, memang tidak manusiawi untuk membiarkan para calon penumpang yang memiliki sejuta mimpi dan rencana itu dalam kebimbangan dan ketidakjelasan jadwal kereta (halah, bahasanya...).

Tapi...

Para pelaku kerusuhan itu, para calon penumpang yang marah itu, bisa dibilang salah sasaran. Kalau ada satu jenis konflik dalam masyarakat yang paling saya sesalkan, itu adalah konflik horizontal. Konflik antar sesama kelompok masyarakat yang senasib.

- mmm... maksud lu apaan sih wan? -

Maksud saya, walau bagaimanapun, kondisi sosial ekonomi yang menyelimuti para karyawan, para pekerja, juga dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil oleh para bos. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan teknis, seringkali para karyawan hanyalah orang yang melaksanakan kebijakan, bukan membuat. Maka, kalaupun ada kemarahan terhadap suatu sistem, semestinya tidak dialamatkan pada para petugas stasiun yang hanya menjalankan perintah atasan. Semestinya justru dialamatkan pada para pembuat kebijakan itu! Lebih jauh lagi, kekecewaan terhadap sistem perkereta-apian di Indonesia semestinya dialamatkan pada para petinggi PT KAI, dan Menteri Perhubungan!! Bukan pada para petugas stasiun, penjaga langsiran, penjaga pintu perlintasan, dan kawan-kawannya.

Lha wong sama-sama RBT kok... (Keterangan : RBT = Rakyat Banting Tulang)

Tentu, kerusuhan tersebut sebenarnya hanyalah puncak-puncak kecil dari sebuah gunung es permasalahan di dunia perhubungan dan transportasi di Indonesia. Ia bukanlah penyakit itu sendiri, melainkan hanya gejala-gejalanya. Meski begitu, menyelidiki gejala adalah salah satu pendekatan dalam menemu-kenali penyakit.

Permasalahan dalam manajemen perkereta-apian di Indonesia, sayangnya, memang hanya banyak dibahas apabila terjadi letupan-letupan seperti ini saja, termasuk bila terjadi kecelakaan kereta. Itu pun, biasanya hanya terhenti pada sebab-sebab klise seperti kelalaian petugas persinyalan, kelalaian penjaga pintu perlintasan, kereta yang terlalu padat, sampai terlalu banyaknya penumpang yang naik di atap (pada kasus ambruknya atap kereta beberapa waktu lalu). Setelah itu ditutup dengan permintaan maaf dan ucapan belasungkawa dari para petinggi dephub atau PT KAI. Kadang ada juga isu-isu mundur-tidaknya pejabat, yang kemudian lebih sering berujung pada : tidak jadi mundur. Tentu dengan alasan bahwa mundur tidaknya satu orang belum tentu bisa menyelesaikan permasalahan.

Alasan tersebut, secara jujur bisa kita katakan benar. Memang belum tentu. Tapi bukan berarti lantas berhenti melakukan langkah-langkah perbaikan. Mundur atau tidak semestinya merupakan sebuah perwujudan pertanggungjawaban. Kalaupun tidak mundur, pertanggungjawaban itu harus terwujud dalam perbaikan secara signifikan.

Apakah akan dipakai alasan waktu (dalam pengertian, tidak mungkin ada perbaikan signifikan dalam waktu singkat) ? Kalau ya, maka bisa saya katakan bahwa alasan seperti itu sama sekali TIDAK RELEVAN. Mengapa? Karena permasalahan seperti itu bukan barang baru, dan alasan-alasan yang dikemukakan juga bukan barang baru. Coba lihat, sejak kapan ada kecelakaan kereta ekonomi? Sejak dulu bukan? Sejak kapan ada orang naik di atap? Sejak dulu bukan? Sejak kapan petugas persinyalan atau penjaga pelintasan dipersalahkan? SEJAK DULU JUGA BUKAN? LANTAS KENAPA SETELAH INDONESIA (KATANYA) MERDEKA SELAMA 61 TAHUN INI MASALAH YANG SAMA MASIH BERULANG??

--- tenang wan.. tenang... jangan emosi... ---

Lho, JELAS DONG SAYA EMOSI !!! tapi kepala tetap dingin (semoga).

Berapa sih dari kita, dan berapa sih dari para pejabat kereta dan dephub yang pernah memikirkan, bahwa orang-orang yang menjadi ujung tombak dunia perhubungan di negeri ini justru menjadi kalangan yang paling kecil gajinya di dephub atau PT KAI??

Berapa sih yang memikirkan kalau seorang penjaga pintu perlintasan kereta masih perlu mencicil 3 bulan sebelum lunas membeli sebuah termos? (beritanya pernah saya tonton di sebuah liputan tipi, yang saya lupa judulnya apa, dan stasiun tipinya juga)

Padahal keselamatan banyak orang berkorelasi langsung dengan ketekunannya menjalankan tugas.

Terkadang, kita lebih sering (dan lebih mudah) mencerca seorang petugas pemeriksa karcis yang mengutip uang barang seribu dua ribu dari penumpang yang tidak memiliki karcis, tapi kita luput memperhatikan korupsi besar-besaran di dephub yang memaksa kondisi itu terjadi (kondisi dimana korupsi menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka yang tidak berjabatan).

TIDAK! Saya tidak sedang membenarkan alasan terjadinya korupsi. Hanya saja, saya membagi korupsi menjadi dua golongan besar, yaitu corruption by need (korupsi karena kebutuhan) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan). Keduanya patut ditumpas habis. Tetapi, saya memandang bahaya korupsi karena keserakahan jauh lebih berbahaya, lebih busuk, lebih jahat, dan lebih patut ditumpas terlebih dahulu. Mengapa? Karena ia menciptakan sebuah sistem. Sebuah sistem yang kemudian membuahkan korupsi karena kebutuhan bagi kelas di bawahnya.

- Hmmm... kok jadi teori kelas sosial ya? Mulai ngelantur nih... -

ya...

kadang suka aneh juga, dari sekian banyak kecelakaan kereta yang terjadi di Indonesia, kenapa sebagian besar melibatkan kereta ekonomi ya? Kereta rakyat kecil... apakah golongan masyarakat terbesar di Indonesia ini tak punya hak untuk mendapat jaminan keamanan yang sama dengan para penumpang argo?

Kereta bangsa Indonesia... bangsa yang belum lagi lepas dari budaya keterjajahan. Bangsa yang anak-anaknya yang kaya kemudian menjelma menjadi penjajah bagi saudara-saudaranya yang lebih miskin.

Saat menuliskan ini... saya sedang mendengar lagu ini :

1910

- Iwan Fals –

Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah

Air mata...air mata....

Belum usai peluit... belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi cacatan sejarah

Air mata...air mata

Berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapan bela sungkawa
Aku bosan....

Lalu terangkat semua beban di pundak
Semudah itukah luka-luka terobati

Nusantara...tangismu terdengar lagi
Nusantara....derita bila berhenti

Bilakah...bilakah.....

Sembilan belas Oktober...tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah

Air mata...air mata

Nusantara....langitmu saksi kelabu
Nusantara....terdengar lagi tangismu
Nusantara....kau simpan kisah kereta
Nusantara....kabarkan marah sang duka

Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang
Saudaraku pergilah dengan tenang

NB : Buat yang bingung kenapa judul postingan ini terkesan ”angker” sekali, sy cuma mengutip dari syair lagu ini...

Friday, August 25, 2006

Jawaban SMS

kawan-kawan semuaaaaa!!!!!1

masih inget postingan saya yang ini kan?
http://awandiga.blogspot.com/2006/06/doktrinasi-cerita-cerita-dari-kereta.html
itu loh, tentang lagu sms, yang liriknya begini :

ria amalia - sms

Bang sms siapa ini bang
Bang pesannya pakai sayang sayang
Bang nampaknya dari pacar abang
Bang hati ini mulai tak tenang

Bang tolong jawab tanya ku abang
Bang nanti hape ini ku buang
Bang ayo donk jujur saja abang
Bang kalau masih sayang

Kalau bersilat lidah memang abang rajanya
Sudah nyata abang salah masih saja berkilah

Orang salah kirimlah
Orang iseng isenglah
Orang salah kirimlah
Orang iseng isenglah

Mulai dari sekarang
HP aku yang pegang

Nah, ternyata eh ternyata...
lagu itu emang BENERAN balesannya loooh....
kaya gimana balesannya?
check this out (halah... kamana atuh cekdisaut :p???)

Yang SMS yang kau baca sayang
Yang bukannya dari pacar abang
Yang jangan kau marah dulu sayang
Yang malu nanti didengar orang

Yang sabar dong, sabar, sabar sayang
Yang biar kucoba menjelaskan
Yang percaya saja sama abang
Yang hanya kau kusayang

Jujur abang berkata, bukan bersilat lidah
ku berani bersumpah karna tidak bersalah
Orang salah kirim tuh, orang iseng-iseng tuh
Orang salah kirim tuh, orang iseng-iseng tuh
Kumohon kepadamu, kembalikan hpku

Yang SMS yang kau baca sayang
Yang bukannya dari pacar abang
Yang jangan kau marah dulu sayang
Yang malu nanti didengar orang

Yang sabar dong, sabar, sabar sayang
Yang biar kucoba menjelaskan
Yang percaya saja sama abang
Yang hanya kau kusayang

Oke?
maap, belom tau nama penyanyinya siapah...
tapi, eniwey...
mari kita nyanyikan bersama =D

buat yang gatau nadanya, yah, manyun aja deh...

NB : lucu juga ya, nyiptain lagu kaya berbalas pantun gini...

Sunday, August 20, 2006

17 Agustus

Jadi, kita sudah merdeka ya??

Ayo anak muda!!
BANGUN!!

Karena kemerdekaan bukanlah sekedar slogan
Ia adalah sesuatu untuk diperjuangkan...

Ayo anak muda!!
Memang belum saatnya kita berpesta...

"Indonesia itu negeri budak
budak diantara bangsa-bangsa
dan budak bagi bangsa-bangsa lain"
-Pram-

Masih bermimpi bahwa kita sudah merdeka?
Kalau begitu... selamat tidur bangsaku...

Monday, August 14, 2006

Jayapura, episode 2...

----

sambungan cerita dari sini...

----

Koneksi kami di Papua semestinya menjemput kami di bandara ini. Beberapa kali pak Joko mengontaknya melalui HP.

Bandara Jayapura sendiri adalah sebuah bandara yang jauh dari kesan “profesional”. Para calo angkat barang begitu aktif dan agresif menawarkan jasanya, terutama melihat muka-muka baru seperti kami. Hampir di seluruh penjuru bandara, di setiap ruangan, di begitu banyak dinding dan pilar, tertempel poster-poster yang isinya baru saya lihat seumur hidup saya… “DILARANG MAKAN PINANG !!” beserta gambar seseorang yang sedang meludah, ludahnya berwarna merah, dan satu tangannya memegang satu buah yang berukuran kecil. Nampaknya, itulah yang dinamakan pinang. Kami semua asing dengan poster itu, dan bertanya-tanya…”apa pula maksudnye nih???”

Pak Iwan Turangan, koneksi kami di Papua, akhirnya menemukan kami. Ia bersama adiknya (karena sudah agak lama, dan saya sangat buruk mengingat nama, maaf, saya lupa namanya, sebut saja Frans). Dan dari Pak Iwan dan adiknya itulah, kami pertama kali mendengar logat khas negeri-negeri di Papua.

“Aah, dari Jakarta kah? Cape toh? Aaa, kita naik taksi saja dari sini toh, lalu kita ke hotel dekat sini…”. Logat-logat ini diucapkan dalam nada khas kawasan timur Indonesia, sementara partikel kah dan toh sering sekali diucapkan, disisipkan dalam kalimat-kalimat, diucapkan dengan nada naik/meninggi seperti orang bertanya, padahal belum tentu dia sedang bertanya. Contohnya, ketika kami sampai hotel, Pak Iwan berkata … “Naah, ini dia hotelnya toh..” yang mana jelas itu bukanlah sebuah pertanyaan. Tapi tenang saja, kalau anda mendengarnya langsung, secara instingtif anda akan dapat membedakan antara kalimat berita, tanya, atau perintah. Jadi, kalau anda ingin cepat akrab dengan masyarakat asli di Papua, sederhana saja, berbicaralah dalam bahasa mereka, kuasai dialeknya, dan jangan lupa, banyak-banyak ucapkan kah dan toh…

“aaah, cape kah, 10 jam perjalanan??”… “ah, tidak pak Iwan, 8 jam saja”… “hahaha, itu jam bapak masih waktu jawa toh? Kalo sudah waktu papua, dihitung jadi sudah 10 jam toh…”… Ya… kami lupa menset waktu menjadi WIT.

Perjalanan dengan taksi pelat hitam berupa Toyota Kijang Inova cukup dapat dinikmati… Keindahan alam Jayapura bukanlah sebuah keindahan yang dapat anda nikmati di Jawa. Tidak… Subhanallah, kalau ada yang pertama kali saya kagumi dari Papua, itu adalah keindahan alamnya… Gunung-gunung yang bermunculan di kejauhan, tapi tanpa kami sadari, ternyata begitu dekat… Laut membentang di sisi kanan jalan yang kami lalui dari bandara ke hotel yang belum kami ketahui pasti letaknya dimana, sementara sisi kiri kami dihadang tebing yang diatasnya pepohonan tumbuh subur, satu bagian dari sebuah gunung yang ternyata terletak di sebelah jalan ini… Dan perjalanan penuh liku itu memang seperti perjalanan melintasi pegunungan, tapi dengan udara panas dan matahari menyengat… sangat eksotis. Selang beberapa lama, nampak sebuah danau yang begitu luas dan jernih di sisi kanan jalan, setelah laut tak lagi terlihat oleh kami…

Hanya ada satu keanehan disana... B-A-B-I. Ya, perasaan kok banyak sekali ya babi-babi besar berseliweran di pinggir jalan, kadang menyeberang jalan sembarangan, kadang jalan bareng pemiliknya... dsb-bsb...
(merhatiin ga ? telah terjadi perubahan gaya bahasa dan gaya menulis di paragraf ini)

Yap, babi besar hitam-hitam, bukan babi2 pink imut2 kaya di film ”babe” atau hampton dalam looney toons. Babi besar hitam jelek kotor dsb.

Terdorong iseng, sy bertanya pada sang supir, ”banyak sekali babi disini toh?”
Sang supir kemudian bercerita panjaaaaang lebar...
”ya, banyak toh. Kitorang (sepertinya singkatan dari ”kita orang” atau ”kami”) disini banyak makan babi. Babi banyak menyebrang sebarangan toh. Tak ada disini berani tabrak itu babi.”
”kenapa kah?” (pikiran saya langsung melayang ke India dimana sapi menjadi binatang keramat, apakah disini babi itu binatang keramat?)
”aah, dulu ada saya punya kawan, tidak sengaja dia tabrak itu babi satu. Betina. Babi mati, yang punya babi turun gunung toh. Dituntutnya kawan saya itu ke pengadilan toh.
Di pengadilan, orang tadi yang punya babi bilang, itu babi dagingnya kalau dijual bisa 7 juta toh, dagingnya besaaar. Kawan saya sudah terima saja kalau harus ganti 7 juta. Tapi orang tadi masih bicara lagi. Maaf (sambil menoleh sebentar ke bu bunga), bapak tau itu babi punya puting susu berapa?”
”aah, babi punya puting 10 pak, 5 kanan, 5 kiri”, saya jawab
”benar toh. Jadi dia bilang, itu babi, punya anak 10, bisa mati semua karena tidak bisa lagi minum susu dari ibunya. Daging anaknya masih kecil2, dimintanya 2 juta untuk 1 ekor anak babi. 20 juta toh? Ditambahnya lagi, kerugian immateriil, karena itu babi dia satu-satunya, sekarang mati, anak2 babinya pun mati, dia minta lagi 5 juta toh. Hakim setuju toh, diminta bayar kawan saya itu 35 juta. Stress kawan saya itu. Selesai sidang dia bilang ke orang yang punya babi tadi... Lain kali kalau saya lihat bapak bersama babi lagi, saya tabrak bapak saja, babi tidak akan minta 35 juta dari saya!” Jadi itu sebabnya banyak babi keliaran di pinggir jalan. Cerita ini nampaknya sudah menjadi legenda di kawasan timur Indonesia, termasuk di Sulawesi.

Mengenai ”dilarang makan pinang” yang sebelumnya kami lihat di bandara, Pak Iwan kemudian menjelaskan bahwa, pinang adalah makanan tradisional yang banyak sekali dinikmati oleh orang2 papua. Disini, mungkin seperti sirih. Bagian dalam buah itu berwarna merah. Masalahnya adalah, orang2 papua biasa makan buah pinang itu, lalu meludah, dan ludahnya jadi berwarna merah darah. Itu sebabnya banyaaaak sekali bercak2 merah di jalanan papua. Dan itu juga sebabnya mengapa di Jayapura, dikeluarkan Perda tentang makan pinang ini, karena banyak yang meludah sembarangan.

Satu lagi kebiasaan orang papua adalah... mabuk... minum sampai mabuk. Pak supir dan pak iwan menjelaskan, bahwa ini adalah kebiasaan orang2 papua yang sudah hidup di kota. Ini juga sebabnya dunia perbankan tidak terlalu berkembang di papua. Bagaimana tidak, pola hidup disini adalah, siang dapat uang, malam habis. Berapapun jumlahnya, uang itu selalu habis untuk minum pada malam harinya. Pak supir pun tertawa-tawa saja, karena dia pun begitu...
Saking sayangnya dengan minuman keras, Pak Iwan bercerita bahwa dulu ketika terjadi kerusuhan dan jarah-menjarah di Jayapura, satu-satunya toko yang selamat dari pembakaran adalah toko minuman keras, karena masyarakat khawatir mereka besok tidak bisa beli minuman lagi.

Pola minum inilah yang juga menyebabkan, penyebab kematian terbesar di Jayapura adalah kecelakaan motor.
Setelah dilihat, memang, orang2 yang bawa motor disini GILA-GILA !!! ngebut sembarangan, kayanya ga pake otak ato perhitungan dalam salip menyalip. Dan ini di siang hari. Malam hari, nyali (dan kebodohan) mereka meningkat karena ditambah alkohol. Minum, ngebut, lalu mati, adalah pola yang umum disini.
Dan seiring dengan kebiasaan minum, tentu free sex juga banyak berkembang. Dari virus yang dibawa oleh orang2 asing yang dilayani oleh pelacur2 lokal, berkembanglah virus HIV di papua, sehingga jumlah penderita AIDS terbesar di Indonesia adalah di Merauke dan Jayapura. Ini yang membuat si supir tidak bosan2nya berpesan pada kami (termasuk bu bunga), untuk selalu menyediakan kondom di dompet kami.

Selama 3 hari kemudian kami tinggal di Jayapura, menikmati keindahan alam dan panasnya kota. Pak Iwan memandu kami mengunjungi tempat2 istimewa di Jayapura, satu teluk yang dari sana terlihat Papua Nugini, dataran tinggi yang menjadi rumah orang-orang kaya, dan tikungan jalan yang menjadi tempat dibunuhnya Theys, seorang tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat papua, pada masa perseteruan antara RI dengan OPM sedang gencar-gencarnya.

Soal makanan... kami harus benar2 berhati-hati masalah halal dan haram. Karenanya, kami biasanya makan di tempat yang hanya menjual ikan, dan fast food semacam KFC. Soal harga... ya kira2 sendirilah, di Jayapura sebatang sabun Lux harganya bisa mencapai 5000. KFC pun menjadi pilihan yang terkadang lebih murah dibanding warung pinggir jalan. Itupun, dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding di Jawa. Satu hal yang jelas, orang2 papua nampaknya kurang jago dalam memasak ikan. Digoreng atau dibakar biasanya sudah cukup. Tapi dalam hal sambal, sepertinya ini satu daerah yang memiliki sambal terenak (dan terpedas) di Indonesia. Sepertinya disini, enak = pedas, satu filosofi yang cukup memanjakan lidah saya....

Hanya ada 1 mesjid besar di Jayapura. Saya tidak tau bahwa dalam 2 minggu kedepannya, saya akan menyesal tidak memperhatikan mesjid itu dengan sungguh-sungguh...


Bersambung...

Friday, August 11, 2006

Jayapura, Kota Indah nan Memabukkan (Seri Ekspedisi Papua : Jayapura, Wamena, Yahukimo, Dekai - episode 1)

Oke, jadi ceritanya begini...
buat teman-teman yang mungkin sudah pernah ngaduk-ngaduk isi blog saya (GR-an), mungkin tau, kalau saya punya 3 blog lain selain blog ini (hehe, banyak banget ya? :p). Salah satunya, adalah blog yang berisi catatan-catatan perjalanan saya ke berbagai tempat yang pernah saya kunjungi. Judul blognya "Perjalanan di Atas Awan" dengan alamat blog (dulu) http://perjalanan-awan.blogspot.com.

Nah... terkait dengan kesibukan saya akhir-akhir ini (sebenernya sih, SOK sibuk...), ternyata mengurus 4 blog bukan suatu pekerjaan yang mudah. Jadi, saya putuskan untuk menghapus salah satu blog saya itu. Dan karena blog "perjalanan di atas awan" itu yang paling tidak terurus (dan isinya paling ga penting), maka blog itulah yang jadi korban.

Tapi sayang juga kalo postingannya kebuang.
Jadi, saya migrasikan dua buah postingan awal saya di blog tersebut. Isinya sebenernya cerita bersambung, tapi (bodohnya), sambungan dari 2 cerita awal ini malah saya posting di blog "pencarian akan makna" ini =P (udah lama banget sih dipostingnya).

Sooo... buat para penggemar blog "perjalanan di atas awan" (cieeeeh, jiga aya weee =P), mohon maap, blognya diapus. Dan postingan yang saya migrasikan kesini ini, mungkin sudah pernah anda baca.

eniwey, selamat menikmati...

-------

Maret, 2005

Pesawat Merpati Nusantara Airlines yang kami tumpangi mulai menembus ke atas awan untuk memulai perjalanan kali ini. Bandara Soekarno Hatta masih seperti dulu, kecuali belakangan ini jumlah penumpang pesawat memang meningkat pesat, menyusul persaingan tidak sehat antar maskapai-maskapai penerbangan yang baru bermunculan. Persaingan tidak sehat yang dengan cepat mengarah pada jatuhnya harga tiket pesawat (dan kemudian dengan cepat juga diikuti dengan jauh menurunnya kualitas pelayanan didalamnya).

Rendahnya harga tiket pesawat ini jugalah yang sebenarnya membahayakan moda-moda transportasi lain seperti kereta api atau bus, karena para pengguna kereta dan bus tentu akan lebih memilih pesawat untuk perjalanan-perjalanan jarak jauh. Wajar saja, harga tiket antara pesawat dengan bus dan kereta belakangan ini tidak terlalu jauh, tapi tentu pesawat jauh lebih unggul dari aspek waktu. (Perkara harga tiket pesawat dan pelayanan ini saat ini sudah mulai disesuaikan kembali oleh dephub, untuk menghindari kejatuhan moda-moda transport lain tersebut…)

Waktu, meskipun begitu, saat ini bukanlah lawan bagi kami.

Belum sampai 2 minggu setelah hari wisuda saya, ketika saya menerima telepon dari seorang teman, menawarkan sebuah pekerjaan (okelah, sebut aja proyek) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk sebuah kabupaten baru di Papua. Kabupaten baru itu adalah Yahukimo, dan proyek yang ditawarkan pada saya adalah RTRW Kabupaten Yahukimo serta RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) Kota Dekai yang diproyeksikan untuk menjadi ibukota kabupaten baru itu.

Yaah... mungkin waktu itu memang syahwat bertualang sedang mengalir deras dalam darah saya. Kesumpekan rumah kos dan kejemuan luar biasa setelah menyelesaikan Tugas Akhir memaksa saya untuk segera mengambil keputusan saat itu juga… “Oke, gw ikutan. Kapan berangkatnya ?”… dan teman saya itu menjawab… “3 hari lagi”… “HAAH???!!!?” Dan saya tidak bertanya tentang honor… hanya ingin petualangan…

Dan jadilah…
Sedikit penjelasan mengenai proyek yang akan dikerjakan, sedikit briefing mengenai lokasi yang dituju, dan saya siap berangkat.

Yahukimo, yang saya tuju itu… sekilas namanya mirip dengan nama kota-kota di Jepang, sehingga seorang kawan baru, yang rupanya karyawan tetap di konsultan yang merekrut saya untuk proyek ini, menyangka bahwa daerah ini pernah dijajah oleh Jepang… Oke, analisis yang cukup absurd, tapi cukup untuk membuat kami tertawa.

Dekai, di sisi lain, adalah sebuah nama yang lebih unik lagi. Kami semua menyangka bahwa pelafalannya adalah “dekay”, seperti kita melafalkan “sungay” ketika membaca kata “sungai”. Tapi ternyata tidak. Pak pimpro (pimpinan proyek bo!) mengatakan bahwa pelafalannya yang benar adalah “De-Ka-Yi” atau “De-Ka-I”, agak mirip dengan ketika kita melafalkan DKI Jakarta.

Direncanakan, kami akan berada di papua (untuk seluruh rangkaian survey) selama lebih kurang 2 minggu. Untuk mengoptimalkan waktu, kami merancang perjalanan hari Minggu, sehingga kami punya waktu 1 malam untuk beristirahat sebelum bekerja keesokan harinya. 2 hari di Jayapura untuk data2 berskala propinsi, beberapa hari di Wamena, karena aparat pemda Yahukimo masih banyak bertempat di Wamena, dan sisanya survey langsung ke Yahukimo.

Dan karena itulah, kali ini saya tidak sedang terburu-buru…

Kami pergi berempat.

Sehari sebelumnya, saya sudah berkenalan dengan 2 dari 3 orang kawan baru itu. Seorang wanita jawa (solo) berumur diatas 35 tahunan yang belum menikah bernama Bunga (nama samaran), dan seorang pria berumur kira-kira sama, juga masih bujangan, yang bernama Joko tapi ternyata turunan Batak (lho??! Orang batak ko namanya joko? Ini juga nama samaran, tapi sengaja dipilih joko karena aslinya, nama beliau pun sangat jawa sekali). Aneh bin nyata, orang tua pak Joko ini ternyata tidak ada yang orang Jawa, sehingga menambah simpang siur asal-usul namanya. Tapi tenang, setidaknya dia dulu kuliah di UGM, sehingga cukuplah waktu untuknya belajar bahasa jawa, dan cukuplah semua modal untuk bisa disangka sebagai jatul (jawa tulen). Yang satu orang lagi, baru sempat bertemu dan berkenalan dengan saya sebelum masuk ke pintu pesawat. Richard namanya (juga samaran), juga masih membujang, juga orang batak, dan usut punya usut, ternyata adik dari pak pimpro (yang otomatis batak juga).

Dan jadilah kami, tim yang terdiri dari 2 orang lulusan planologi, 1 orang teknik sipil, dan 1 orang geodesi (pak reinhard), berangkat menuju daerah yang belum kami kenal (karena, cakap punya cakap, ada satu KEBODOHAN besar yang cukup mengkhawatirkan kami semua, ternyata TIDAK ADA SATU ORANG PUN dari kami yang pernah menginjakkan kaki di Papua).

Waktu menunggu terasa sangat menyiksa bagi kami. Karena ternyata pak richard pun baru berkenalan dengan pak joko dan bu bunga, sementara pak joko dan bu bunga sendiri pun sejak dulu tidak terlalu sering berinteraksi. Obrolan-obrolan selama di bandara dan di pesawat terasa hambar dan penuh basa-basi… sekedar ngisi waktu lah…

Tiga jam selepas Bandara Soekarno Hatta, kami mendarat di Makasar untuk transit. Dua jam transit di Makassar belum juga menjadikan kami lebih akrab satu sama lain. Begitupun tiga jam berikutnya yang dibutuhkan untuk terbang dari Makasar ke Jayapura.

Tiba di Jayapura, badan kami terasa begitu lelah dan pegal-pegal, meskipun tidak setara dengan kepegalan karena 1 jam di KRL Jakarta Bogor. Udara panas langsung menyerbu tubuh kami ketika kami turun dari pesawat… Benar-benar gerah. Beda dengan Jakarta. Ini lebih panas, lebih gerah. Dan bagi kami, terlihat begitu asing.

Meski begitu, harus diakui, keasingan itu begitu indah… Alam yang luar biasa indah terlihat ketika pandangan kami berusaha menerawang kesekeliling bandara di jayapura ini. Beberapa pucuk gunung terlihat oleh kami, tidak terlalu jauh, sementara laut dan danau ada di sisi lain.


Bersambung...

Thursday, August 03, 2006

Menapaki Kejayaan (Ditulis dalam Kemarahan terhadap Krisis di Timur Tengah)


Pada suatu masa, seorang Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, pernah mengeluarkan sebuah pepatah bijak. Katanya kira-kira begini, “Hampir semua orang bisa tahan penderitaan. Apabila kita ingin benar-benar menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.”

Akan tetapi, sangat disayangkan, ternyata bangsa yang melahirkan seorang Lincoln ternyata menjadi bangsa yang termakan oleh kata-kata Lincoln tersebut.

Pada salah satu tulisan saya dulu yang berjudul ”Masa-masa Jaya”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa masa-masa kejayaan seseorang sesungguhnya tidak terletak ketika ia sudah sampai di puncak cita-citanya, akan tetapi justru pada saat ia sedang menapaki tanjakan untuk menuju ke puncak itu. Mengapa? Karena saat kita sudah di puncak, maka satu-satunya jalan bagi kita adalah ke bawah. Itulah sebabnya, kejayaan adalah sebuah kondisi dimana kepala kita masih mendongak untuk mencapai puncak. Ketika kita menolak untuk terus terpuruk, dan berkata bahwa kita harus maju.

Analisis saya itu sebenarnya bermuara pada pemikiran Ibnu Khaldun mengenai bangsa-bangsa yang memimpin peradaban. Bangsa-bangsa yang memimpin peradaban adalah bangsa yang telah ditempa oleh suatu kondisi, apakah itu perang, kondisi alam, dan sebagainya, yang membuat bangsa itu ingin berontak dan mencurahkan segenap upaya mereka untuk maju. Dan berkebalikan dengan itu, peradaban yang kemudian runtuh adalah peradaban yang diisi dengan pemuda-pemuda yang mulai ”melemah” mentalitasnya.

Para pemikir Amerika sepertinya memahami betul kedahsyatan pemikiran Ibnu Khaldun ini (sama seperti ketika para pemikir ”barat” mencatut karya-karya Ibnu Sina dan Ibnu Rushdi). Mereka memahami betul bahwa kejayaan harus dijaga. Momentum patriotisme sebuah bangsa perlu terus dipertahankan. Dan salah satu jalan untuk itu adalah dengan perang, karena perasaan ”memiliki musuh” merupakan sebuah alasan yang paling sederhana bagi sebuah bangsa untuk mempertahankan patriotisme mereka, yang secara otomatis akan menjaga para pemuda mereka supaya tidak ”melemah”.

Maka dari pemikiran itu, kita bisa melihat sekarang, bahwa Amerika Serikat (AS) adalah sebuah negara yang hidup dari perang. Secara periodik, AS mengikuti, atau memulai perang terhadap negara lain. Setelah Perang Dunia I pada permulaan tahun 1910-1920an, AS langsung berperan signifikan dalam Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Setelah itu, mereka memulai perang melawan Vietnam tahun 1960-an dan perang teluk melawan Irak tahun 1980-an. Setelah itu, yang baru saja dimulai, adalah perang melawan ”terorisme” yang disimbolkan dengan perang di Afganistan dan Irak tahun 2001-sekarang.

Kita bisa melihat, dalam 100 tahun terakhir ini, periode perang AS adalah setiap kurang lebih 20 tahun sekali.

Selain berfungsi untuk mengembalikan (re-charge) patriotisme bangsa melalui slogan-slogan kejayaan demokrasi, perang juga merupakan alat paling efisien untuk meningkatkan perekonomian AS. Adalah melalui Perang Dunia I AS melalui Marshall Plan-nya mampu menguasai perekonomian dunia, terutama perekonomian negara-negara yang kalah perang. Dari Marshall Plan ini sebenarnya pola gurita hutang negara-negara lain ke AS mulai muncul, meskipun dalam perkembangannya lalu menjelma dalam bermacam bentuk. Dan melalui hutang, AS menguasai kebijakan ekonomi di banyak negara (termasuk Indonesia, tentunya).

Selain itu, tidak bisa dipungkiri, AS merupakan sebuah negara industri yang sangat besar. Terlalu besar, sehingga mereka bingung siapa pasar dari produk-produk mereka itu, dan darimana harus memperoleh bahan baku untuk semua produksinya. Untuk itulah, perang merupakan alat untuk memperluas pasar di negara-negara yang menolak untuk dimasuki oleh industri Amerika. Vietnam adalah salah satu contohnya. Perang Teluk pun merupakan sebuah wujud keinginan AS untuk memiliki minyak. Bukan berarti AS tidak punya minyak, karena cadangan minyak mereka juga besar. Akan tetapi, AS menyadari betul kebutuhan akan minyak di masa depan apabila mereka tidak menghematnya. Untuk itulah, mereka mendorong eksploitasi minyak di berbagai negara (agar cepat habis), sehingga suatu saat nanti, hanya merekalah yang memiliki sumber minyak (untuk dijual dengan harga tinggi). Dan dalam perdagangan minyak ini, negara-negara di jazirah Arab adalah saingan utama, karena belum banyak perusahaan AS yang menyedot minyak disana.

Kepentingan-kepentingan ekonomi seringkali memang sejalan (atau diselaraskan) dengan kepentingan politis. Bagaimanapun, akar bangsa Amerika terletak di Eropa ketika mereka menjadi ”pilgrims” yang mendatangi benua baru di seberang atlantik dan menyingkirkan penduduk aslinya, dan kemudian mengklaimnya dalam bentuk sebuah negara (AS). Maka mau tidak mau, slogan yang digunakan bangsa eropa dalam penjelajahan samudra pasca revolusi industri di Inggris juga terpatri dalam dada bangsa Amerika. Slogan itu, seperti anda semua tentu tahu, adalah Gold-Glory-Gospel (Emas-Kejayaan-Agama).

Hitung-hitungan ekonomi adalah penafsiran kontemporer atas ”gold”. Lantas bagaimana dengan dua yang lain?

”Glory” (kejayaan) bagi saya sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai usaha AS untuk menjaga patriotisme bangsanya tadi. Melalui perang. Karena kemenangan dalam perang adalah sebuah kejayaan yang nyata bagi mata orang-orang yang paling lugu sekalipun. Tapi ada dua hal yang diperlukan untuk mengabsahkan sebuah ”glory”. Pertama, nilai-nilai (values) yang diperjuangkan. Kedua, musuh yang ditaklukkan. Bagaimana AS memiliki kedua hal ini?

Bisa anda perhatikan, alasan/retorika apakah yang dimunculkan AS dalam setiap perang yang dijalaninya? Benar, value yang menjadi retorika AS adalah ”demokrasi”. Setiap peperangan mendapat justifikasi sebagai ”usaha mempertahankan demokrasi” atau ”menyebarluaskan nilai-nilai luhur bangsa”. Inilah retorika umum yang disuapkan ke dunia, terutama ke generasi muda mereka. Retorika semacam ini memang diperlukan, karena siapapun (terutama para pemuda mereka sendiri) tentu akan muak apabila menyadari bahwa AS membantai penduduk sipil di Irak hanya demi minyak misalnya.

Lalu siapa musuhnya?

Musuh itu tentu harus sejalan dengan value yang dipertahankan. Maka, tentu saja Uni Soviet dan sekutu-sekutunya (termasuk Vietnam) menjadi sasaran empuk untuk diklaim sebagai musuh. Selama sekitar 30 tahun, pola ini sebenarnya terhitung ”stabil” dengan adanya perang dingin antara AS-Soviet. Selama 30 tahun, AS tidak perlu ”mencari” musuh. Akan tetapi, setelah keruntuhan Uni Soviet dan unifikasi Jerman pada awal 1990-an, AS terlihat limbung karena tidak ada orientasi siapa yang harus ”dijadikan” musuh. Perkaranya, musuh ini tentu harus dipandang ”seimbang” supaya menimbulkan perasaan waspada di kalangan warga negaranya. Negara-negara semacam Kuba, Peru, Bolivia atau Kolombia sebenarnya bisa dijadikan musuh, tapi mereka terlalu miskin dan sebenarnya tidak sebanding dengan kekuatan AS, kecuali mereka secara luar biasa dapat bersatu padu menyerang AS (yang diperkirakan akan sulit terjadi).

Maka, sejalan dengan kebutuhan ekonomi untuk menguasai sumber-sumber minyak, negara-negara di jazirah Arablah yang dijadikan musuh. Justifikasi untuk memulai permusuhan dengan negara Arab mendapat dukungan yang sempurna dari sisi ”gospel”.

Pasca masa renaissance (pencerahan) di eropa, sebenarnya peradaban barat memiliki sebuah barrier psikologis untuk mencampur-adukkan agama dengan politik dan pemerintahan, karena justru pemisahan antara keduanya itulah yang menjadi salah satu hal prinsip dalam proses renaissance tersebut. Meski begitu, membangun permusuhan dengan negara-negara Islam ternyata jauh lebih mudah untuk disulut dengan menggunakan agama sebagai justifikasi.

Secara tradisional, penganut nasrani di peradaban ”barat” memang telah membangun permusuhan secara kultural dan dogmatik dengan Islam. Ini didasarkan pada sebuah dogma di kalangan katolik ortodoks mengenai sebuah ramalan bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang penipu ulung (great pretender) yang akan memutar-balikkan semua ajaran nasrani dan yahudi secara logis! Kemunculan Rasulullah SAW dianggap merupakan perwujudan dari ramalan itu. Itulah mengapa nama Muhammad SAW pada masa perang salib sering diplesetkan sebagai mahound yang kira-kira diartikan sebagai ”penipu” atau ”ahli nujum”. Konsekuensi dari semua ini, tentu adalah kecurigaan yang berurat-berakar pada umat Islam. Maka, hanya butuh satu pemicu kecil untuk memulai kembali peperangan (terutama setelah perang salib).

Begitupun dengan ummat Islam, secara tradisional telah memiliki kewaspadaan serupa terhadap Yahudi maupun Nasrani, terutama dalam konsepsinya yang paling mendasar, Trinitas.

Atas dasar kecurigaan yang terus-menerus inilah, AS merasa perlu memiliki sekutu di tengah jazirah arab. Kecurigaan ini pada awalnya bermula pada alasan politis, keamanan, dan keagamaan, yang sejak lama muncul (alasan ekonomi muncul belakangan). Meski begitu, sangat beresiko untuk AS memulai penyerangan pertama. Oleh karena itulah, AS sejak dulu sangat berhati-hati terhadap dunia arab. AS tidak mungkin gegabah untuk menyebut mereka sebagai ”musuh” secara terbuka tanpa alasan yang jelas. Meski begitu, sejak dulu, bahkan sebelum munculnya perang dingin, hubungan antara AS dengan negara-negara Arab tidak bisa dibilang ”erat”, kecuali dalam hal kerjasama-kerjasama ekonomi yang menguntungkan AS. AS hanya butuh sekutu untuk mengawasi dunia arab dan memainkan kepentingan mereka di kawasan timur tengah.

Untuk itulah, AS mendukung gerakan zionisme dan pembentukan negara Israel. Hanya saja, mungkin AS tidak menyadari, mereka sedang membesarkan macan.

Secara ideologis, AS mungkin memandang bangsa yahudi memiliki kesamaan dengan mereka. Bahkan mungkin kebencian yahudi terhadap ummat Islam mungkin lebih besar, karena Islam dianggap sebagai agama yang pada masa-masa awal kemunculannya langsung menyingkirkan yahudi dan menghancurkan simbol-simbolnya, termasuk sinagoga haikal (Masjidil Aqsho mereka klaim dibangun diatas puing-puing sinagoga ini).

Maka kemudian, AS secara membabi buta mendukung israel (dan secara otomatis, gerakan zionisme). Meski begitu, dalam perkembangannya, alih-alih menjadi ”peliharaan” AS, justru AS yang seolah menjadi ”peliharaan” Israel. Sebuah blunder bagi AS.

Israel, dengan mengeksploitasi kisah sedih holocaust, membangun justifikasi untuk gerakan zionisme. Palestina menjadi negara yang paling dirugikan dengan gerakan ini, karena zionisme secara utuh menghendaki keseluruhan wilayah yang pada mulanya dikuasai oleh Palestina. Secara kultural, seluruh negara Arab dan dunia Islam pun merasa terancam karena keberadaan tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol bagi umat muslim di wilayah itu. Peperangan tak terelakkan.

Perang Arab-Israel terjadi pada tahun 1948 dan 1957. Kedua perang itu tidak menghancurkan Israel. Meski begitu, negara-negara Arab tetap tidak bersedia mengakui keberadaan negara Israel dan menyerukan penghancuran negara Yahudi tersebut dan mengusir penduduknya ke laut. Selama bertahun-tahun, terjadi perang kecil-kecilan di perbatasan antara pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dengan Israel. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pada tahun 1967, dengan didahului provokasi oleh Uni Soviet (dengan kepentingan untuk menyingkirkan Israel yang merupakan sekutu AS, rivalnya dalam perang dingin), terjadilah “Perang 6 hari” antara Israel menghadapi Mesir, Suriah dan Yordania yang didukung oleh Irak, Kuwait, Saudi, Sudan dan Aljazair. Bisa dibilang, negara-negara Arab tersebut gagal total. Mesir hanya bertahan 4 hari, Yordania 3 hari, dan hanya di front Suriah terjadi perang selama 6 hari secara penuh. Sinai, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan direbut oleh Israel. Negara-negara Arab mundur mengingat wilayah-wilayah yang dicaplok Israel baru wilayah-wilayah dengan penduduk sedikit atau wilayah yang merupakan rampasan sebelumnya. Selain itu, karena Israel berhasil menempatkan pasukan dengan jarak kurang dari 100 km dari ibukota masing-masing lawannya. Israel berhasi mencapai efisiensi tinggi dalam perang tersebut dengan modernisasi persenjataan yang didukung AS, berhasil memaksa negara-negara Arab yang dibantu persenjataan Soviet untuk mundur.

Setelah perang itu, negara-negara Arab mengubah jalur peperangan ke arah diplomasi, meski perang terbuka tetap dipersiapkan untuk sewaktu-waktu terjadi.

Ketidak-puasan Israel atas wilayah-wilayah yang dicaploknya membuat Israel tidak berhenti untuk berusaha menguasai seluruh wilayah Palestina. AS nampaknya tidak memperkirakan hal itu, tetapi mau tidak mau mendukung Israel karena kepentingan dalam perang dingin dan kepentingan memiliki sekutu di timur tengah. Pada akhirnya, AS menutup mata terhadap kekejaman apapun yang dilakukan Israel di Palestina, dan berusaha menempatkan diri pada posisi netral, meskipun menampakkan kecenderungan keberpihakannya pada Israel dalam isu-isu yang strategis.

Standar ganda nampaknya memang bukan sebuah persoalan bagi AS (maupun negara-negara barat lainnya). Satu yang dipegang teguh oleh AS nampaknya hanyalah kepentingan (yaitu kepentingan politis dan ekonomi). Adapun agama dan moralitas, nampaknya hanya kosmetik untuk menjustifikasi setiap kebijakan mereka.

Bisa kita lihat, pada Perang Dunia II misalnya, betapa AS dan Inggris begitu sejalan dengan Soviet, bahkan menutup mata terhadap imoralitas yang ditunjukkan soviet ketika menganeksasi lahan pertanian jutaan rakyatnya menjadi lahan negara. Lalu setelah itu, menjadikan soviet sebagai musuh ketika hendak memplokamirkan diri sebagai negara adidaya. Begitupun di Afganistan pada akhir tahun 1970-an ketika mensponsori perjuangan Osama bin Ladin dalam memukul mundur pasukan soviet (dalam rangka kepentingan perang dingin), sementara pada saat ini Osama justru menjadi tumbal yang disimbolkan sebagai justifikasi untuk memulai ”perang terhadap terorisme”. Dalam hal moralitas dan nilai-nilai (values), AS memang telah menjelma menjadi banci yang sejati.

Israel (bangsa yahudi) pun tak kalah pintarnya. Mereka tahu betul bahwa sebanci apapun AS, jaringan dan pengaruh AS di dunia tetap sangat kuat. Maka secara kultural, mereka menganeksasi AS melalui sistem ekonomi dan politis. Perusahaan-perusahaan multinasional yang didirikan bangsa yahudi kemudian mencengkeram dunia melalui infrastruktur AS. McD, Coca Cola, Intel, dan sebagainya seolah menjadi trademark AS, meskipun sebenarnya dikuasai Israel. Mereka tahu, ketika menguasai perdagangan AS, AS tidak akan semudah itu menyingkirkan Israel di kemudian hari. Begitu juga, penguasaan ekonomi akan memperlancar akses ke penentuan kebijakan-kebijakan politik, termasuk politik luar negeri. Dengan menguasai politik luar negeri AS, Israel punya akses untuk menguasai politik PBB.

Maka jadilah AS sebagai kerbau yang dicocok hidungnya oleh Israel, sementara PBB hanya bisa termangu ketika kebijakannya diveto oleh AS.

Kondisi ini tentu membuat Israel dalam posisi “aman” dalam meneruskan politik zionisme. Sebrutal apapun, AS di belakang mereka. Maka, ketika Israel menjadi pengecut besar yang melawan batu dengan M-16 di Palestina, mereka tetap tak tersentuh. AS bahkan bertindak lebih jauh dengan melindungi Israel dari potensi ancaman di seluruh dunia, termasuk menghalang-halangi pemilikan nuklir di Iran.

Saat ini, ketika krisis kemanusiaan terjadi di Lebanon dan Palestina, negara-negara Arab nampaknya masih trauma dengan kekalahan mereka di Perang 6 Hari pada tahun 1967. Sejak tahun 1967 sampai saat ini, praktis mungkin hanya Suriah yang diwaspadai oleh Israel. Ini karena rudal-rudal balistik Suriah mampu mencapai tempat-tempat strategis di Israel, termasuk Tel Aviv. Israel bersikap hati-hati terhadap Suriah karena menghindari banyak korban melayang dari rudal-rudal itu. Efisiensi tenaga manusia memang sangat diperhatikan oleh Israel, karena warga negara mereka terhitung sedikit. Itulah sebabnya, mereka tidak merasa malu-malu untuk menghabisi banyak rakyat sipil di negara musuhnya dengan senjata terlarang, karena peperangan terbuka dengan persenjataan yang seimbang tentu sangat merugikan bagi Israel. Inilah sebabnya, ketika AS mendengungkan isu weapon of mass destruction (WMD) sebagai justifikasi untuk menghancurkan Irak, AS juga secara sistematik menutup-nutupi kalau sebenarnya WMD itu hanya dimiliki oleh Israel.

Atas aksi-aksi penuh kepengecutan dari Israel, dan kebancian AS dalam humanisme global, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa perdamaian dunia (dan kehidupan yang lebih baik) secara pragmatik hanya akan terjadi bila kedua negara ini... hancur!

Kembali pada pepatah Lincoln yang saya sitir di awal tulisan, dengan kekuasaan yang dimiliki AS sebagai negara adidaya, AS dan Israel memang telah menunjukkan karakternya. Sayangnya, karakter itu ternyata adalah karakter banci dan pengecut sekaligus.

Adapun bagi ummat Islam, satu hal yang perlu diperhatikan adalah nampaknya AS dan Israel melupakan satu hal. Mereka cenderung mengidentikkan, mereduksi Islam kedalam simbol-simbol Arab. Kita tidak boleh terjebak pada simbol dan melupakan apa yang berada di balik simbol-simbol itu.

Sesungguhnya, Islam bukanlah Arab semata. Hakikat Islam berada pada hati sanubari setiap muslim di seluruh dunia. Dan setiap muslim adalah satu tubuh. Maka, peperangan terhadap Israel bukan saja milik dunia Arab. Perang itu adalah milik semua muslim di dunia, dalam bentuknya masing-masing.

Apabila kita merindukan kejayaan Islam, maka masa-masa ini patut dilihat sebagai masa-masa dalam menapaki kejayaan itu. Pada masa inilah ummat muslim harus bersatu, mendongak ke atas dan meyakini bahwa dibawah bimbingan Allah, pada akhirnya nanti, Islam akan menang!


NB : Untuk yang ingin membaca tulisan-tulisan blogger lain mengenai Israel, silahkan klik banner berikut :