Thursday, April 27, 2006

Sejuta Angkot dan Seekor Ikan Mas Koki...

Terinspirasi dari tulisan Nova soal angkot-angkot di Bogor, tersembul juga hasrat untuk turut berkomentar. Tentu, komentar ini bisa jadi tidak penting, berhubung walaupun saya keluar dari perut ibu saya di Bogor dan menjalani 80 persen dari kehidupan saya di Bogor, tapi jelas saya bukan siapa-siapa di Bogor. “Bukan siapa-siapa” ini maksud saya adalah bagi Pak Walikota, Kapolsek, Kapolda, Ketua DPRD, atau para pejabat teras lain, berhubung saya tentu adalah “siapa-siapa” bagi keluarga saya di Bogor, mantan-mantan pacar saya di Bogor (berikut mereka yang frustasi karena belum sempat saya pacari), mereka yang mengaku-ngaku sahabat saya di Bogor, maupun preman-preman anak buah saya (yang terkenal dengan julukan “Awan Silet” atau “Awan Golok” di kalangan preman Terminal Baranangsiang maupun preman-preman Stasiun Besar Bogor). Yaaah... meski begitu, mari kita berharap, meski kemungkinannya tidak lebih baik dari kemungkinan ayam jantan yang berkokok di tengah malam (dengan kata lain : masih mungkin terjadi), bahwa masukan tulus dari seorang warga ini akan didengar oleh jajaran pemerintah daerah Bogor.

Mari kita buka dengan kejadian di suatu pagi pada pertengahan bulan Maret 2006. Pada pagi yang cerah dan mencerahkan hati itu, seperti biasa saya berdiri di pinggir jalan di depan gang yang menuju rumah saya, pukul setengah tujuh pagi, menunggu angkot 01 menuju terminal untuk kemudian disambung dengan angkot 03 menuju stasiun. Yap, seperti sodara-sodari ketahui, saya seorang penglaju harian Bogor-Jakarta yang menggunakan moda angkutan murah meriah panas merekah berdiri sampai lelah, kereta api ekonomi.

Dan berdirilah saya bermandikan mentari pagi sambil tercenung memikirkan makna hidup, dan sesekali pikiran agak jorok, menunggu angkot 01 barang beberapa detik (yap, di jalanan Kota Bogor, dalam setiap hitungan beberapa detik, saya jamin, akan ada angkot yang melintas di hadapan anda), ketika sekonyong-konyong sebuah angkot biru 02 berhenti tepat di depan saya.

Karena otak saya masih dalam perenungan (yang tentang hakikat hidup tadi, bukan yang jorok), kontan saya terkejut. Tetapi karena saya tidak merasa telah berdosa menunjukkan jari telunjuk sebagai tanda memberhentikan angkot tersebut, saya acuhkan saja. Keterkejutan saya kemudian bertambah besar ketika si supir angkot tadi berseru pada saya : “Sari Pak!! Sukasari hayu!!” (angkot 02 jurusan sukasari-cisarua). Dalam sepersekian detik pikiran saya melayang ke wanita ini, sebelum kemudian saya sadar kembali bahwa si supir tadi menyuruh saya naik ke angkotnya itu. Agak tergagap karena masih terkejut, saya jawab sopan : “nggak pak, makasih...”

Dan kemudian percakapan singkat itu berkembang menjadi sebagai berikut (kira-kira, berhubung saya tidak bawa perekam suara dan terlalu malas untuk membuat notulensinya) :

Supir Angkot (SA) : “Sukasari pak!!”

Sayah (S) : “nggak pak... makasih” (masih sabar meski harus mengulang pernyataan yang sama)

SA : “lah, emang mau kemana pak??!!”

S : (dalam hati : ha?? Suka-suka gw dong mau kemana!!) “ke terminal pak..”

SA : “ooo... kagak ada pak yang langsung ke terminal mah!! Naek ini dulu sampe pertigaan depan, terus naek 09 aja biar cepet!”

S : (dalam hati : hah?? Mau nipu-nipu gw nih??) “Ada pak, 01, langsung ke terminal” (masih berusaha sabar)

SA : “eeeh, pak, dibilangin kagak percaya, ga ada pak!!”

S : (Lepas sudah kesabaran...) “ya elah bang, saya orang sini! Dah tiap ari (hari) naek 01 dari sinih!!”

SA : “Lagi pada mogok pak 01-nya!!” (padahal selama percakapan itu berlangsung, 2 (DUA !!!) angkot 01 melintas melewati kami, tapi tidak saya stop karena sibuk berdebat dengan SA yang satu ini)

S : diam saking kesalnya, BT!! (yang mana sebenarnya saya kurang jelas juga sampai sekarang, kepanjangan resmi dari singkatan “BT” ini apa ya??)

SA : “jadi mau nungguin 01 nih?? Yakin pak??”

S : (setengah berteriak) “iyah! Noh di depan masih banyak penumpang pak!”

SA : “ya udah kalo gitu! Tungguin aja!!”

S : “YA UDAH !!”

Sang SA menginjak gas dengan penuh nafsu, angkot 02 itu menderu dan meninggalkan saya. Sepuluh detik kemudian, cerita diakhiri dengan adegan saya naik ke sebuah angkot 01.

Cerita tadi sebenarnya hanya untuk menggambarkan bahwa di Bogor, perilaku masyarakat mencari angkot untuk menggunakan jasa angkutan bisa jadi sudah tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah angkot-angkot yang menghalalkan segala cara untuk mencari masyarakat yang mau menggunakan (dan membayar) jasanya. Ini jelas dikarenakan membludaknya jumlah angkot di Bogor. Entah sejak kapan, tapi sejak saya mulai bisa merekam segala sesuatu dalam memori kecil di otak saya, angkot di Bogor memang fenomenal jumlahnya.

Sistem per-angkot-an di Kota Bogor ini juga menganut sistem dwiwarna. Bukan merah putih seperti yang dulu dijahit Ibu Fatmawati, tetapi hijau-biru. Benar, hanya ada dua macam angkot di Bogor, yaitu angkot berwarna hijau untuk seluruh trayek dalam kota, dan warna biru untuk trayek-trayek luar kota atau yang bersinggungan antara dalam dan luar kota. Maka, dalam melihat angkot mana yang sesuai dengan jurusan yang anda kehendaki, jangan lihat warnanya! Lihatlah nomor rutenya (01, 02, 04, 13, dsb), lihat tulisan yang menunjukkan rutenya (kalau ada), dan yang paling penting, dengarkanlah teriakan dari supir/keneknya. Karena sistem dwiwarna ini pula, lalu lintas di kota Bogor, khususnya di beberapa titik (misalnya di daerah Ramayana atau Jembatan Merah), sepintas terlihat seperti “lautan angkot”. Sekarang apa bayangan yang melintas di otak kanan anda saat membaca tulisan “lautan angkot” itu? Nah, kemungkinan besar, fantasi di otak anda itu, seberapa hiperbolik pun, bisa jadi memang seperti itulah adanya. Lautan.

Maka tidaklah heran kalau persaingan antar supir angkot menjadi keras. Kekerasan itu menyebabkan frustasi dan depresi berkepanjangan di kalangan supir (dan juga penumpang), yang kemudian mengejawantah dalam bentuk umpatan-umpatan khas Bogor untuk setiap insiden kecil. Umpatan itu tentu bervariasi sesuai asal daerah si supir (suku Batak misalnya, yang mulai mendominasi dinasti supir 03 dan 02 di dalam kota). Bisa saja nama-nama binatang, dari yang kecil imut-imut seperti (maaf), JANGKRIK!, atau ukuran menengah seperti (niiiit, sensor), GUK GUK!!, GROOK GROOK!!, KAING KAING!!. Kemungkinan ada juga binatang prasejarah seperti buaya, tyrranosaurus, brontosaurus atau biawak dan komodo. Tapi berhubung pelafalannya agak merepotkan, tentu umpatan-umpatan semacam ini hanya bersemayam di hati. Meski begitu, selain nama-nama binatang, umpatan-umpatan khas Sunda non-priangan pun hadir, seperti B*L*GUG! atau KEH*D!, **BLOG!!dsb, ditambah ucapan spontan seperti misalnya “Hayang paeh siah??!!! (apakah anda mau meninggal dunia??!!)” dan lain-lain yang bisa membuat tulisan ini sangat tidak sastrawi kalau dielaborasi semuanya.

Selain itu, efek buruk dari terlalu banyaknya angkot ini adalah mahalnya tarif angkot. Memang, hukum ekonomi mengatakan bahwa semakin tinggi penawaran maka harga akan semakin menurun. Akan tetapi, hukum ini tidak berlaku di sistem per-angkot-an, karena dikalahkan oleh sistem hukum setoran. Memang, sebagian besar supir angkot di Bogor adalah supir cabutan, tidak memiliki angkotnya sendiri, dan setoran harian yang dituntut si pemilik angkot cukup besar. Akibatnya, tidak ada cara lain selain menaikkan harga. Memang, penumpang seluruh Kota Bogor (kadang didukung oleh anjuran dari Pemkot) bisa saja menolak standar harga yang ditetapkan oleh kalangan supir angkot. Akan tetapi, senjata ampuh kalangan supir adalah : MOGOK! Dan terbukti, kartu as ini tidak bisa dilawan, karena mereka ternyata kompak pak pak pak, sementara kalau mereka mogok itu, memang sangat menyusahkan bagi kalangan pengguna angkot. Maka kita harus berpuas diri dengan tarif 2000 untuk jarak dekat-sedang, dan tarif 3000-tak terhingga untuk jarak jauh.

Efek buruk lain adalah strategi pencarian penumpang yang kadang tidak manusiawi. Mulai dari ngetem berlama-lama di sembarang tempat (biasanya waktunya dapat diukur dari mulai si supir menyalakan sebatang rokok kreteknya sampai rokok kretek itu habis, itupun kalau tidak disambung dengan batang rokok kedua) sampai manuver-manuver berbahaya di jalan raya, manuver-manuver yang sepertinya dipelajari dari Fernando Alonso ketika mencoba mendahului Michael Schumacher dan Mika Hakkinen sekaligus di sirkuit Imola. Memang, seperti kata orang bijak di Bogor, “yang tau kapan angkot mau ngebut mendadak, berhenti mendadak, belok ke kiri atau kanan, dan teriak-teriak ga jelas itu hanya 2 pihak. Si supir angkot itu sendiri, dan Tuhan yang memang maha mengetahui segala sesuatu.”

Meski begitu, ternyata persaingan itu pun ada juga efek baiknya (yah, kita memang harus pandai-pandai mencari segi positif dari segala sesuatu). Pertama, adalah kualitas perawatan fisik angkot yang terbilang baik dibanding kota-kota lain. Kedua, batas maksimal kepenuhan angkot yang “hanya” 6 penumpang di kursi panjang, 4 di kursi pendek, 1 di depan, dan 1 di kursi ulang tahun/kursi artis (dekat pintu, menghadap berlawanan arah dengan arah angkot). Bandingkan misalnya dengan angkot Bandung, yang perbandingannya 7-5 ditambah 2 di depan dan 2 di kursi artis.

Tapi toh, kondisi ini tetap bisa dianggap sebagai sebuah inefisiensi. Pasalnya, angkot-angkot di Bogor itu sebagian besar kosong melompong. Mencerminkan jomplangnya tingkat penawaran dan permintaan. Maka calon penumpang bisa memilih angkot mana yang akan dinaikinya. Saya pribadi cenderung memilih yang paling bagus bodinya, atau ada musiknya. Tak perlu takut kehilangan waktu, karena lewat satu angkot yang kita nilai jelek, tak sampai 5 detik pun akan lewat lagi angkot trayek yang sama. Tenang saja.

Lalu mengapa izin angkot di Bogor tetap keluar?? Sepertinya, dynamic duo Mulder dan Scully pun harus memeras otak untuk memecahkan misteri ini, lebih dari misteri lingkaran2 teratur yang dicurigai sebagai pertanda UFO di ladang-ladang jagung di USA sono. Selain itu, mengapa juga banyak perantau (dan juga penduduk asli) yang tetap menganggap bisnis angkot ini prospektif?? Apakah semata karena kurangnya kreatifitas entrepreneurship?? (dimana Robert Kiyosaki saat kita butuhkan??). Lalu, apakah pemerintah Kota Bogor diam saja menyikapi semua efek buruk inefisiensi angkutan ini?? Mari kita jadikan semua ini pertanyaan bernilai 1 milyar dalam kuis Who Wants To Be a Millionaire di RCTI...

Konon, tersebut kisah, bahwa walikota Bogor sebelum yang sekarang ini kehilangan kepercayaan dan simpati dari masyarakat dan DPRD hanya karena satu hal sepele. Kabar burung camar yang pernah tersiar, beliau ini pernah mengeluarkan jawaban emosional saat ada warga yang mengeluhkan permasalahan angkot. Jawabannya adalah : “sampe kiamat juga masalah angkot kagak bakal beres!”. Maka, bisa ditebak berapa banyak masyarakat yang ilfil (kehilangan rasa suka, muak, kecewa) karena sebelumnya berharap akan ada langkah inovatif dan terobosan penuh keberanian dalam penyikapan masalah ini.

Mari kita tutup dengan kisah pengalaman saya yang lain...

Pada suatu malam sepulang kerja, saya naik angkot 03 yang benar-benar kosong. Hanya saya sendiri penumpangnya. Di sebuah lampu merah, angkot berpapasan dengan angkot lain, yang juga kosong. Demikian percakapan (sambil berteriak) antara 2 supir angkot :

SA-1 : “sepi yeuh??!??” (Sepi yee..)

SA-2 : “Enya euy, euweuh muatan hiji-hiji acan...” (iya nih, kagak ada muatan satupun)

S : --- pada saat itu, saya merasa tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai muatan... barang...---

SA-1 : “jiga aquarium kitu angkot teh!! Kaca hungkul nu katingali!!” (kayak akuarium gitu angkot lu, kacanya doang yang keliatan!!)

SA-2 : “hahahehehehihihuhu”

S : --- pada saat itu, kemudian saya merasa tidak lebih dari seekor ikan mas koki...---


NB : Boleh percaya boleh tidak, pada awalnya, saya merencanakan tulisan ini pendek-pendek saja... Kalo percaya tidak berdosa, kalo nggak percaya ya sudah saja

Thursday, April 20, 2006

Masa-masa Jaya (bagian 1)

(Oke, untuk postingan yang ini, kalau memang berminat anda baca, maka saya sarankan mengambil kopi dan cemilan, karena akan sangat puanjang :p dan pastikan bahwa anda memang punya waktu sekitar 10 menit untuk membacanya :p)
Bagi anda, bilakah yang anda anggap masa-masa jaya anda??
....

Muncul perasaan yang aneh dalam diri saya ketika saya beberapa kali terakhir berkunjung ke kampus. Entah itu sekedar untuk janjian dengan teman, atau sekedar main, atau sekedar lewat, perasaan aneh itu tetap muncul kalau saya sedang di kampus. Apalagi kalau kemudian melihat para mahasiswanya, dosen-dosennya, satpam-satpamnya, kantin-kantinnya, pedagang-pedagang asongannya, ruang-ruang kelasnya, dapur-dapur, para tukang sapunya, pengemis-pengemisnya, anak2 jalanan di sekitarnya ... perasaan aneh itu semakin kuat.

Tentu, perasaan aneh itu dengan mudah lalu saya identifikasi sebagai perasaan “rindu”. Ya, saya rindu menjadi mahasiswa. Bukan karena statusnya, tapi karena kehidupan didalamnya.

Sebuah paradoks yang kontardiktif saya temui saat ini, setelah saya keluar kampus. Paradoks inilah yang menjadi sebuah ironi kerinduan akan masa lalu. Masa-masa jaya.

Tahun kedua kuliah adalah masa-masa dimana saya mulai terlibat aktif dengan cukup intens dalam kegiatan-kegiatan kampus. Sebenarnya mulai pertama kuliah pun saya sudah tertarik pada kehidupan kampus, akan tetapi pada tahun kedua inilah saya mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kampus dibanding di kosan saya, termasuk (atau malah terutama ya...) pada malam hari. Adalah Panitia Pemilu yang waktu itu dipimpin Erfan yang pertama-tama membuat saya sering menginap di kampus. Maklumlah, pada waktu itu meskipun jumlah panitia yang terdaftar cukup BUANYAK, tapi pada masa-masa kritis, terhitung yang dapat diandalkan mungkin hanya sekitar 7 orangan gitu... dan kami menyebut diri “the magnificent seven” (norak! :p). Sehingga, frekuensi saya menginap di kampus jadi meningkat tajam, dan mulai terkenal sebagai salah satu makhluk malam kampus, dan makhluk yang suka gerayangan subuh-subuh mencari WC di kampus yang cukup bersih untuk mandi :p

Eniwey.... (berhubung udah mulai ngelantur, maka... mari kita lanjutkan lanturannya :p )
Pada suatu malam di tingkat 2 itu, tanpa disangka tanpa dinyana, ayah saya menelpon ke kosan saya... dan tentu jawaban dari teman kos saya yang polos nan lugu adalah : “wah, Awannya belom pulang tuh oom, tau tuh dari kemaren belom ke kosan lagi...” (NICE answer guys!). Dan yang memperburuk situasi, ternyata ayah saya pun menelpon esok malamnya, dan keesokan malamnya lagi, dan memperoleh jawaban yang SAMA! (padahal saya pulang ke kosan tuh paginya, ganti baju, mandi , terus cabut lagi :p ). FYI, saya waktu itu belom punya HP (tilpun yang bisa dipegang dan dibawa-bawa kemana-mana itu loh...), dan baru punya HP (merk siemens model jadul (jaman dulu) yang masih ada antenanya, segede walkie talkie ukuran kecil) waktu semester 6 akhir.

Maka jadilah, ketika AKHIRNYA saya ada di kosan dan menerima telpon dari ayah saya, terjadi ledakan kemarahan pada diri ayah saya yang intinya adalah : “Bapak nyari uang susah-susah tu buat kamu kuliah!! Bukan buat maen malem mulu!! Ntar kalo kamu sakit ato apa, kuliah keteteran, gimana coba???” Tentu, saya coba berargumentasi mengenai urgensi aktivitas di kampus, sehingga akhirnya diskusi tidak seimbang itu ditutup dengan ucapan ayah saya : “Ya udalah, terserah, mau ngapain di kampus, asal baik. Yang penting, IP kamu GAK BOLEH dibawah 3 !!”. Yah, mau bagemana lagi... IP memang ukuran (hampir satu-satunya) yang oleh masyarakat secara umum dianggap cukup valid untuk mengevaluasi kecerdasan, intelektualitas, dan bahkan potensi berkembang (maupun potensi untuk menjadi kaya) dari seorang anak manusia. Sehingga, walau secara logika saya menentangnya, tapi saya mahfum bahwa itulah ukuran yang dipahami dan diharapkan oleh ayah saya. Satu poin penting lain dari diskusi itu tentu adalah : bahwa uang ayah saya itu adalah sebentuk amanah untuk satu hal (kuliah), sehingga aktivitas lain hendaknya tidak mengganggu gugat amanah tersebut (bingung ga sih dengan bahasa saya???).

Saya kemudian membuat rumusan bahwa pilihan apapun yang saya ambil harus saya tanggung konsekuensinya. Dan saya memilih untuk tetap menjalankan aktivitas di kampus, dan terus berkembang di kampus. Maka konsekuensinya adalah, satu, itu tidak boleh mengganggu kuliah saya (minimal IP saya), dan dua, saya tidak boleh lagi memberatkan ayah saya dalam hal finansial (karena itu tadi, uang ayah saya hanya untuk kuliah).

Maka sejak saat itu, saya tidak pernah lagi meminta uang dari ayah saya. Tapi kalau ayah saya memberikan uang (tanpa diminta), ya saya terima :p. Termasuk untuk SPP, uang kontrakan, buku dsb, saya kemudian tidak pernah terbuka dengan ayah saya. Mungkin ayah saya cukup heran dan diam-diam mengetahui filosofi saya ini, berhubung SETIAP KALI ditanya masalah SPP atau uang untuk kontrakan/kosan, dsb, saya selalu menjawab : “masih ada kok, masih ada tabungan. Tenang aja”. Demikian juga untuk uang bulanan yang dulu saya minta secara rutin, sekarang tidak saya minta lagi. Kalaupun ditanya ”kamu masih ada uang?”, saya selalu jawab ”masih, tenang aja”. Tapi tentu, setelah 6 bulan selalu mendapat jawaban yang sama, tentu ayah saya pun tau kalau sebenarnya uang itu tidak ada, tapi anaknya ini sudah terlalu gengsi untuk minta. Maka biasanya saya tetap diberi uang setiap bulan, entah saya minta atau tidak, yang jumlahnya tidak tentu. Terkadang juga tidak dikasih. Bahkan untuk SPP, kalau ayah saya bilang ”coba urus penundaan dulu, belum ada nih uangnya”, saya jawab ”gpp kok, saya masih ada tabungan” sampai akhirnya saya jawab ”udah lunas pap” yang tentu membuat ayah saya bingung.

Tapi jawaban-jawaban itu bukan jawaban asal sodara-sodara... Bagaimanapun, dengan pilihan itu, saya memang harus bisa menghidupi diri sendiri bukan?? Maka dimulailah usaha serabutan saya untuk mencari uang, mulai dari pinjam uang ke orang (oke, ini pilihan terakhir!!), bantu-bantu ngerjain tugas orang (bukan ngebikinin, ngebantuin!), sampai ngamen di simpang jalan Dago-Sulanjana (berhubung simpang jalan ini masih sedikit pengamennya, dan premannya nggak galak :p). Mengamen memang pilihan yang paling feasible, karena saya punya gitar, dan saya pelajari teknik mengamen itu waktu dulu OSPEK dan mencari dana untuk acara-acara wisudaan di himpunan. Tidak banyak yang tau memang acara mengamen ini, karena saya lakukan sendiri (biar ga usah dibagi-bagi uangnya :p). Gitar saya taruh di kampus, di sekre Panpel, jadi saya bisa ngamen kapan aja kalau ada waktu luang. Cepat kok, biasanya dalam satu malam, sekitar 3 jam bisa terkumpul 10.000 sampai 20.000 (kalau penumpang angkot pada baik), dan bisa untuk makan sampai 2 hari setelahnya. Dengan pola hidup ini pun saya belajar untuk hemat...mat...mat... irit...rit...rit... sehingga bisa menabung untuk masa depan yang penuh ketidakpastian. Dan memang pada akhirnya, ketidakpastian itu datang juga... GITAR SAYA DICURI ORANG DI KAMPUS!!! Ini terjadi tepat pada acara kampanye hari terakhir pada masa Panpel Pemilu Erfan. Wah... sudah... hancur berantakan.... gitar yang saya sayangin itu, yang menjadi alat saya dalam berikhtiar mengais rezeki... hilang sudah...

Memang, saya ikhlaskan kehilangan itu... (walau saya yakin, kalau bertemu pencurinya, akan saya gelitiki telapak kakinya sampai dia minta ampun!!) Akan tetapi, kehilangan itu terjadi di masa yang sungguh tidak tepat. Waktu itu, setelah pemilu, saya diberi amanah sebagai senator HMP di Kongres KM-ITB, yang membuat waktu-waktu malam saya lebih banyak lagi tersita untuk rapat-rapat dan diskusi, mulai yang penting sampai gak penting, yang jelas sampai mengalor ngidul. Siangnya diisi dengan Studio Proses Perencanaan yang banyak makan waktu juga. Lalu di himpunan ada OS, dimana saya anggota tim materi, kemudian ketika acara lapangan menjadi salah satu Danlap (komandan lapangan). Semua ini membuat saya nyaris tidak ada waktu untuk mencari uang, sementara saya tinggal berpegang pada uang di tabungan saya yang tinggal 1,5 juta lagi. Sebenarnya bisa saja saya ikut proyek-proyek dosen, lumayanlah dapat uang bantu. Tapi, tenaga perbantuan seperti itu menyita banyak waktu. Ditambah ketika itu, belum banyak mahasiswa yang mroyek, apalagi angkatan saya.

Dan yang membuat otak semakin mumet, ditambah lagi dengan habisnya kontrakan rumah kos, dan harus bayar lagi untuk setahun kedepan, 1,6 juta. Panik deh. Alhamdulillah, bulan itu ayah mengirim 300 ribu, tanpa tau bahwa waktu itu kontrakan saya habis.

Setelah pembayaran rumah selesai, maka tiba2 uang saya tinggal 150 ribu lagi, tanpa waktu untuk mencari uang, dan kalau mengharapkan ayah saya memberi uang lagi, tentu baru bulan depan. Itupun belum jelas kapan dan berapanya... Minta? Gengsi !! (duuh, pikirannya kekanak-kanakkan bgt ya...:p). Maka saya putuskan, saya harus bisa hidup dengan 5000 sehari !!! (keputusan dibuat sambil mengucap sumpah serapah untuk maling garong yang mengambil gitar sayah!!)

Jadilah, dibantu dengan sebungkus kopi kapal api ukuran 250gr dan 1 kg gula pasir yang saya rampas dari rumah ketika terakhir pulang ke Bogor, pola hidup itu saya jalani. Sarapan dengan roti seharga 500 rupiah ditambah segelas kopi, makan siang dengan bubur kacang hijau Pak Jajuli di dekat himpunan seharga 1000 rupiah, lalu makan malam nasi goreng atau apapun yang seharga 3500 rupiah. Pulang-pergi kampus cukup berjalan kaki, dan yang paling penting, kalau mau rokok, MINTA!! (hueheheheh, makasih rekan2 himpunan yang suka nongkrong di himpunan pada masa-masa itu, yang rela memberikan rokoknya pada sayah :p). Rokok pada masa-masa itu menjadi cukup vital, dan frekuensi merokok saya memang meninggi pada masa-masa ini, dengan satu alasan : rokok menghilangkan nafsu makan, dan menahan lapar!

Masalahnya adalah kalau saya harus pergi ke tempat-tempat lain yang butuh ongkos. Akibatnya, kalau tidak ada teman yang membayari ongkos itu, maka saya harus ambil dari pos lain, dan paling sering adalah pos makan malam yang 3500 itu. Tenang, masih ada Indomie-telor yang bisa didapat dengan 1500 rupiah, atau indomie seharga 1000 rupiah, atau... roti seharga 500 rupiah, atau... tidur untuk melupakan lapar. Yap, tidur adalah langkah yang paling logis.

Tidak jarang juga saya berjudi (ya Allah, maafkan hambaMu ini...) di himpunan, yaitu di meja karambol!!. Yap, pada kasus-kasus tertentu, saya menerima tantangan atau menantang teman di himpunan untuk bermain karambol, yang kalah traktir teh botol, rokok, atau makan siang, atau apapun yang disepakati. Bagi saya taruhannya waktu itu jelas, kalau menang saya makan, kalau kalah saya ngutang! Dan karena itu, saya juga pilih2 lawan, kalau yang jelas-jelas lebih jago dari saya, ya saya mundur, ga pake tarohan. Tapi kalo lawan kayak Odhenx (sori denx! :P ) ato siapa aja yang kira-kira kemungkinan menang saya besar, saya maju (taruhannya perut bung!). Halah, sisi gelap hidup di meja judi (karambol) nih... Eh, btw, pada tau karambol kan???

Tapi untunglah, hari2 itu tak berlangsung lama... hanya sekitar 3 bulan, sampai akhirnya datang acara akhir pada OS angkatan 2001, dan setelah itu seorang dosen menawari saya untuk membantu desertasinya, dan tugasnya tidak terlalu menyita banyak waktu, memimpin survey ke perumahan di Margahayu. Saya memobilisasi 30 orang untuk survey (termasuk saya sendiri), lalu bersama seorang kawan saya melakukan input data dan analisis sederhana. Di akhir proyek, saya pribadi mendapat sekitar 750 ribu rupiah. Tentu, ini jumlah yang cukup besar ketika itu. Dan alhamdulillah, disusul dengan proyek-proyek berikutnya. Memang, hasilnya tak sebesar yang pertama, tapi cukuplah untuk hidup stabil setiap bulannya, menaikkan standar hidup dari 5000 sehari menjadi mencapai 10 ribu sehari. Selain itu, alhamdulillah akhirnya saya pun bisa membeli gitar bekas seharga 450 ribu, untuk menggantikan posisi gitar saya yang lama.

Sejak itu kondisi keuangan saya relatif stabil memang. Saya hanya mencari uang ketika sudah mendesak kebutuhannya, berhubung frekuensi kegiatan saya di kampus terus meningkat sampai saya lulus. Memang, pada masa-masa pembayaran SPP, habis kontrakan, dsb, kembali fluktuatif, tapi alhamdulillah, dapat dilalui. Terima kasih untuk semua (banyak) yang dulu membantu saya melalui masa-masa kuliah ini, termasuk Risma yang dulu sempat saya pinjam uangnya 750 ribu untuk pembayaran SPP terakhir saya (makasih Ris, udah lunas kan?? :p).

Memang, yang saya sayangkan adalah, tercatat saya satu kali gagal memenuhi janji saya pada ayah saya untuk tetap menjaga IP saya diatas 3. Pada semester 4, IP saya 2,8. Meski saya bisa menjaga IP diatas 3 pada semester-semester berikutnya, tetap ini adalah sebuah kecacatan...

Tapi memang, masa-masa itu saya lalui dengan ketenangan dan kebebasan. Seberat apapun, saya tetap merasa tenteram. Apalagi, pada masa-masa itulah saya mendapat banyak guru baru, termasuk Erfan dan Delik yang menjadi guru mengaji saya (saya sama sekali buta huruf sampai bertemu orang-orang ini di kampus :p), dan semua kawan di kampus yang menjadi inspirasi saya.

Yap, adalah kebebasan yang membuat saya merindukan masa-masa ini. Kebebasan dengan batasan yang jelas untuk beraktivitas. Kebebasan untuk membuat pilihan. Kebebasan untuk beradu argumentasi di kampus. Kebebasan untuk mengemukakan pemikiran. Kebebasan untuk bergerak.

Adalah sebuah ironi apabila kemudian pada masa-masa sekarang ini justru saya merasakan kebebasan itu perlahan mulai terikat. Padahal justru sekarang, permasalahan sumber daya materi saya tidaklah seberat dulu.

Dulu, adalah mudah bagi saya untuk mengumpulkan uang dan disumbangkan secara rutin untuk Yayasan Bocah Garis (sebuah rumah singgah untuk anak2 jalanan di Dago dan sekitarnya), atau bahkan menyumbangkan uang saya sendiri (yang seringkali merupakan satu-satunya jumlah uang yang saya miliki) untuk anak2 itu. Mudah bagi saya untuk berkunjung kesana kalau saya mau. Dulu, beradu argumentasi dengan rektor atau seorang calon presiden RI pun bukan sesuatu yang menakutkan bagi saya, bahkan ketika perdebatan itu sampai menegangkan urat syaraf. Dulu, wacana-wacana akademik mengalir lancar di ruang-ruang kuliah atau forum-forum yang melibatkan para pengambil kebijakan publik.

Tapi sekarang, ketika saya tidak lagi perlu untuk mencari sumbangan kemana-mana untuk memberi ke Bocah Garis dengan jumlah yang sama seperti dulu, saya malah berpikir sampai 7 kali sebelum memberi. Memikirkan dulu untuk cicilan2, untuk hidup sehari2, untuk modal usaha, untuk nonton di bioskop, untuk blablabla... Bah! Uang ini menjadikan saya egois! Sekarang, ketika saya sudah berada didalam sebuah institusi perencanaan terbesar di negri ini, wacana-wacana akademik justru lebih banyak dikalahkan oleh argumen semacam ”ya kondisinya gitu kok, gimana??” atau ”nanti anggaran untuk pos ini berkurang dong?” atau blablabla lain yang dulu dapat ditangkal dengan ”kalau itu salah, ya perbaiki!”. Yap, sekarang justru saya harus menahan diri melihat absurdnya sistem perencanaan di negeri ini. Absurd memang...Dan sekarang, ketika saya seharusnya sudah mulai memutuskan sendiri jalan hidup saya, justru saya membiarkan diri terikat oleh orang lain dan keadaan yang mengarahkan saya...

Saya rindu keikhlasan, karena uang justru membuat keikhlasan saya berkurang. Saya rindu kebebasan, karena terlalu banyak yang menjauhkan saya dari cita-cita. Saya rindu kejujuran, karena itu jarang saya lihat lagi. Saya rindu menjadi ekstrim, karena saya mulai lemah. Saya rindu angin malam dan mentari fajar, karena mengingatkan saya akan Allah. Saya rindu tidur dengan perut lapar, karena itu mendekatkan saya dengan mereka yang tertindas oleh zaman. Saya rindu turun ke jalan, saya rindu rapat, debat dan adu argumentasi, dan saya rindu aksi nyata untuk saudara-saudara sesama manusia. Saya rindu idealisme, karena itulah kemewahan masa muda yang sekarang terasa jauh. Saya rindu... saya rindu...

Itulah sebabnya, meskipun saya saat ini (ya, minimal sampai akhir taun ini :p) insya Allah mampu untuk naik kereta ekspres AC, saya tetap lebih sering memilih kereta ekonomi jakarta-bogor, karena minimal beberapa kerinduan saya terobati... (nggak nyambung ya?? :p)

Masa-masa jaya... ternyata terletak bukan di puncak, tetapi di bukit terjal menuju puncak. Seperti dulu pernah saya tulis, ketika kita di bawah, maka satu-satunya jalan adalah menuju ke atas. Itulah masa jaya, ketika kita sedang merangkak ke atas. Yang saya takutkan adalah ketika di puncak, dimana satu-satunya jalan adalah ke bawah. Saya takut tidak bisa bertahan melayang.

Tapi tentu, masa lalu adalah masa lalu. Kerinduan tidak ada artinya. Dan saya akan jatuh apabila menganggap kondisi sekarang adalah puncak. Bukan! Selamanya, masa kini bukanlah sebuah puncak! Ini pun adalah bukit terjal yang sedang saya daki. Puncak adalah ketika saya mati! Maka, walau bagaimanapun, saya harus kembali menyusun langkah, menentukan arah dan tujuan, sehingga saya bisa kembali pada pemahaman, bahwa SEKARANG DAN SELAMANYA, saya sedang menapaki jalan menuju kejayaan. Kejayaan yang betapa ingin saya peroleh dalam kematian saya...

Ya Allah, tuntunlah hambaMu ini...


(untuk semua cita-cita, untuk mimpi-mimpi, untukMu...)

Thursday, April 13, 2006

It is an art... (Cerita-cerita dari Kereta, Episode 8)

Ini adalah salah satu tulisan yang cukup vulgar, eksplisit, dan mungkin terkesan kurang sastrawi (Buat arifin : iya pin, memang tulisan ini tidak sastrawi). Meski judul blog ini adalah “sebuah pencarian akan makna”, tapi ini adalah salah satu tulisan yang secara pribadi saya anggap tidak bermakna (walaupun ketidakbermaknaan itu pun adalah sebuah pencarian). Karena kevulgaran yang dimaksud pun bisa berarti jorok atau tidak sesuai untuk standar moral atau standar keindahan sastra anda, maka saya sarankan para pembuka blog ini yang belum punya KTP untuk tidak membaca tulisan ini, dan segera beralih ke postingan-postingan sebelumnya... Terima kasih.

WAW! Bikin ngeri banget ngga sih openingnya ???!!
Apalagi ngeliat judulnya, pasti ngiranya saya bakal ngomongin pornografi ya??? Dan hubungannya dengan seni??? Hehe, salah, saya cuma mau cerita keseharian di kereta kok... Ngga kerasa, udah sampe episode 8 ya... (padahal ga ada istimewanya juga si angka 8 ini)

Mari kita mulai...


“It is an art, not just a daily-trained skill...”
(itu adalah seni, bukan sekedar keterampilan yang terasah setiap hari...)


-perkataan bijak seorang tukang tidur di gerbong-


Tidur... selamanya adalah salah satu kebutuhan manusia. Wajar, manusia butuh istirahat. Dan karenanya, tentu wajar apabila kondisi yang lelah merupakan kondisi yang paling efektif untuk mentransformasi kantuk menjadi aktivitas tidur ini.

Pada suatu ketika di tahun 2003 (ato 2002 ya??), saya bersama teman-teman kuliah pernah survey ke daerah Rancaekek. Moda yang kami gunakan untuk pulang balik Bandung-Rancaekek adalah kereta ekonomi. Kondisinya sangat jauh dari kebiadaban kereta ekonomi Jakarta-Bogor di sore hari, tapi tetap cukup untuk membuat kami berdiri rapat. Pada suatu sore ketika kami pulang setelah survey dari Rancaekek itu, seorang teman saya melontarkan kekagumannya karena saya sanggup tidur sambil berdiri di kereta ekonomi itu. Tentu, untuk saya sendiri, kemampuan itu bukanlah barang baru, karena saya pun sering tidur di kereta ekonomi jakarta-bogor ketika SMP dan SMA dulu saya sering main ke jakarta naik kereta.

Dan kini, kemampuan itu terasah hampir setiap hari, sehingga saya pun mempelajari kalau sebenarnya, kemampuan tidur sambil berdiri adalah sebuah seni.

Sebelumnya, istilah “tidur berkualitas” saya kira hanya berlaku untuk kondisi tertidur saat majelis atau saat khutbah Sholat Jum’at (yang entah kenapa, kalau tidur pada momen-momen itu, saya merasa segar ketika bangun... tentu, ini adalah contoh yang buruk!). Tapi ternyata, tidur di kereta pun bisa menyegarkan. Tentu, pilihan untuk tidur sambil berdiri adalah sebuah keterpaksaan karena kemustahilan untuk mendapat tempat duduk ketika kita naik kereta dari Manggarai (masuk aja susah!).

Akan tetapi, hati-hati!!! Mengingat KRL pada gerbong manapun rawan copet, tidur berkualitas bisa saja berganti menjadi tidur was-was!! Khawatir tas kita disobek atau kantong celana kita digerayangi tentunya (baca : cerita-cerita dari kereta, episode 4, bagian “copet bertopi merah”). Meski begitu, kekhawatiran itu bisa berkurang kalau lampu-lampu kereta menyala semua atau kalau kita mendapat tempat berdiri di deret paling depan (dekat bangku). Di deret terdepan ini, anda bisa menyimpan tas anda di tempat penyimpanan tas (di atas bangku-bangku), dan bisa berpegangan pada jeruji-jeruji tempat penyimpanan tas itu, dengan tetap menyentuh tas anda. Dengan begitu, anda bisa yakin tidak akan ada yang bisa menyetuh atau menyilet tas anda tanpa terlebih dulu menyentuh (atau menyilet) tangan anda.

Adapun posisi tidur yang dipilih bisa beragam.

Pada kondisi-kondisi dimana kereta sore sudah penuh sesak luar biasa dan anda berada di tengah gerbong, anda bisa saja tidak berpegangan dan menyandarkan tubuh anda pada tubuh orang di belakang anda. Dalam posisi ini, kalau anda membawa tas, saya sarankan tas dipakai di bagian depan tubuh anda, dan tangan anda sebisa mungkin memeluk tas. Lalu, bersandarlah dengan nyaman, dan pejamkan mata anda. Tentu, resikonya juga ada. Resiko paling ringan, keringat di punggung anda akan bercampur dengan keringat tubuh orang di belakang anda itu. Jadi jangan heran kalau baju anda kemudian basah oleh keringat orang lain. Resiko kedua, bisa saja anda terjatuh atau terdorong kesana kemari kalau kereta direm mendadak atau terdorong pasukan yang masuk di sebuah stasiun. Resiko terberat, kalau tubuh anda memang berat dan kemudian orang di belakang anda itu merasa pegal atau terganggu karena disandari. Bisa saja timbul percekcokan yang menghilangkan selera tidur anda. Salah-salah, tangan orang lain berbekas di pipi mulus anda.

Kalau anda berada di jajaran depan atau dekat bangku dan bisa berpegangan, tentu posisi tidur bisa lebih nyaman. Tinggal sandarkan kepala anda ke salah satu lengan anda yang berpegangan, lalu pejamkan mata. Jangan lupa posisikan tas di tempat yang mudah diawasi. Ini relatif tanpa resiko.

Kondisi ketiga, saat kereta sedang penuh sesak luar biasa (juga) dan anda berada di tengah gerbong (lagi), kemudian disekeliling anda penuh keringat dan bau asam yang membuat ingin muntah. Kalau anda cukup tinggi, saya sarankan anda berusaha berpegangan dengan menekan langit-langit kereta, atau apapun yang berada dalam jangkauan anda. Intinya, angkatlah tangan anda !!! Lalu, sebisa mungkin arahkan hidung anda pada ketiak atau apapun yang menjadi sumber bau badan anda. Pada kondisi ini, anda harus cukup berbesar hati untuk mengakui bahwa ANDA JUGA BAU !! Dengan kata lain, kalau ada premis dalam pemikiran anda bahwa seluruh bau di kereta itu diakibatkan oleh keringat orang lain, maka premis itu SALAH BESAR !! Akuilah, anda pun sebuah sumber bau. Nah, dengan mengarahkan hidung ke ketiak anda sendiri, anda minimal bisa tidur (atau pingsan) karena mencium aroma tubuh sendiri. PERCAYALAH, ini lebih bermartabat (dan lebih menenangkan hati) dibanding tidur (atau pingsan) sambil mencium aroma keringat dari tubuh orang lain (dalam beberapa pengalaman, ini bisa mengakibatkan mimpi buruk yang traumatik sampai-sampai saya tidak bisa tidur pada malam hari di rumah sendiri). Tapi saran anda, tentu, pakailah deodoran sebelum naik kereta, untuk keselamatan hidung anda dan orang lain.

Kalau anda bersama suami atau istri anda (yaah, pasangan2 muda yang masih dalam tahap berpacaran pun sering, tapi plis deh, ga malu apa sama orang-orang kereta??!!?!), anda bisa saling mengalah, siapa yang tidur dan siapa yang menjadi tempat tidurnya. Bersandarlah pada pasangan anda, sambil meminta pasangan anda memegangi atau memeluk anda sekaligus menjaga barang-barang berharga anda (tas dsb). Ini pun relatif aman dan menenangkan hati.

Kalau anda mendapat berkah berupa tempat duduk (alhamdulillah), maka anda bisa memilih posisi yang ternyaman untuk tidur sambil duduk. Pada kereta pagi, biasanya banyak orang Bogor yang menikmati berkah ini. Resikonya paling sepetan-sepetan sarkastik seperti Rahasia Ilahi (Baca : cerita-cerita kereta episode 4 bagian “Rahasia Ilahi” atau “pantat yang ngebul”). Selain itu, ada juga sepetan-sepetan ringan yang puitis dan sastrawi, terutama kalau anda tidak mau bergantian duduk dengan orang lain sampai tempat tujuan. Puisi-puisi kontemporer yang kreatif sempat tercipta di kereta pagi, seperti ”Makan batagor di Rawamangun, yang dari Bogor kagak bangun-bangun. Gantian dong sih!!”. Kalau anda memang benar-benar mengantuk karena kemarin malamnya ronda atau lembur atau nonton pertandingan bola, maka acuhkan saja sepetan-sepetan itu.

Terakhir, ini pola tidur yang tidak saya sarankan.

Wahai kaum wanita yang suka naik kereta, BERHATI-HATILAH !!! Terkadang, ada saja pria-pria nakal yang suka menyandarkan bagian depan tubuhnya pada punggung anda. Kaum pria kereta sudah sama-sama mahfum mengenai istilah ”TUKANG GESEK”. Tukang gesek ini adalah pria-pria yang nampaknya memperoleh kenikmatan dan hiburan dengan menempelkan, menekan, atau menggesekkan bagian depan tubuh mereka (terutama pinggang kebawah) pada bagian belakang tubuh wanita (bagian pinggang kebawah juga, atau sebutlah eksplisitnya, maaf, pantat). Sungguh, orang-orang ini SAKIT! Sungguh orang-orang yang secara mental, SAKIT! Salah satu metode BASI (karena sudah sejak dulu metode ini berkembang, dengan segala variannya) dari para tukang gesek ini adalah dengan PURA-PURA TIDUR sambil berdiri di belakang seorang wanita. Dengan begitu, dia merasa leluasa untuk menempelkan tubuhnya ke tubuh wanita didepannya. Selain itu, dengan pura-pura tidur, dia juga merasa bebas untuk menyandarkan kepalanya ke bahu atau kepala wanita itu. Kalau si wanita marah, dia akan beralasan kereta penuh sehingga terdesak dari belakang, atau beralasan karena memang mengantuk saja. Busuk! Sungguh busuk!

Tapi jangan salah, jangan lantas mencurigai semua pria yang berdiri dekat wanita adalah tukang gesek. Tukang gesek ini sebenarnya jumlahnya hanya sedikit, dan bisa dikenali dari beberapa perilaku mereka yang mencurigakan, sehingga bisa dibedakan dengan pria biasa (non-gesek).
Pertama, pria biasa berdiri dekat wanita karena terpaksa atau pengaruh keadaan, sementara tukang gesek memang mencari sekuat tenaga posisi itu. Ini beberapa kali saya alami. Ketika kereta penuh, seorang pria di sebelah saya tidak berpegangan dan mengikuti arus desakan/gerakan penumpang. Akan tetapi, ketika tiba dibelakang seorang wanita, mendadak beliau berpegangan dengan kedua tangannya, dan mendadak menahan sekuat tenaga untuk tidak terdorong lagi, sehingga saya terjepit dan terpaksa menahan sakit karena ditekan dari dua arah. Biasanya, tukang gesek akan semakin menempelkan tubuhnya (menekankan) ke si wanita kalau ada arus lalu lintas orang di sampingnya, sehingga orang-orang terpaksa lewat melalui bagian belakang si tukang gesek. Dengan begitu, posisinya terhadap si wanita tidak berubah dan dia punya justifikasi lebih untuk menempel dengan si wanita.

Kedua, posisi tangan dan tubuh ketika berpegangan pun bisa berbeda. Seorang pria biasa akan merasa risih ketika terpaksa bersinggungan dengan tubuh wanita, dan sebisa mungkin menghindari bidang singgung yang luas. Sebaliknya, seorang tukang gesek biasanya berpegangan dengan kedua tangan sedapat mungkin sehingga posisi si wanita didepannya itu tepat berada diantara kedua bahunya. Dengan begini, si wanita tidak bisa bergeser kemana-mana.

Ketiga, setelah kondisi tidak lagi memaksa (kereta tidak lagi penuh), seorang pria biasa yang asalnya bersinggungan dengan wanita tentu akan mencari posisi lain atau tempat berdiri lain yang tidak bersinggungan dengan wanita. Sementara seorang tukang gesek, walaupun dibelakangnya sudah kosong, akan tetap berdiri di posisinya, tanpa peduli tatapan curiga dari pria lain disebelahnya.

Kaum wanita yang sudah tidak asing dengan keberadaan tukang gesek ini telah mengembangkan beberapa metode yang bisa digunakan untuk meminimalisir efek negatif dari fenomena ini. Bagi kaum wanita lain yang baru tau sekarang, mungkin metode-metode ini bisa diikuti.

Pertama, berusahalah berdiri menyamping, sehingga bagian tubuh anda yang bersinggungan dengan bagian depan tubuh si tukang gesek adalah bagian samping tubuh anda. Kedua, dengan sekuat tenaga, berusahalah berpindah posisi, atau tawarkan si tukang gesek posisi di depan anda. Kalau anda mau pindah dan dia terkesan tidak memberi jalan, jangan ragu, sikut saja!! Paling aman adalah pindah ke dekat wanita lain atau malah didepan wanita lain.

Para pria biasa yang bersimpati terhadap wanita-wanita yang sepertinya sedang dikerjai oleh (yang dicurigai sebagai) tukang gesek pun biasanya akan membantu anda. Caranya, mereka akan berusaha mendorong/menggeser si tukang gesek sehingga berganti posisi, atau membuka ruang supaya anda bisa berpindah tempat, atau kalau si pria biasa itu sedang duduk, maka dia akan memberikan tempat duduknya dengan anda. Dongkollah si tukang gesek kalau tiba2 anda duduk dan orang di depannya berubah menjadi seorang pria...

Kembali ke topik bahasan tidur sambil berdiri...

Pada posisi tidur sambil berdiri, tentu anda khawatir jatuh bukan?? Memang cukup memalukan kalau tiba-tiba kedua lutut anda lemas dan anda kehilangan keseimbangan (yang biasanya diikuti dengan seruan spontan “e e e...eh, aduh..hehe...e e”). Untuk itu, makanya... PEGANGAN!!! Dan kalau itu terjadi, cukup acuhkan saja orang-orang yang menahan tawa karena melihat anda mengantuk, dan segeralah tidur lagi.

Saat anda sedang tidur, jagalah mulut anda. Jangan sampai terbuka terlalu lebar (daripada kemasukan lalat), dan hindari dengkuran yang terlalu keras sedapat mungkin...

Memang, tidur adalah sebuah seni, bukan sekedar keterampilan yang terasah setiap hari.


NB : postingan gw lama-lama makin ga guna gini ya...

Friday, April 07, 2006

Komunitas Gerbong... (Cerita-cerita dari Kereta, episode 7)

Pada pertengahan tahun 1990an akhir (bingung kan? Tengah atau akhir...), Cak Nun (Emha Ainun Najib) pernah mengeluarkan istilah “Komunitas Terminal“. Sejujurnya, Cak Nun bukan salah satu tokoh favorit saya (tapi itu ga penting saya ungkap sebenernya). Meski begitu, istilahnya tetep ingin saya bahas di postingan ini.

Istilah itu sebenarnya keluar dalam penggambaran beliau mengenai kondisi sebuah terminal di Jakarta, yang dia perhatikan sebenarnya orang-orangnya relatif sama dan berhubungan/berinteraksi dengan cukup baik. Misalnya, tukang rokok, satpam, calon penumpang harian yang jam “mangkal“nya di terminal itu relatif selalu sama setiap hari, tukang gorengan, dsb.

Dalam ilmu planning sendiri, suatu komunitas sebenarnya bisa didefinisikan dari interaksi yang terjadi di suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, apabila dalam suatu kelompok itu tidak terjadi interaksi yang signifikan, maka sebenarnya tidak bisa disebut sebagai sebuah komunitas. Meski begitu, pengertian ini nampaknya secara umum diterima untuk konsep “ruang” yang statis. Lalu apakah konsep mengenai komunitas ini juga bisa berlaku untuk “ruang“ yang dinamis??

---

Setiap pagi, saya biasa naik KRL ekonomi pukul 07.20 WIB yang arahnya ke Tanah Abang, atau kalo terlambat ya naik yang jam 07.44 WIB jurusan ke Stasiun Kota Jakarta.

Dalam 10 bulan pengembaraan saya di kereta, secara instingtif yang sebenarnya aneh, saya biasanya naik di gerbong 3 (dihitung dari belakang). Sebenarnya tidak instingtif juga. Pada awalnya, pilihan untuk naik di gerbong 3 didasarkan pada argumen-argumen yang cukup logis. Alasan pertama, satu rangkaian kereta biasanya terdiri dari 2 atau 3 set (seringnya sih 2 set), yang satu setnya terdiri dari 4 gerbong. Berhubung pembawaan diri saya yang agak sedikit lumayan malas (tetap berusaha ja’im biar dikira rajin....), maka saya pikir cukup melelahkan juga kalau harus ke gerbong-gerbong depan. Jadi, gerbong 3 cukup rasional, karena termasuk yang terdekat dari pintu stasiun Bogor. Kedua, kalau saya naik yang ke Tanah Abang, saya berhenti di Stasiun Sudirman (Dukuh Atas) yang peron stasiunnya tidak terlalu panjang, sehingga penumpang gerbong 1-3 biasanya tidak sampai ke peron, melainkan harus melompat ke pinggiran peron. Untuk saya, itu menguntungkan, karena kalau masuk peron saya tetap harus melompat lagi berhubung saya tidak ke arah Jalan Sudirman, melainkan melanjutkan perjalanan ke arah Menteng. Alasan ketiga, entah kenapa, gerbong 1 dan 2 biasanya penuuuuuh banget (sepertinya karena orang lain juga malas berjalan jauh ke gerbong-gerbong depan). Demikian juga dengan gerbong 4 dan 5 yang berada tepat di tengah yang biasanya padat, karena banyak penumpang yang cenderung memilih gerbong-gerbong tengah. Entah kenapa, gerbong 3 ini biasanya lebih lengang.

Jalan 2 bulan rutin naik kereta, ada satu fenomena yang awalnya unik bagi saya...

Kalau diperhatikan, ternyata orang-orang yang mengisi gerbong 3 kereta Tanah Abang itu kebanyakan selalu SAMA setiap hari. Tentu, ini wajar kalau konteksnya penumpang yang naik dari Bogor, karena kereta berhenti dan calon penumpang bebas memilih gerbong yang akan dinaikinya. Seperti juga saya, ternyata banyak penumpang yang punya kecenderungan untuk ”mapan” dalam urusan pemilihan gerbong ini. Kalau sudah enak di gerbong 3, ya besok juga di gerbong 3. Demikian seterusnya. Tapi ketika penumpang di stasiun-stasiun lain juga ternyata yang masuk sama, jadi agak aneh, karena kereta hanya berhenti sebentar di stasiun-stasiun itu dan calon penumpang langsung berebutan masuk. Artinya, para calon penumpang di stasiun-stasiun itu SETIAP HARI memiliki spot berdiri (menunggu) yang SAMA, dan mereka selalu bisa memperkirakan bahwa gerbong pilihannya itu akan berhenti TEPAT di satu titik di peron yang menjadi tempat mereka menunggu. Buat saya, ini cukup luar biasa, mengingat panjangnya peron, banyaknya calon penumpang, dan relativitas posisi sebuah gerbong ketika kereta berhenti di satu stasiun (eh, iya ga sih??). Kalau dari segi waktu, mungkin masih agak wajar, mengingat biasanya waktu berangkat orang-orang disesuaikan dengan jam kantor mereka yang relatif stabil, sehingga wajar kalau saya misalnya selalu naik kereta yang jam 7.20 supaya bisa sampai di kantor pukul 9 atau lebih sedikit (yaaah, setengah jam lah :p )

Dan karena setiap hari orangnya selalu sama (baik penumpang individual seperti saya maupun penumpang rombongan yang selalu riuh), tentu saja interaksi lama kelamaan terjalin dan keakraban familiar menjadi sesuatu yang lumrah. Dari yang tadinya tidak kenal bisa jadi kemudian sampai berpacaran dan kemudian menikah misalnya (dan itu memang benar-benar sering terjadi).

Berikut adalah biodata beberapa penumpang di gerbong 3 Kereta Bogor-Tanah Abang jam keberangkatan 7.20 dari Bogor :

Gerombolan Bogor :

- Sepasang suami istri, selalu mendapat tempat duduk, suaminya memakai kacamata, perawakan kurus. Istrinya cantik (memang benar cantik), rambut sebahu, biasa memakai blazer dan rok. Selalu membeli koran Kompas dan membacanya bergiliran.

- Seorang wanita bersama temannya (pria). Berdua biasanya turun di Sudirman bersama saya, lalu melanjutkan perjalanan ke arah Kuningan. Yang pria berperawakan kurus dan lebih pendek dari saya, rambut cepak, kulit agak gelap, memakai kemeja, biasa Jum’atan di Mesjid Sunda Kelapa di sebelah kantor saya. Yang wanita bertubuh sintal proporsional, biasanya memakai celana panjang dan kaus model adek yang lengannya hanya sampai bahu. Keduanya juga SELALU mendapat tempat duduk.

- Bapak-bapak yang gendut cepak, berbaju lusuh bertampang preman tapi selalu senyum dan banyak kawannya di gerbong 3 itu. Sepertinya dia cukup senior di Gerbong 3. Biasanya memakai celana selutut dan sendal jepit karet. Turun di Sudirman, selalu menyalakan rokok sebatang selepas Manggarai.

- Seorang bapak berkumis bertubuh agak besar, hampir selalu dapat tempat duduk. Nanti teman-temannya naik di Bojong.

- Pak Amat, salah seorang bintang gerbong karena banyak kenalannya. Sepertinya berusia diatas setengah abad. Perawakan kurus kecil, kumis dan rambutnya agak memutih karena lelah. Pak Amat ini orang Sukabumi, naik kereta dari Sukabumi ke Bogor jam 6 (atau lebih pagi), lalu melanjutkan perjalanan dengan kereta dari Bogor sampai ke Tebet. Kalau ada orang yang tau perjuangan Pak Amat dari Sukabumi (naik nambo, yaitu KRD semacam yang kemarin atapnya jebol, dan penuh sesak), biasanya langsung merelakan tempat duduknya untuk Pak Amat. Tapi Pak Amat juga cukup gentle. Kalau ada wanita, pasti dia merelakan diri untuk berdiri (lagi).

- Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan saya atau lebih tua sedikir. Perawakan 160cm proporsional dengan jilbab cekek, biasanya berkemeja dan celana panjang. Perpaduan bibir, mata, hidung, dan seluruh bagian dari penampakan tubuhnya mengundang satu kata untuk mendeskripsikan si wanita itu : CANTIK (dan kalau tertawa manis sekali...). Karena saya belum pernah berkenalan dengannya, kita sebut saja namanya : GCI (Gadis Cantik Itu). Tak pelak, GCI selalu menjadi pusat perhatian dan pusat pandangan mata hampir semua lelaki di gerbong 3, baik yang sudah sering naik maupun anak baru. Maka wajar, disekitar tempat GCI duduk atau berdiri, pasti banyak laki-laki... Biasanya GCI naik kereta bersama kawannya, seorang wanita berambut pendek dicat pirang, atau seorang wanita berperawakan tinggi dengan jilbab non-cekek. GCI dkk turun di Cawang, dengan proses yang selalu diikuti pandangan mata para pria, lalu dilanjutkan dengan desahan nafas panjang karena tak banyak lagi yang bisa menyegarkan mata di kereta.

- Dan lain-lain yang terlalu banyak kalau disebutkan satu persatu disini.
- Saya sendiri... tentu saja.

Gerombolan Bojonggede (sebagai satu sampel, karena postingannya akan terlalu panjang kalau gerombolan dari semua stasiun disebutkan disini) :

- Pak J, dengan perawakan pendek gendut gelap berkumis lebat, dan gaya bicara dengan dialek betawi. Sangat suka sekali bercanda dan mengeluarkan gurauan-gurauan spontan yang membuat penumpang lain menahan tawa atau pura-pura batuk. Lelucon sarkastik ”Rahasia Ilahi” (baca : Cerita Kereta episode 4) yang legendaris sepertinya diciptakan oleh bapak yang satu ini. Kalau Pak J ini dianggap api, maka kompornya biasanya adalah teman-teman segerombolannya. Kawan baiknya adalah seorang bapak yang perawakannya tinggi kurus, juga suka mengobrol dan ternyata baru-baru ini membeli ponsel yang polyphonic.

- Dua ibu-ibu berjilbab, yang satu sekarang sedang hamil dan biasa membawa kursi lipat yang hanya bisa digunakan apabila kereta tidak terlalu penuh dan tidak ada yang merasa tergerak untuk merelakan tempat duduknya untuk wanita hamil.

- Mbak N yang parasnya lucu-lucu manis khas blasteran Jawa-Sunda (seperti saya). Waktu pertama saya naik 10 bulan yang lalu belum punya pacar dan sering digoda oleh gerombolan Bojong yang lain. Selama 10 bulan itu ternyata kemudian mendapat pacar (sesama penumpang kereta dari gerombolan Bojong, seorang PNS), bertunangan, kemudian menikah pada bulan Syawal yang lalu (selamat!). Biasa turun di Tebet bersama Pak Amat. Tetapi setelah menikah, pasutri ini juga sering naik kereta jurusan Kota jam 7.45 (masih suka ketemu saya juga).

- Mbak M yang berjilbab, parasnya juga manis khas jawa. Suaminya berkacamata, berperawakan rata-rata, dan suka sekali mengobrol dengan topik serius dengan orang disebelahnya, siapapun itu. Ketika saya pertama naik kereta di gerbong 3, pasangan ini baru menikah, dan sekarang, Mbak M sedang hamil beberapa bulan.

- dan lain-lain yang juga akan terlalu banyak kalau saya sebutkan satu persatu.

Selain itu tentu saja juga banyak penumpang lain yang selalu sama, termasuk tukang tahu sumedang yang sama yang menumpang ke Manggarai, seorang bapak pengemis yang gemuk dan sedikit terganggu pandangannya, pengemis-pengemis lain, tukang rokok yang sama, bapak tua penjual tissue yang sama, dan lain-lain.

Bentuk interaksi antar penumpang pun cukup beragam. Tapi interaksi ini lebih banyak terjadi pada gerombolan-gerombolan/penumpang yang berkelompok sejak naik. Misalnya gerombolan Bojong tadi. Yang paling lumrah tentu adalah mengobrol, bercanda, saling sepet, sampai diskusi kegiatan RT maupun diskusi wacana filosofis atau agama yang cukup tinggi. Selain itu, bentuk interaksi lain misalnya saling bergiliran duduk, menyindir penumpang yang duduk dengan pura-pura tidur, bertukar koran, sampai bahkan main kartu (domino) kalau kereta tidak terlalu penuh.

Gerombolan pemain kartu yang rutin ada di kereta 7.45 yang ke arah kota, gerbong 3 juga. Untuk kereta 7.45 ini, sebenarnya tidak ada alasan logis yang cukup kuat untuk saya memilih gerbong 3 selain malas dan karena...mmm... GCI juga kalau terlambat naik kereta tanah abang suka naik kereta ini, di gerbong 3, hehehe :p

Sebuah interaksi penuh kehangatan di tengah panas kereta melahirkan komunitas-komunitas di setiap gerbong. Apakah saya telah menjadi bagian dari komunitas itu atau belum, saya tidak tahu. Toh saya rasa tidak ada eksklusifitas didalamnya. Tapi yang jelas, pada hari-hari libur atau pada hari-hari dimana saya tidak naik kereta ekonomi, muncul sebuah kerinduan yang ganjil akan suasana kereta, dan orang-orang didalamnya, komunitas yang telah menjadi keluarga saya selama 1,5 sampai 2 jam setiap hari pada pagi dan sore hari. Sebuah perasaan yang ganjil, mengingat kawan-kawan saya tentu akan heran apabila mengetahui perihal ”kerinduan” itu, terhadap sesuatu yang oleh orang-orang yang tidak pernah mengalaminya akan disebut sebagai sebuah penderitaan. Ya, saya rasa, kondisi dan suasana kereta ekonomi jakarta-bogor pagi dan sore adalah sesuatu yang menakutkan (atau mengejutkan) bagi mereka yang baru melihat, mendengar, tapi belum merasakannya secara langsung. Maka bukankah merindukannya merupakan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi???

Dan keganjilan satu lagi pada diri saya adalah, ternyata kerinduan itu tidak muncul terhadap kereta ekspres AC. Suasananya yang nyaman, dingin dan cepat (karena tidak berhenti pada setiap stasiun) tidak pernah merasuk dalam relung kerinduan di otak ini. Bagi saya, dinginnya kereta seolah telah menjelma menjadi dinginnya para penumpang ekspres dalam berinteraksi. Sama saja, penumpang ekspres pun akan berebutan dalam masuk kereta. Tapi setelah itu, hanya kesunyian menjemukan yang akan menemani anda sampai tujuan, kecuali anda pergi bersama teman atau kelompok.Tidak ada tawa, tidak ada canda, tidak ada emosi, tidak ada jiwa, tidak ada yang istimewa.

Keangkuhan kereta ekspres pun seolah diterjemahkan menjadi keangkuhan para penumpangnya. Sangat jarang misalnya, anda melihat seorang pria memberikan tempat duduknya pada seorang wanita, bahkan pada ibu hamil sekalipun! Tentu, ada saja yang bersikap gentle dan melakukan hal itu. Tapi saya jarang melihatnya (bukan berarti tidak pernah). Saya lebih sering melihat orang-orang yang tidur, pura-pura tidur, atau pada sebuah kasus, mengalihkan perhatian dari ibu hamil yang berdiri didepannya dengan mengobrol bersama teman disebelahnya, atau lebih sering lagi, ya sekedar cuek saja, seolah tidak ada kehidupan didepannya. Pada kasus kereta ekspres tanah abang yang saya naiki dari Stasiun Sudirman menuju Bogor misalnya, pada perebutan-perebutan kursi disaat masuk, lebih sering saya melihat semua saling mendorong, termasuk para pria mendorong para wanita, berlari, lalu pada satu kasus, mengambil tempat duduk seorang wanita yang hendak duduk tapi menyimpan tasnya terlebih dahulu di bagian atas (tempat penyimpanan tas). Si pria itu, ketika sang wanita sedang berdiri untuk meletakkan tasnya di atas, tiba-tiba menelusup ke depan si wanita dan langsung duduk di tempat duduk wanita itu. Kecepatan yang luar biasa, yang diiringi dengan tampang pura-pura bodoh dari si pria, dan wajah dongkol si wanita. Penumpang lain, tanpa tawa, tanpa sindiran atau teguran, berlagak seolah semua biasa.

Persis seperti lagak kereta ekspres yang membiarkan kereta ekonomi menunggu lama di Pasar Minggu, Depok atau Manggarai untuk disusul, supaya kereta ekspres tak perlu berhenti sama sekali. Padahal, ketika menunggu itu, suasana dalam kereta ekonomi luar biasa bertambah panas karena tidak ada angin yang lewat. Sebenarnya kalau kereta AC yang berhenti, tentu tidak apa kan? Toh, disana ber-AC, sehingga tidak akan bertambah panas ketika berhenti selama apapun. Tapi tentu para penumpangnya akan bilang : ”kami kan sudah bayar mahal! Kalo mau cepet, mau enak, ya naek ekspres dong! Salah sendiri naek ekonomi!” Dan alasan itu tentu benar. Masuk akal. Memang, ketika kita ”sudah bayar mahal” maka kita akan menerapkan prinsip kuasa uang, yang bahkan berkuasa diatas empati dan persaudaraan.

Tapi tentu adalah salah untuk menimpakan stigma dan tuduhan yang teramat sinis itu pada para penumpang ekspres. Karena itu hanyalah prasangka yang buruk dari saya semata. Sebenarnya apabila para penumpang ekspres dalam kenyataannya tidak berpikiran seperti itu pun (atau bahkan mungkin sebaliknya), maka apalah daya mereka selain melihat keluar jendela kereta? Bukankah kendali kereta berada di tangan masinisnya? Dan apalah daya sang masinis selain mengikuti petunjuk para penjaga stasiun dan tanda-tanda pada persinyalan sepanjang rel??

Maka sesungguhnya, prasangka sinis itu mungkin tak lebih dari kedhaifan saya semata...

Komunitas gerbong... dan kasta kereta...
Lucu juga... kalau mengingat kerinduan yang ganjil itu...

(Ya Allah, di postingan ini, saya sinis sekali ya??? kok bisa sekejam itu tuduhan saya ke penumpang ekspress.... Mohon maaf, lagi berhubung tadi pagi dan kemarin sore saya merasa begitu kesal ketika menunggu kereta saya disusul beberapa kereta ekspres, karena kebetulan saya lagi sakit gigi... harap maklum...)

Monday, April 03, 2006

G . T . O

Alhamdulillah....

Setelah gedebak gedebuk gubrak selama kurang lebih 3 minggu, akhirnya, dalam rangka untuk :
1. Memulai usaha membantu pemerintah dalam membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia (yang mana nampaknya sekarang ini pemerintah sudah mulai kehabisan akal untuk itu)
2. Memulai pembelajaran dalam bisnis kuliner dengan mencoba terjun langsung secara kecil-kecilan
3. Mengingatkan kembali orang-orang Sunda di Kota Bandung akan budayanya yang mulai tergerus oleh globalisasi (dalam hal ini, budaya yang bercabang pada makanan dan resep tradisional) --- Orang Sunda sepertinya memang kurang kuat memegang karakter budayanya ---
4. Memutar uang, semoga bisa lebih produktif dibanding dipendam di Bank

Maka dengan ini saya promosikan disini (gapapalah promo, rumah sendiri ini...hehe...) pembukaan warung :


G-T-O !!! (Gerai Tutug Oncom)

Nah, bingung kan namanya???

Sebenernya bingung juga mau dinamain apa warung ini, berhubung menu utama yang disajikan di sini adalah : Nasi Tutug Oncom.


Saya rasa bagi yang bukan orang sunda, agak bingung ya, Nasi Tutug Oncom itu apa sih???
Tapi kalau anda orang sunda, dan anda juga ikutan bingung karena tidak tahu nasi tutug oncom itu barangnya seperti apa, maka itu adalah bukti kalau orang-orang Sunda sudah mulai kehilangan budayanya :p


Sekarang silakan bayangkan kelezatan makanan yang disajikan di warung saya ini...
Nasi putih panas yang punel diliwet (saya tetap bersikeras untuk menggunakan beras yang bagus untuk menjaga kualitas cita rasa), dibumbui dengan gurihnya oncom hitam asin (tau oncom kan???) yang ditaburi di atas dan sekelilingnya, lalu ditambah dengan kentang goreng balado yang diiris kecil-kecil tipis yang pedas dan gurih, dilengkapi ayam goreng kering yang empuk atau teri kacang asin. Juga tersedia menu dengan telur dadar berbumbu. Sebagai pelengkap ciri khas sunda, lalapan sederhana berupa timun dan daun selada segar tentu juga hadir, diiringi dengan sambal dadak yang akan menggoyang lidah anda.... Kerupuk udang pun bisa ditambah sesuai selera anda. Buah-buahan seperti pisang juga tersedia sebagai pencuci mulut setelah puas menyantap nasi tutug oncom...

Sebagai bagian dari pelayanan kami, yang sebenarnya dahulu merupakan tradisi semua rumah makan di tatar priangan (jawa barat), kami sediakan segelas teh tawar hangat untuk memuaskan dahaga anda. Gratis!
Tapi kalau anda merasa ingin minuman hangat yang lain, tersedia teh manis hangat (yang bisa saya janjikan tidak bening, ini benar-benar teh!), minuman instan seperti Cofeemix juga ada. Tapi kalau ingin yang beda dari yang biasa, silakan coba teh jintan kami, atau ngopi sehat tanpa kopi (nah, bingung kan??) dengan rebusan jintan hitam yang menyuguhkan nuansa kopi tapi tanpa kafein, bahkan menyehatkan karena khasiat jintan yang sudah terkenal sejak dulu...

Dan semuanya bisa anda dapatkan dengan harga terjangkau!

Kami bersikeras untuk tetap menekan harga, mengingat negara ini didominasi oleh rakyat miskin pada grass-rootnya. Meskipun seporsi capcay di warung sebelah kami sudah dihargai 6000 rupiah setelah kenaikan BBM, tapi di GTO, anda bisa kenyang dengan 3000 rupiah saja!!!

Betul!! 3000!!!
1. 3000 rupiah untuk seporsi nasi tutug oncom plus tahu tempe, lengkap dengan lalapan, sambal dadak dan teh tawar.
2. Nasi tutug oncom plus telur dadar atau teri kacang seharga 3500 rupiah,
3. dan nasi tutug oncom plus ayam goreng seharga 5500 rupiah.
4. Nikmati juga paket kombo kami, spesial 1 (nasi tutug oncom plus kentang balado, ayam goreng dan teri kacang) seharga 7000 rupiah,
5. dan spesial 2 (nasi tutug oncom plus kentang balado, teri kacang dan telur dadar) seharga 5500 rupiah.
6. Tentu, lalapan, sambal dadak dan teh tawar adalah pelengkap standar yang hadir di setiap menu :)

7. Pelengkap lain? pisang 500 rupiah, kerupuk 300 rupiah, seporsi kentang balado 1500 rupiah, seporsi tahu tempe 1500 rupiah.
8. Minuman? teh manis 1500, cofeemix 2000, dan teh jintan 1500, kopi jintan 3000 rupiah...

Gimana? Cukup bersaing kan??? Mau nyoba???
silakan datang ke warung sederhana kami di :


Jalan Tamansari Bandung, didepan Bappeda Kota Bandung, disebelah Pasar Balubur Baru... Bandung
Buka mulai Maghrib - pukul 23.00 WIB


Jadi dari kampus ITB, silakan susuri jalan gelap nyawang, dan anda akan menemui Pasar Balubur baru... didepan pasar balubur berjajar tenda-tenda kaki lima. Tepat disebelah pasar balubur ke arah selatan, anda akan menemui kantor Bappeda Kota Bandung. Kami tepat didepannya. Tendanya beda dari yang lain. kami tidak menggunakan spanduk di bagian depan. ciri khas warung kami adalah : ukurannya mungil, atap tenda berwarna biru, dan gerai-gerai bambu yang menggantikan spanduk sebagai dinding warung.




Sebagai bagian dari inovasi pelayanan, kami juga menyediakan delivery service sampai ke rumah atau kantor atau kosan anda. yap, benar! delivery service!! Untuk pemesanan minimal 2 porsi. Tentu, anda tidak setega itu memesan delivery service, membiarkan kami mencari rumah anda di pelosok gang (misalnya) untuk 1 porsi saja bukan?? :p

Untuk delivery service, semua harga tetap sama, tapi jumlah totalnya ditambah ongkos kirim. tidak mahal, 500 atau 1000 rupiah saja sebagai pengganti bensin motor, untuk daerah Dago dan sekitarnya. Untuk daerah-daerah yang jauh, ongkos kirimnya bisa dinego :p

Untuk delivery service, silakan hubungi 081322221163 (sms juga boleh kalo memang sedang ngirit pulsa :p ).
Tolong alamatnya yang jelas yaaa....

Tentu, keunggulan untuk makan langsung di warung juga ada. kami menjanjikan kehangatan suasana di warung yang mungil, dalam hembusan sejuk angin malam Bandung. Sangat cocok untuk anda bersantai bersama teman-teman anda, apalagi ditemani minuman hangat dari kami.


Berani mencoba ???

( buat orang-orang Bandung yang baca postingan ini, AWAS kalo nggak nyoba!!! :p )

Doakan biar sukses yaaaaaa....:)


NB : Buat mbak Yati, mohon maap ya, untuk postingan kereta masih harus menunggu... sabar ya mbak... lagi semangat promosi nih :)