Wednesday, August 24, 2005

Naik kereta api tut tut tuuut... (Cerita-cerita dari Kereta, episode 1)

"Naik kereta api tut tut tuuut...
Siapa hendak turuuut...

Ke Depok dan Jakarta...
Bolehlah naik dengan percuma...

Ayo kawanku lekas naik,
Keretaku tak berhenti lama."

Nah, untuk kali ini, semua kata dalam syair itu benar adanya, setidaknya yang saya rasakan tiap hari waktu naik KRL ekonomi Jabotabek dari Bogor-Manggarai bulak balik pagi-sore. Semua kata benar, kecuali mungkin bagian tut tut tuuut-nya. Namanya juga kereta listrik, udah ngga ada tutut-tututan lagi. Cuma ada jes-jes jes-jes, bunyi monoton tiap roda kereta berputar satu kali.

Trayeknya sama, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jalur Bogor-Stasiun Kota Jakarta. Memang beberapa tahun terakhir ini mulai diaktifkan lagi jalur Bogor-Tanah Abang, yang jalurnya setelah Manggarai belok ke arah barat (Kalo yang ke Kota jalurnya ke utara). Yang jelas, dua-duanya lewat Depok, dan dua-duanya lewat Manggarai, jadi ga masalah untuk saya naik Kota atau Tanah Abang.

Siapa hendak turut ? ooo, banyaaak, banyak beneeer...
Terutama, peak hours-nya itu adalah kereta dari arah Bogor yang berangkat jam 5.30 sampai 07.30 dan kereta dari Jakarta yang berangkat jam 16.00 sampai jam 18.00an.
Jam-jam segitu, jangan harap bisa nyanyi di dalem kereta, b'napas aja ngos-ngosan... keringat mengucur dari sekujur tubuh...

"Misi bang, permisi, orang miskin mau lewat..."
Begitu dah omongan yang keluar kalau kereta lewat Gambir, berhubung keretanya ga berenti di Gambir. Terlalu elit kali ya... Tapi itu dulu sih. Sekarang saya ga pernah naek Jabotabek melebihi Manggarai. Maklum, rutinitas tempat kerja. Kalo nggak buat kerja, ngapain juga bela-belain jadi ikan sarden di dalem kaleng gerbong kereta...

Nah, terus kata-kata apa lagi ya?
o iya, "bolehlah naik dengan percuma". Betul, walaupun paling pol bayar karcis KRL itu 2500 (Bogor-Jakarta), dan untuk jarak yang lebih pendek harganya lebih murah (contoh, Bogor-Depok 2000, Manggarai-Pasar Minggu 1500), tapi ternyata memang banyak juga yang naik dengan percuma... alias ga bayar. Yah, ngapain juga bayar ya? orang diperiksanya juga sekali-sekali doang (kalo pak petugasnya ga males). Gimana ga males, karena meriksa karcis di gerbong kereta artinya harus menerobos sela-sela kepadatan manusia, berkeringat dan bercampur keringat dengan penumpang laen... Ya males lah... Paling juga ada yang mulai meriksa karcis (kalo keretanya dari Jakarta), mulai dari stasiun Depok Lama. Itu artinya, tinggal 3 stasiun lagi sebelom Bogor. Jadi, kalo turun di Depok atau sebelumnya, mending ga beli karcis :p ga bakal diperiksa kok...
Kalaupun ternyata ada yang nekat meriksa, biasanya taktiknya gini. Turun di stasiun selanjutnya, cepet-cepet pindah gerbong! Tentu gerbong barunya harus yang udah dilalui ama si pemeriksa karcis dong.

"Keretaku tak berhenti lama"
Ya memang. Kalo lama-lama di tiap stasion, mau nyampe jam berapa ke Jakarta? yang ada malah tambah panas. Tapi gara-gara "tak berhenti lama" ini, terjadilah arus dorong-mendorong antara penumpang yang udah kebelet pengen turun dengan calon penumpang yang mendesak masuk. Arus dorong-dorongan ini kira-kira kekuatannya setara dengan gempa bumi 6,5 skalarichter, dan efeknya ga hanya di pintu, kadang dia terasa di seluruh gerbong, terutama arus di stasiun Depok Baru, Pasar Minggu, dan Manggarai.

Yaah... meskipun begitu, kereta ini memang punya kesan yang kuat diantara para langganannya. Dan setiap orang yang udah rutin naek kereta biadab ini (karena memang tidak bisa disebut "beradab") tentu akan menggunakan pengalaman berkereta untuk lebih memahami hidup. Contohnya, kalo misalnya saya ditanya :
1. Kejadian yang paling lu anggap lagi hoki/beruntung? jawab: Kalo dapet duduk di kereta dari Jakarta jam 5, atau... kalo naek dari Manggarai jam setengah 6, ada kereta balik, dan langsung berangkat. Atau lagi... pas lagi padet-padetnya itu, kita bediri di belakang cewek :p tampang ga masalah, ga keliatan ini :p asal bukan ibu2 ato nenek2 (kasian).
2. Arti kesabaran? Jawab : Sanggup menahan diri untuk diam selama perjalanan dari Manggarai sampai Depok Baru, ga peduli keringet dan panas badan orang-orang. Dan ga muntah!
3. Lagi sial/apes? Jawab : Kecopetan di kereta, atau... naek kereta di gerbong yang bener2 padet sampe kita ga tau kaki kita dimana, dan sendal yang kita injek itu punya kita ato bukan. Lebih sial lagi? kalo udah begitu, pas nyampe bogor ternyata ujan gede.
4. Tempat belanja paling murah? Jawab : KRL dari Jakarta, makin sore makin murah, makin deket bogor makin murah. Jeruk (kalo pinter milih), 25 biji harganya 5000 !

Nah, itu contoh2nya doang.
Masih banyak lagi yang laen, tapi nanti ya... di episode2 selanjutnya, yang akan lebih detil dan lebih... panas...

O iya, buat yang mau naek KRL, ini jalurnya nih, biar ga salah turun stasiun...
Bogor - Cilebut - Bojonggede - Citayam - Depok Lama - Depok Baru - Pondok Cina - Univ. Ind. - Univ. Pancasila - Lenteng Agung - Tanjung Barat - Pasar Minggu - Pasar Minggu Baru - Duren Kalibata - Cawang - Tebet - Manggarai - Cikini - Gondangdia - Gambir (kereta ga berenti, lewat doang) - Juanda - Mangga Besar - Sawah Besar - Jakarta Raya - Jakarta Kota.
Kalo yang ke Tanah Abang, bedanya setelah Manggarai dia ga ke Cikini tapi belok ke Timur, ga tau ke arah mana, berhubung belom pernah. Yang ditebelin itu stasiun2 gede

Oke... sampai jumpa di episode selanjutnya...

Tuesday, August 16, 2005

Ada Apa Dengan... Setan !!

Agak aneh memang...
atau setidaknya, buat saya, perihal setan dan kawan-kawannya.

Keanehan buat saya dimulai ketika menyadari, kok citra setan itu begitu buruknya ya?
Oke, harap jangan disalah-persepsikan dengan jin kafir.
Saya masih kurang pengetahuan, apakah jin kafir itu termasuk anak buahnya setan atau bukan.

Setan yang saya maksudkan itu adalah setan yang dulu diusir dari surga karena menolak ketika diperintahkan oleh Allah untuk bersujud pada Adam.
Atau Iblis ya? yang mana sih yang benar?
Setan dengan iblis apa bedanya?

Terlepas dari persoalan terminologi, satu hal (eh, banyak ding) yang sampai sekarang masih jadi pertanyaan itu adalah...
Benarkah setan itu (yang dulu diusir dari surga itu) akan diampuni oleh Allah pada hari kiamat nanti?
Kalau benar akan diampuni, lalu yang menghuni neraka bareng manusia-manusia berdosa itu siapa dong?
Kalau benar akan diampuni, lalu mengapa Allah mengizinkan setan melakukan apa-apa yang sering kita tuduhkan pada setan itu ? maksudnya, ya termasuk menggoda manusia dsb-dsb, pokonya yang jahat-jahat lah.
Kalau tidak akan diampuni, lalu mengapa Allah menciptakan setan?
Kan Allah tau, setan taunya bakal jahat? Mengapa Allah menciptakan sesuatu yang akan dilaknat sepanjang hidupnya (si setan itu maksudnya) ?
Kok saya bertanya seperti anak kecil ya?

Apakah sudah ketentuan? nah, justru jawaban2 seperti itu ("sudah ketentuan" dsb, termasuk jawaban model : "hanya Allah yang tau...") yang membuat saya makin penasaran. Karena bukankah dalam penciptaan langit dan bumi, bahkan dalam terjadinya siang dan malam itu terdapat tanda2 bagi orang2 yang berpikir? jadi dalam asumsi saya, sebenernya Allah itu menjelaskan semua-semua ketentuannya, kalo mau kita pikirin.

Sebenernya pertanyaan-pertanyaan ini muncul setelah saya membaca beberapa kisah yang... sepertinya agak masuk akal, setidaknya buat saya... tentang setan

cerita pertama, saya baca dari buku-buku tassawuf. Ceritanya ada seorang alim yang bisa melihat setan dan kawan-kawannya makhluk halus lain. Dalam satu kesempatan, bercakap-cakaplah dia, dan bertanya kira-kira gini, "tan, lu ngapain sih ngegoda-goda orang buat ngelepasin keimanannya? lu kagak takut sama Allah apa? Ntar dihukum lu... gara-gara lu tuh, banyak orang jadi bikin dosa."

Terus jawaban si setan itu yang bikin saya mikir. Jawabnya, kalo dalam bahasa gaul sehari-hari sekarang kira-kira gini, "eits, sebentar, jangan sembarangan coy, gini-gini gw juga takut ama Allah. Lu belom liat aja kuasa Allah. Na gw, udah liat langsung kuasa Allah dari dulu, bahkan sejak di surga. Ini aja gw diusir dari surga udah hukuman berat buat gw. Mana gw berani macem-macem lagi. Sebenernya sih gw ga pernah ngegodain manusia buat ngelepasin keimanannya, gw terlalu takut ama Allah. Yang gw lakukan cuma mungutin keimanan manusia yang berjatuhan dari jiwa mereka, karena manusia sendiri sebenernya sangat mudah melepaskan sendiri keimanan mereka karena hal-hal sepele di dunia."

Buat saya, jawaban si setan itu sangat... masuk akal, logis. Kenapa kita ga pernah mikir kalo si setan itu juga sama takutnya pada Allah seperti kita? bahkan lebih, karena dia lebih mengenal Allah dibanding kita (eh, bener ga sih?). Selain itu, bener juga, perihal dosa, orang kita yang bikin sendiri kok, terus kok kita selalu nyalahin setan karena ngegoda kita ya? maksud saya, orang kita sendiri kok yang memutuskan untuk berbuat dosa, dan mungkin karena kita pada dasarnya takut untuk bertanggung jawab, maka kita berusaha sedikit bercuci tangan, mencari kambing hitam. Ya si setan itu.

Tapi aneh juga ya, kalo kita berdoa kan biasanya kita mohon dilindungi dari godaan setan yang terkutuk... berarti dari sudut tertentu, mestinya bener juga, dalam taraf tertentu emang kita digoda... Nah loh?
Keanehan kedua, ngapain juga dulu dia goda2in hawa buat makan buah khuldi? dan kenapa Allah ngebiarin? kaya udah setting-settingan...

Cerita kedua yang mau saya bagi, itu adalah adanya klaim dari beberapa orang sufi, bahwa mungkin, setan itu dulunya juga malaikat, terus karena kasus Adam itu dia jadi setan. Tapi, klaim itu juga mengatakan bahwa mungkin, si malaikat yang jadi setan itu adalah malaikat yang paling mencintai Allah, dalam pengertian mencintai Allah melebihi malaikat yang lain. Kenapa? karena mungkin, dulu dia ga mau sujud ke Adam karena dia ngerasa bahwa hanya Allah yang patut untuk disembah, dan kecintaannya itu membuat dia hanya mau bersujud pada Allah saja.

Klaim yang, lagi-lagi, buat saya, masuk akal.
Masuk akal karena ini jadi dasar buat pertanyaan "Benarkah Allah akan mengampuni setan pada hari kiamat?"

Masuk akalnya adalah karena, dalam pemikiran saya,
kalau memang masuknya manusia ke surga atau neraka itu ditentukan oleh pahala dan dosa, maka mungkin Allah butuh sesuatu untuk "menyeleksi" manusia. Dan setan itu emang "disetting" Allah buat jadi alat (atau makhluk) yang menghadirkan ujian-ujian itu buat manusia... bener ga ya?

Maksud saya, kalo emang bener kaya gitu, berarti agak2 ga adil juga kalo kita mencitrakan si setan itu begitu buruk, ato setidaknya, ga adil kalo kita mencitrakan setan itu begitu jahatnya sampe kita musuhin dari dalem hati.
Karena kalo emang bener, bukankah penciptaan setan itu juga bermanfaat buat kita? setidaknya buat menjadikan hidup kita ada tantangannya dikit lah di dunia =p dan ukuran masuk surga-nerakanya jadi jelas.

Itu juga, perihal surga-neraka, akan saya bahas laen kali.

eh, jangan salah sangka ya,
posting ini BUKAN berarti :
1. saya pemuja setan
2. saya mau ngebela setan
3. saya mau nyindir malaikat
4. saya berusaha menyarankan temen2 buat muja setan

bukan, bukan gitu, saya cuma mencari makna hidup
mohon maklum.

Tuesday, August 09, 2005

Fasyani Lazuardi

Yah… apa mau dikata…
Agak lucu sepertinya. Ingin cepat-cepat nikah dan punya anak (5 cukuplah =P ) belum kesampaian... eeeh, tiba-tiba saya dan Fani sudah punya anak. Atau anggaplah begitu.

Cerita sebenarnya dimulai jauh sebelum cerita pendek ini bermula (bingung kan bahasanya?)

Agak dipersingkat, pokoknya saya dan Fani kenal dengan Bunda Niken, seorang aktivis pengurus anak jalanan dan mengelola sebuah rumah singgah untuk anak jalanan dengan nama Yayasan Bocah Garis (Gelanggang Kreativitas). Bocah Garis, karena satu dan lain hal bubar dan namanya diganti menjadi Yayasan Air, dengan personil yang sebenarnya itu-itu juga.

Konsistensi, niat dan keikhlasan Bunda Niken sebenarnya cukup mengagumkan. Meskipun Bunda sekarang ini sudah tidak lagi aktif seperti dulu di rumah singgah, karena konon beliau sudah memiliki ”pekerjaan tetap” yang menuntutnya lebih banyak berada di tempat kerjanya yang baru, semangatnya untuk tetap berkiprah di kalangan jalanan masih terlihat.

Alkisah, pada suatu hari masuk sebuah SMS di ponsel dalam saku celana saya. Isinya, walaupun tidak tereksplisitkan dengan jelas, menyiratkan satu ketergesaan, kecemasan, dan sekaligus ekspektasi yang agak mengkhawatirkan.

Seorang ibu-ibu pengemis di jembatan penyeberangan di depan Bandung Indah Plaza beberapa hari sebelumnya meninggal. Ia jatuh ketika menuruni tangga jembatan penyeberangan. Naasnya, waktu itu ia sedang hamil tua. Anak-anak jalanan yang kebetulan waktu itu berada di dekat TKP kemudian membawa wanita pengemis itu ke RS Boromeus, berhubung RS itulah yang terdekat, dan menghubungi Bunda Niken untuk meminta bantuan, terutama finansial. Wajarlah, seorang wanita pengemis yang diantar anak-anak jalanan. Rumah sakit mana yang tidak sangsi?

Wanita pengemis itu meninggal dalam perawatan, sementara bayinya yang masih dalam kandungan ternyata masih hidup. Maka dilakukanlah operasi caesar untuk mengeluarkan si bayi, dan selanjutnya ditempatkan dalam inkubator.

Uang Bunda Niken habis, seluruh calon pendonor yang potensial telah dihubungi, namun biaya rumah sakit masih kurang 300 ribu rupiah. Keluarga si bayi menginginkan bayi itu secepatnya meninggalkan RS, berhubung semakin lama dititipkan di situ maka biayanya akan semakin besar.

Maka Bunda Niken menghubungi saya dan Fani, untuk kesekian kalinya, dan mengutarakan masalah ini.

”Duh, bagaimana pula urusannya nih?” pikir saya waktu itu. Kebetulan, saat itu saya memang sedang berada dalam fase tipis kantong, berhubung uang sisa proyek di Papua dan Garut harus saya hemat untuk persiapan hidup sebelum saya dapat proyek lagi. Fani pun sama, walaupun waktu itu baru mendapat gaji pertama, tapi tetap, kami sudah harus mulai menabung untuk rencana-rencana pribadi kami.

Akhirnya, ”ya sudahlah, apalah arti 300 ribu... mending cepat diberikan lalu lupakan...” pikir saya dalam hati. entah, dalam sepersekian detik itu, emosi saya sedang memenangkan peperangan yang biasanya dimenangi oleh rasio. Kebetulan Fani pun berpikiran sama. Maka patunganlah kami, masing-masing 150 ribu, dan memberikannya ke Bunda.

Dua minggu setelah kami berikan uang itu, Bunda kembali mengirim SMS. Isinya, alhamdulillah, bayinya sehat, dan sekarang sudah di tangan keluarganya di desa. Dan karena waktu di RS itu belum diberi nama, keluarga si bayi setuju kalau si bayi diberi nama ”Fasyani Lazuardi”. Kata Bunda, itu dari nama Fani – Awan...

Huh, nama Fani-nya sih jelas terlihat...
Tapi nama Awan-nya mana???

Bah, emang ”Lazuardi” artinya ”awan” ya???

Iya sih, katanya, tapi tetap saja... =P
Betapa inginnya saya melihat wajah bayi itu...

Ah, sudahlah...

Thursday, August 04, 2005

Pendidikan Tinggi : Public atau Private Goods ?

Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, perlu mulai ditelaah secara mendalam. Hal ini menjadi urgen setelah dalam praktiknya, status BHMN ternyata memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi. Tantangan-tantangan baru ini merupakan aspek-aspek yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri di Indonesia, termasuk bagaimana menumbuhkan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif, pengelolaan keuangan, kebebasan lebih besar dalam merumuskan kurikulum dan hal-hal lain yang terkait dengan bidang akademis, akuntabilitas publik dan sebagainya.

Saat ini, isu yang paling hangat dibicarakan mungkin adalah isu-isu seputar pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi, yang pada hakikatnya dilembagakan dalam institusi perguruan tinggi. Terkait dengan hal ini, perdebatan yang kemudian muncul justru kemudian melebar ke arah yang lebih filosofis, yaitu mengenai apakah pendidikan tinggi itu termasuk kedalam kelompok barang publik (public goods) atau kelompok barang privat (private goods). Perdebatan ini, sepertinya kemudian akan mengarah pada pembangunan justifikasi mengenai siapa yang harus menanggung sebagian besar biaya pendidikan tinggi.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perdebatan ini, satu kerancuan yang perlu kita perhatikan adalah mengapa di Indonesia perdebatan ini baru muncul saat ini, tepat ketika status BHMN pada beberapa PTN di Indonesia sudah berjalan selama beberapa tahun, dan tepat ketika mulai muncul suara-suara yang mempertanyakan semakin meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Mengapa perdebatan ini tidak muncul sejak saat pertama kali pendidikan tinggi diselenggarakan di bangsa ini ? Mengapa pemahaman yang sudah sejak lama terpatri dalam benak kita bahwa pendidikan adalah hak seluruh penduduk tiba-tiba harus digugat dan tiba-tiba pemahaman itu seolah hanya berlaku sampai tahap pendidikan menengah saja ? Mudahnya, mengapa baru sekarang ini status pendidikan tinggi sebagai bagian dari pendidikan formal yang semestinya harus membuka diri terhadap seluruh anak bangsanya menjadi cukup layak untuk dipertanyakan?Perlu kita cermati, apakah sebenarnya perdebatan ini murni perdebatan filosofis atau sebuah wacana perdebatan yang sengaja digulirkan untuk menyusun suatu argumentasi pembenaran terhadap satu pihak.

Baca selengkapnya? klik Link pada judul...

Rejuvinasi Peran Perencana Dalam Menghadapi Era Perencanaan Partisipatif

Peran perencana dalam era Perencanaan Partisipatif dipertanyakan kembali. Masihkah Seorang perencana berkutat dalam paradigma positivisme dan komprehensivitas teknis belaka? Makalah ini mencoba merumuskan peranan apa yang sebaiknya diambil oleh para perencana dalam menghadapi era perencanaan partisipatif yang pelaksanaannya sendiri masih menemui kendala-kendala yang cukup mendasar. Perumusan peran yang baik akan menentukan posisi politis perencana dalam masyarakat dan lebih jauh lagi akan menentukan arah dan kecenderungan dalam dunia perencanaan di Indonesia.

baca selengkapnya? klik link pada judul...

MEMPERTANYAKAN DOGMATISME PROFESI PERENCANA

Pengkategorian posisi perencana sebagai sebuah "profesi", dan bukan sekedar "pekerjaan", secara filosofis sebenarnya mensyaratkan terpenuhinya beberapa ciri definitif, baik dalam tataran konseptual maupun teknis. Satu konsep pemisahan menyebutkan bahwa kedudukan profesi menjadi berbeda dengan pekerjaan biasa karena ada perbedaan proporsi dalam "mandat moral" yang mengikutinya (Bickenbach-Hendler, 19981). Mandat moral inilah yang diemban oleh para profesional sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap masyarakat luas yang pada dasarnya turut melahirkan profesi tersebut.

Dibalik kemapanan posisi perencana di Indonesia dengan keberadaan IAP (Ikatan Ahli Perencanaan), sebenarnya masih tersimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apakah kondisi ini sudah merupakan kondisi yang cukup kondusif bagi para perencana dalam mengemban mandat moral mereka. Atau bahkan apakah mandat moral dari para perencana di Indonesia itu sendiri ?

Pertanyaan-pertanyaan ini secara luas dapat terus bergulir sampai pada gilirannya akan mempertanyakan kontribusi apakah yang telah diberikan oleh profesi perencana bagi masyarakat dan pembangunan di Indonesia. Apabila pertanyaan-pertanyaan ini masih digantungi kegamangan dalam jawaban-jawabannya, maka mungkin eksistensi perencana di Indonesia sebagai sebuah profesi pun masih digantungi oleh kegamangan itu.

Baca selengkapnya? Klik Link pada judul posting ini...

Tuesday, August 02, 2005

Good University Governance

Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, perlu mulai ditelaah secara mendalam. Hal ini menjadi urgen setelah dalam praktiknya, status BHMN ternyata memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi. Tantangan-tantangan baru ini merupakan aspek-aspek yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri di Indonesia, termasuk bagaimana menumbuhkan sumber-sumber pendanaan baru yang produktif, pengelolaan keuangan, kebebasan lebih besar dalam merumuskan kurikulum dan hal-hal lain yang terkait dengan bidang akademis, akuntabilitas publik dan sebagainya.Pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan mengenai bagaimana konsep penyelenggaraan institusi perguruan tinggi yang dianggap cukup ideal untuk menghadapi tantangan-tantangan baru tersebut. Konsep tersebut, apapun bentuknya, nampaknya harus memperhatikan pelibatan dan pemenuhan kebutuhan dari seluruh stakeholders (pihak yang berkepentingan) yang terkait dengan institusi perguruan tinggi, mengingat peranan ideal pendidikan tinggi bagi sebuah bangsa yang sangat vital dalam menelurkan calon putra-putra terbaiknya dan memperhatikan bahwa lingkungan perguruan tinggi merupakan sebuah komunitas yang relatif kritis (atau perlu terlatih untuk menjadi kritis) terhadap permasalahan-permasalahan disekitarnya.

Adapun salah satu konsep yang saat ini sedang menjadi mainstream dalam penyelenggaraan perguruan tinggi adalah konsep good university governance. Konsep ini sebenarnya merupakan turunan dari konsep tata kepemerintahan yang lebih umum, yaitu good governance. Tulisan ini disusun untuk mencoba memberikan sebuah wacana dalam mencoba memahami konsep good university governance tersebut, dengan harapan jangka panjang bahwa masyarakat kampus mampu tergerak untuk berusaha lebih memahami dan ikut kritis dalam memberikan masukan-masukan menuju penyelenggaraan perguruan tinggi (dalam konteks ini Institut Teknologi Bandung) yang lebih baik.

Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba untuk turut memberikan sebuah bahan pemikiran dalam perdebatan mengenai apakah pendidikan tinggi itu dapat digolongkan sebagai sebuah public goods atau private goods. Perdebatan ini menjadi sebuah wacana yang jawaban-jawabannya akan mendasari bagaimana seharusnya manajemen penyelenggaraan perguruan tinggi yang baik dan bagaimana seharusnya pihak perguruan tinggi menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara.

baca selengkapnya? klik link pada judul...